Friday 23 January 2015

Pemerintah Aceh Pasca UUPA

PEMERINTAH ACEH PASCA-PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 (Bentuk-Bentuk dan Peluang Sengketa Hubungan Pusat-Daerah)

Hasil gambar untuk PEMERINTAH ACEH

ABSTRAK

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan provinsi yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur daerahnya sendiri, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006. Keistimewaan yang diberikan kepada Aceh menimbulkan peluang konflik, diantaranya masalah kewenangan, pilkada dan pengelolaan sumber daya alam. Peluang konflik bukan hanya terjadi di Aceh, melainkan juga akan terjadi di daerah lain berupa kecemburuan sosial. Pemerintah harus tanggap terhadap peluang konflik ini dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Permasalahan

Berdasarkan UUD 1945, bentuk negara yang digunakan  di  Indonesia adalah bentuk negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Pengaturan bentuk Negara kesatuan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) UUD)1945 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.  Penggunaan asas desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ditunjukkan dengan adanya pembagian daerah sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 amandemen kedua  Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang berbunyi:
  1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah Propinsi dan daerah-daerah Propinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang;  
  2. Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
  3. Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum
Ketentuan dalam UUD 1945 tersebut mengisyaratkan bahwa sistem pemerintahan daerah menurut UUD 1945 menempatkan pemerintah daerah sebagai  bagian dari sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini berhubung dianutnya bentuk negara kesatuan menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, artinya Negara Republik Indonesia menganut bentuk negara kesatuan yang didesentralisasi (Josef Riwu Kaho, 1991:6);

Menurut Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen  lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan  mandiri di daerah yang demokratis. Lebih lanjut Bagir Manan mengatakan bahwa asas dekonsentrasi adalah instrumen sentralisasi, karena itu sangat keliru kalau ditempatkan dalam sistematik pemerintahan daerah yang merupakan antitesis dari sentralisasi(Bagir Manan, 2001: 9);

Mengacu kepada rumusan pasal di atas dan beberapa pasal-pasal berikutnya, pembagian daerah di Indonesia dikenal pula adanya satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa dan satuan-satuan masyarakat hukum adat yang merupakan pengaturan pemerintahan asli Indonesia yang sepanjang hal itu masih ada sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 B. Ketentuan  ini mengandung arti bahwa dalam susunan daerah baik Propinsi, Kabupaten maupun Kota dimungkinkan adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, namun pengertian daerah khusus dan istimewa dalam UUD 1945 ini belum ada batasan pengaturannya.

Selain Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota diatur pula adanya satuan masyarakat hukum adat sepanjang hal itu masih ada, satuan masyarakat hukum adat tersebut  mempunyai teritorial yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Perkembangan selanjutnya dengan adanya perubahan paradigma otonomi daerah yang baru, berturut-turut ditetapkan dan diundangkannya UU yang mengatur pemerintah  daerah, yaitu:
  1. Undang-undang Nomor  21 Tahun 2001  tentang Otonomi Khusus Papua.
  2. Undang-undang Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam.
  3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  4. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah  Pusat dan Daerah.
  5. Undang-undang Nomor     34  Tahun 2000    tentang Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
  6. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam.
UUD 1945, baik sebelum maupun setelah amandemen, memberi ruang hadirnya praktik hubungan pusat dan daerah yang didasarkan kepada karakter khas suatu daerah. Dalam UUD 1945 hasil amandemen, misalnya, eksplisit ditegaskan, negara mengakui dan menghormati satuan- satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Berdasarkan rumusan itu, UUD 1945 memungkinkan munculnya praktik otonomi daerah yang berbeda antara suatu daerah dan daerah lain. Namun, untuk mengatur lebih jauh bagaimana perbedaan derajat (khusus maupun istimewa, UUD 1945 menyerahkannya kepada undang-undang. Dalam praktik, sejak awal kemerdekaan, semua daerah diatur seragam dan semua undang-undang tentang pemerintahan daerah punya tafsir berbeda mengenai makna khusus dan istimewa itu.Perkembangan berbeda mulai terasa sejak tahun 1999. Pemerintah tak mungkin lagi mengaturnya secara seragam. Bahkan, untuk Aceh dan Papua, beberapa ketetapan MPR mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk memenuhi amanat itu, tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Namun, pemberian status otonomi khusus bagi Aceh dan Papua tak diikuti dengan paradigma baru. Akibatnya, dalam mengelola otonomi khusus, campur tangan pemerintah kian dominan. Campur tangan itu jelas terlihat dalam menyikapi aturan pemilihan kepala daerah. Sejauh ini, pemerintah memaksakan pola dan persyaratan umum dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang terjadi kemudian, muncul krisis kepercayaan (trust) kepada pemerintah dan otonomi khusus yang sudah disepakati. Padahal, otonomi khusus baru dapat dilaksanakan jika terbangun trust antara pemerintah pusat dan daerah yang menerima otonomi khusus.

