Hakikat politik internasional
menyebabkan, politik imperialisme praktik selalu melakukan penyamaran
ideologis, sedangkan politik status quo lebih sering di sajikan menurut keadaan
yang sesungguhnya.
a.
Politik
status quo
Politik
status quo sering mampu mengungkapkan
hakikatnya yang sebenarnya dan membuang kedok-kedok ideologis, oleh karena
berdasarkan eksistensinya yang sesungguhnya, status quo sudah memperoleh keabsahan moral tertentu. Oleh sebab
itu negara yang menempuh politik status quo berusaha keras untuk
pelestarian kekuasaan yang dimilikinya. Negara itu mungkin dapat
menghindari perlunya untuk menghilangkan kebencian negara lain dan perasaan
ragu-ragunya sendiri ini terutama untuk demikian, kalau pemeliharaan status quo teritorial tidak mudah
terkena serangan moral atau hukum, dan kalau kekuatan nasional menurut tradisi
semata-mata dipakai untuk pelarian status.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Demosthenes1:
Sebab
tidak akan ada orang yang berperang untuk menambah kekuasaan, semudah yang
dilakukannnya untuk mempertahankan miliknya; akan tetapi, kalau semua berjuang
mati-matian untuk tetap memiliki segala sesuatu yang terancam akan hilang,
tidak demikian dengan halnya dengan penambahan kekuasaan; memang, manusia
menjadikannya itu sebagai tujuan mereka, akan tetapi kalau dicegah, mereka
tidak merasa diperlakukan secara tidak adil oleh lawan-lawan mereka.
Hukum internasional
melaksanakan fungsi ideologi yang serupa untuk politik status quo. Setiap ketertiban hukum, terutama cenderung sebagai
kekuatan sosial yang statis. Ketertiban itu menentukan pembagian kekuasaan
tertentu dan memberikan standar dan proses untuk memastikan dan memeliharanya
dalam keadaan konkret.
Ideologi
Imperialis
Politik imperialis selalu memerlukan ideologi,
imperialis selalu mempunyai tanggung jawab. Kata Gibbon: “untuk setiap perang,
alasan keamanan atau pembalasan dendam, kehormatan atau semangat, hak atau
kemudahan, mungkin dengan mudah diperoleh dalam yurisprudensi dari si penakluk”2.
Sejauh idiologi yang khas dalam imperialisme memaksa
konsep hukum, ideologi itu tidak dapat dengan layak merujuk dengan hukum
intersional yang positif, yakni, hukum internasional menurut keadaan yang
berlaku, sifat dinamis imperialisme memerlukan ideologi yang dinamis pula.
Pada saat politik imperialisme tidak diarahkan
terhadap status quo tertentu akibat kekalahan dalam perang, akan tetapi tumbuh
dari kekosongan kekuasaan yang mengundang penaklukan, maka ideologi moral yang
menjadikannya tugas menaklukkan yang tidak terelakkan untuk menggantikan seruan
terhadap hukum alam yang adil melawan hukum yang positif yang tidak adil. Lalu
untuk menaklukkan yang lemah, muncul sebagai “beban orang kulit putuh”, “tugas
nasional”, “seruan nasib” “tugas suci”.
Imperialisme kolonial khususnya, sering kedok
semboyan-semboyan ideologis semacam ini, seperti “berkah peradaban barat” yang
merupakan tugas penakluk untuk membawanya kepadanya bangsa-bangsa yang kult
berwarna di dunia. Ideologi jepang “demi daerah kemakmuran bersama” di asia
timur raya, mengandung konotasi yang sama dari tugas kemanusiaan.
Manakala filsafat politik dianut dengan semangat
kesetiaan seperti agama, maka bersama dengan politik imperialisme, politik siap
pakai untuk penyamaran ideologis. Imperialisme nopoleon menjelajahi eropa
dengan panji-panji “kemerdekaan, persamaan, persaudaraan”. Imperialisme Rusia,
teristimewa dalam cita-citanya untuk konstatinopel dan selat Dardanella, dengan
berturut-turut dan serentak memakai agama orthodoks, pan-slavisme, revolusi
dunia, dan kepungan terhadap kepungan kapitalis.
Dizaman modern, terutama di bawah pengaruh filsafat
sosial dari Darwin dan Spencer, ideologi imperialisme lebih menyukai argumen
biologis. Di alihkan dalam politik internasional, filsafat siapa yang paling
sehat dia akan bertahan hidup, melihat dalam keunggulan militer negara yang
kuat atas suatu gejala yang lemah, yang menjadikan negara yang lemah sebagai,
subjek yang sudah di tetapkan sebelumnya oleh negara yang kuat. Menurut
filsafat ini, akan bertentangan dengan alam, kalau yang kuat tidak menguasai
yang lemah dan, yang lemah mencoba menyamai yang kuat.
Ideologi
yang Ambiguitas
Ideologi anti-imperialisme mendapat sifat efektifnya
karena kemungkinannya mempunyai dua arti atau lebih. Ideologi itu mengacaukan
pengamat yang selalu dalam keadaan ragu, apakah ia berhadapan dengan ideologi
imperialis atau dengan ungkapan politik status quo yang sesungguhnya. Dalam
zaman kita, ideologi menentukan nasib diri suatu bangsa dan ideologi PBB
melakukan fungsi yang sama. Sejak awal perang dingin, ideologi ini bergabung
sampai pada taraf yang terus meningkat, ideologi perdamain, pengendorang ketegangan,
dan peredaran.
Prinsip penentuan nasib diri sendiri suatu bangsa
seperti yang di artikan Woodrow Wilson membenarkan pembebasan bangsa-bangsa di
eropa tengah dan timur dari dominasi asing. Secara teoritis, prinsip itu tidak
saja menentang status quo imperium,
akan tetapi terhadap imperialisme dalam bentuk apa pun, apakah itu di pihak
negara-negar yang di bebaskan. Namun, penghancuran tata imperium lama segera
menimbulkan penentuan nasib diri sendiri, imperialisme baru.
Daftar Pustaka
Thompson, kenneth W. Politics Among Nations: the
srtuggle for power and peace. Alfred A. Knopf Inc.
Gibbon. The
Decline and Fall of the Roman Empire. The Modern Library Edition. Jilid II,
hal 1235.
Demosthenes. For
the Liberty of The Rhodians. Hal 10-11.