Monday, 9 March 2015

IDEOLOGI YANG KHAS DALAM POLITIK LUAR NEGERI



Hakikat politik internasional menyebabkan, politik imperialisme praktik selalu melakukan penyamaran ideologis, sedangkan politik status quo lebih sering di sajikan menurut keadaan yang sesungguhnya.
a.       Politik status quo
Politik status quo sering mampu mengungkapkan hakikatnya yang sebenarnya dan membuang kedok-kedok ideologis, oleh karena berdasarkan eksistensinya yang sesungguhnya, status quo sudah memperoleh keabsahan moral tertentu. Oleh sebab itu negara yang menempuh politik status quo berusaha keras untuk pelestarian kekuasaan yang dimilikinya. Negara itu mungkin dapat menghindari perlunya untuk menghilangkan kebencian negara lain dan perasaan ragu-ragunya sendiri ini terutama untuk demikian, kalau pemeliharaan status quo teritorial tidak mudah terkena serangan moral atau hukum, dan kalau kekuatan nasional menurut tradisi semata-mata dipakai untuk pelarian status. Sebagaimana yang dikatakan oleh Demosthenes1:

Sebab tidak akan ada orang yang berperang untuk menambah kekuasaan, semudah yang dilakukannnya untuk mempertahankan miliknya; akan tetapi, kalau semua berjuang mati-matian untuk tetap memiliki segala sesuatu yang terancam akan hilang, tidak demikian dengan halnya dengan penambahan kekuasaan; memang, manusia menjadikannya itu sebagai tujuan mereka, akan tetapi kalau dicegah, mereka tidak merasa diperlakukan secara tidak adil oleh lawan-lawan mereka.
Hukum internasional melaksanakan fungsi ideologi yang serupa untuk politik status quo. Setiap ketertiban hukum, terutama cenderung sebagai kekuatan sosial yang statis. Ketertiban itu menentukan pembagian kekuasaan tertentu dan memberikan standar dan proses untuk memastikan dan memeliharanya dalam keadaan konkret.

Ideologi Imperialis
Politik imperialis selalu memerlukan ideologi, imperialis selalu mempunyai tanggung jawab. Kata Gibbon: “untuk setiap perang, alasan keamanan atau pembalasan dendam, kehormatan atau semangat, hak atau kemudahan, mungkin dengan mudah diperoleh dalam yurisprudensi dari si penakluk”2.

Sejauh idiologi yang khas dalam imperialisme memaksa konsep hukum, ideologi itu tidak dapat dengan layak merujuk dengan hukum intersional yang positif, yakni, hukum internasional menurut keadaan yang berlaku, sifat dinamis imperialisme memerlukan ideologi yang dinamis pula.
Pada saat politik imperialisme tidak diarahkan terhadap status quo tertentu akibat kekalahan dalam perang, akan tetapi tumbuh dari kekosongan kekuasaan yang mengundang penaklukan, maka ideologi moral yang menjadikannya tugas menaklukkan yang tidak terelakkan untuk menggantikan seruan terhadap hukum alam yang adil melawan hukum yang positif yang tidak adil. Lalu untuk menaklukkan yang lemah, muncul sebagai “beban orang kulit putuh”, “tugas nasional”, “seruan nasib” “tugas suci”.

Imperialisme kolonial khususnya, sering kedok semboyan-semboyan ideologis semacam ini, seperti “berkah peradaban barat” yang merupakan tugas penakluk untuk membawanya kepadanya bangsa-bangsa yang kult berwarna di dunia. Ideologi jepang “demi daerah kemakmuran bersama” di asia timur raya, mengandung konotasi yang sama dari tugas kemanusiaan.

Manakala filsafat politik dianut dengan semangat kesetiaan seperti agama, maka bersama dengan politik imperialisme, politik siap pakai untuk penyamaran ideologis. Imperialisme nopoleon menjelajahi eropa dengan panji-panji “kemerdekaan, persamaan, persaudaraan”. Imperialisme Rusia, teristimewa dalam cita-citanya untuk konstatinopel dan selat Dardanella, dengan berturut-turut dan serentak memakai agama orthodoks, pan-slavisme, revolusi dunia, dan kepungan terhadap kepungan kapitalis.
Dizaman modern, terutama di bawah pengaruh filsafat sosial dari Darwin dan Spencer, ideologi imperialisme lebih menyukai argumen biologis. Di alihkan dalam politik internasional, filsafat siapa yang paling sehat dia akan bertahan hidup, melihat dalam keunggulan militer negara yang kuat atas suatu gejala yang lemah, yang menjadikan negara yang lemah sebagai, subjek yang sudah di tetapkan sebelumnya oleh negara yang kuat. Menurut filsafat ini, akan bertentangan dengan alam, kalau yang kuat tidak menguasai yang lemah dan, yang lemah mencoba menyamai yang kuat.
Ideologi yang Ambiguitas
Ideologi anti-imperialisme mendapat sifat efektifnya karena kemungkinannya mempunyai dua arti atau lebih. Ideologi itu mengacaukan pengamat yang selalu dalam keadaan ragu, apakah ia berhadapan dengan ideologi imperialis atau dengan ungkapan politik status quo yang sesungguhnya. Dalam zaman kita, ideologi menentukan nasib diri suatu bangsa dan ideologi PBB melakukan fungsi yang sama. Sejak awal perang dingin, ideologi ini bergabung sampai pada taraf yang terus meningkat, ideologi perdamain, pengendorang ketegangan, dan peredaran.

Prinsip penentuan nasib diri sendiri suatu bangsa seperti yang di artikan Woodrow Wilson membenarkan pembebasan bangsa-bangsa di eropa tengah dan timur dari dominasi asing. Secara teoritis, prinsip itu tidak saja menentang status quo imperium, akan tetapi terhadap imperialisme dalam bentuk apa pun, apakah itu di pihak negara-negar yang di bebaskan. Namun, penghancuran tata imperium lama segera menimbulkan penentuan nasib diri sendiri, imperialisme baru.

Daftar Pustaka
 Thompson, kenneth W. Politics Among Nations: the srtuggle for power and peace. Alfred A. Knopf Inc.
Gibbon. The Decline and Fall of the Roman Empire. The Modern Library Edition. Jilid II, hal 1235.
Demosthenes. For the Liberty of The Rhodians. Hal 10-11.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Mufazzal (c). Powered by Blogger.

Blogroll

"Kami Pemuda Yang Mengakui Bahwa Kami Tidak Memiliki Pengalaman, karena Kami Tidak Menawarkan Masa lalu. Kami Pemuda Menawarkan Masa Depan Untuk Perubahan Menuju Kesejahteraan, Kecerdasan, Dan Harga Diri"

Total Views

Popular Posts

Blog Archive

Contact Form

Name

Email *

Message *