Implementasi otonomi khusus di Aceh semakin menarik untuk dikaji karena Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak menerima UU No 18/2001. Untuk menyelesaikan penolakan tersebut, Pemerintah RI kembali melakukan perundingan dengan GAM. Dari serangkaian perundingan yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18/2001, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, berhasil disepakati Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Untuk memenuhi klausul di atas, pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang.

Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, setidaknya terdapat lima alasan pemberlakuan undang-undang ini, yaitu;
  1. Bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;
  2. Bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi;
  3. Bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  4. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, dan
  5. Bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
II. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalah yang akan dikaji lebih jauh pada tulisan ini, yakni:
  1. Bagaimanakah ruang lingkup kewenangan yang dimiliki oleh Aceh pasca pemberlakuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh?
  2. Bagaimanakah bentuk dan peluang sengketa yang dapat terjadi antara pemerintahan Aceh dan pemerintah (pusat) sehubungan dengan kewenangan yang dimiliki Aceh berdasarkan UU 11/2006 tersebut?
  3. Langkah-langkah apa saja yang dapat ditempuh guna menciptakan hubungan yang harmonis antara pemerintahan Aceh dan pemerintah (pusat)?
PEMBAHASAN

I. Otonomi Khusus Pemerintahan Aceh Menurut UU No 11/2006

Ketetapan  MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelengaraan Otonomi Daerah menguraikan permasalahan-permasalahan mendasar yang dihadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagai tindak lanjut dari Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tanggal 9 Agustus 2001 Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan tanggal 21 November 2001 juga disahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Implementasi otonomi khusus di Aceh semakin menarik untuk dikaji karena Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak menerima UU No 18/2001. Untuk menyelesaikan penolakan tersebut, Pemerintah RI kembali melakukan perundingan dengan GAM. Dari serangkaian perundingan yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18/2001, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, berhasil disepakati Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Untuk memenuhi klausul di atas, pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang.
Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, setidaknya terdapat lima alasan pemberlakuan undang-undangan ini, yaitu:
  1. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;
  2. bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi;
  3. bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  4. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan
  5. bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
II. Sistem Pemerintahan Daerah  Menurut UU 11/2006

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA) menegaskan bahwa Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Dan Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah Aceh adalah dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Hal ini dapat dibaca pada bagian penjelasan umum UUPA yang menyatakan :


"Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good governance yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh memiliki peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah"

Prinsip otonomi yang seluas-luasnya tersebut dipertegas lagi sebagai kewajiban konstitusional, dengan tetap menekankan posisi Pemerintahan Aceh sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Penegasan ini dapat dibaca dalam penjelasan UUPA sebagai berikut :

"Undang-undang ini mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekedar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh"

III. Rumah Tangga Daerah dan masalah kewenangan

Dengan adanya daerah diberikan hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri setiap urusan Pemerintahan menurut asas otonomi seluas-luasnya, mengandung makna (1) dilihat  dari segi formal yaitu proses bagaimana daerah diberikan keleluasaan menurut caranya untuk mengatur dan mengurus rumah tangga tidak lagi ada turut campur Pemerintah  pusat untuk menentukan bagaimana mengelola urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dengan tidak mengurangi prinsip-prinsip pemberian otonomi. (2) Dilihat dari segi materiil yaitu daerah diberikan kewenangan yang lebih besar (banyak) untuk mengelola urusan Pemerintahan kecuali ketentuan yang ditetapkan dalam UU merupakan kewenangan Pemerintah  pusat, dengan demikian daerah diberikan kesempatan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan Pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintahan lokal.

Menyangkut kewenangan yang dimiliki Pemerintahan Aceh diatur pada Pasal 7 UUPA,  yakni:
  1. Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
  2. Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
  3. Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:
  • Melaksanakan sendiri;
  • Menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/ kota;
  • Melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah; dan menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas pembantuan.

IV. Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah Menurut UU No 11/2006

Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, pada bagian Ketentuan Umum UU No 11/2006 ditegaskan, Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Sementara Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

Dalam hal pembagian kewenangan, UU No 11/2006 juga potensial terperangkap rebutan kewenangan dengan pemerintah pusat. Potensi itu muncul karena adanya frasa urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Berkenaan dengan frasa itu, Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) UU No 11/2006 menyatakan:


"Urusan pemerintahan yang bersifat nasional yang dimaksudkan dalam ketentuan ini termasuk kebijakan di bidang perencanaan nasional, kebijakan di bidang pengendalian pembangunan nasional, perimbangan keuangan, administrasi negara, lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional"

Penjelasan frasa urusan pemerintahan yang bersifat nasional sekali lagi membuktikan bahwa pembagian kewenangan antara pusat dan daerah sengaja dirumuskan sedemikian rupa sehingga sulit dirumuskan dan diimplementasikan. Apalagi, hampir tidak urusan daerah yang terkait dengan urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Jadi, prinsip residu power dielemininasi sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat dapat melakukan intervensi untuk semua urusan yang sudah diserahkan kepada daerah. Posisi pemerintah pusat akan semakin dominan karena menurut Pasal 249 UU No 11/2006 menentukan bahwa pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain pembagian kewenangan dengan pusat, UU No 11/2006 juga menentukan masalah pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemeintahan Kabupaten/Kota. Kalau dibaca pembagian urusan wajib dan urusan wajib lainnya yang terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal UU No 11/2006 potensi terjadinya perhimpitan urusan cukup besar. Dengan kondisi tersebut, maka akan terjadi tumpang-tindih antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Bukan tidak mungkin, urusan-urusan yang bersifat pembiayaan juga akan terjadi kevakuman.

Sebetulnya, titik rawan lain dalam pembagian urusan muncul karena adanya ketentuan Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 yang menyatakan:


 "Pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota"

Kemudian dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan:


"Yang dimaksud dengan: Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk pelaksanaan otonomi daerah. Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Prosedur adalah metode atau tata cara untuk  melaksanakan otonomi daerah"

Sekalipun ditentukan bahwa norma, standar, dan prosedur tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, kehadiran Pasal 11 Ayat (1) potensial mengurangi kemandirian dalam melaksanakan urusan. Tidak hanya itu, Pasal 11 Ayat (1) dan pejelesannya tidak menentukan secara eksplisit bentuk hukum penetapan norma, standar, dan prosedur dimaksud. Bisa jadi, akan muncul penetapan norma, standar, dan prosedur dalam berbagai bentuk hukum mulai dari peraturan pemerintah (pp) sampai dengan peraturan gubernur (pergub).

V. Peluang Konflik Pusat-Daerah

Ada tiga embrio konflik dalam UUPA yang bila tidak disikapi secara bijak akan dapat mengganggu jalannya proses demokratisasi dan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat Aceh yang lebih baik di bawah UUPA ini.

Embrio konflik pertama adalah masalah kewenangan. Menyangkut kewenangan yang dimiliki Aceh pasca pengesahan UUPA, sepintas tidak terdapat perbedaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh daerah lain. Provinsi Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus seluruh sektor pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali yang bersifat nasional, seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal serta urusan tertentu dalam bidang agama. Rumusan ini tidak berbeda dengan aturan yang terdapat pada Pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Masalahnya adalah bentuk dan ruang lingkup kewenangan yang diberikan kepada Aceh tidak secara spesifik dijelaskan, di antaranya adalah siapa yang mesti merinci kewenangan yang dimaksud serta apakah menjadi kewenangan mutlak dari pemerintah Aceh untuk merumuskan kewenangan yang akan menjadi urusan pemerintah Aceh, ataukah kewenangan tersebut nantinya akan dirinci oleh pemerintah pusat melalui peraturan pemerintah seperti lazimnya diberlakukan kepada daerah lain. Ini persoalan yang amat krusial.

Pada saat UUPA masih berbentuk rancangan dan diperdebatkan di Senayan, terdapat rumusan Pasal 11 yang berbunyi; "pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota". Dalam perkembangan pembahasan UUPA, rumusan pasal ini dihapus. Dengan dihapusnya pasal ini, pemerintah pusat seakan memberikan "cek kosong" kepada pemerintah Aceh untuk mengurai dan mengatur sendiri kewenangan apa saja yang diinginkan oleh pemerintah Aceh. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah bagaimana sekiranya terjadi konflik antara pemerintah Aceh dan pemerintah pusat menyangkut kewenangan tersebut, lembaga mana yang akan menyelesaikannya?

Embrio konflik kedua adalah menyangkut masalah pilkada. UUPA mengatur pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil di Provinsi Aceh dan kabupaten/kota dilakukan secara langsung dengan nuansa kekhususan antara lain penyelenggara pemilihan dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan Aceh dan komisi independen pemilihan kabupaten/kota. Pasangan calon nantinya akan diusulkan oleh partai politik, partai lokal, dan kandidat perseorangan. Jadi akan ada tiga pintu masuk pada proses pencalonan pasangan calon.

Persoalannya adalah menyangkut partai lokal yang diberikan kewenangan untuk mengusulkan pasangan calon, namun teknis pembentukannya mesti menunggu aturan hukum dalam bentuk peraturan pemerintah yang dikeluarkan oleh presiden. Dalam UUPA dijelaskan bahwa partai lokal boleh ikut dalam pemilu untuk memilih anggta Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kota/Kabupaten (DPRK), mengajukan calon untuk mengisi DPRA dan DPRK, mengusulkan pemberhentian dan pergantian antar waktu anggotanya, mengusulkan pasangan calon gubernur-wakil, calon bupati-wakil, calon wali kota-wakil dan dapat melakukan afiliasi dengan partai politik baik lokal maupun nasional.

Ketentuan lebih lanjut tentang hal ini akan diatur dalam peraturan pemerintah yang harus diterbitkan paling lambat Februari 2007. Dengan kata lain, campur tangan pemerintah pusat dalam proses pilkada di aceh tetap terbuka lebar melalui perangkat peraturan pemerintah yang akan dikeluarkan oleh presiden.

Di samping itu, dengan sistem pilkada yang terbuka tersebut, peluang terjadinya konflik akan sulit untuk dibendung. Dengan pencalonan sistem satu pintu saja (melalui parpol) seperti yang banyak dipraktikkan daerah lain, konflik pilkada terjadi pada hampir setiap daerah. Apalagi dengan sistem tiga pintu yang akan digelar di Aceh nantinya. Tentu saja kerawanan akan konflik jauh lebih besar. Solusi antisipasi jelas berada di tangan Komisi Independen Pemilihan Aceh dalam merumuskan aturan pilkada yang aspiratif dan melalui proses yang transparan serta yang terpenting melibatkan semua unsur yang terpaut langsung terhadap proses pilkada di Aceh. Merumuskan aturan pilkada yang dapat memuaskan semua pihak tentu bukan pekerjaan yang sederhana.

Embrio konflik yang ketiga adalah masalah pengelolaan sumber daya alam. Pasal 160 ayat (1) UUPA merumuskan "Pemerintah dan pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh". Namun pada penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa " Sumber daya migas dikelola pemerintah Aceh". Pemberian kewenangan khusus kepada pemerintah Aceh untuk mengelola sumber daya migas seakan mengenyampingkan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang".

Rumusan Pasal 160 ayat (1) UUPA bila dilihat dari segi kepentingan daerah lain, merupakan embrio konflik yang mengkhawatirkan. Bagi daerah lain, sumber daya alam, khususnya migas yang berada di Aceh tentu bukan sepenuhnya menjadi hak mutlak masyarakat Aceh. Sepanjang masih berada di wilayah NKRI, migas di Aceh menjadi hak bagi setiap daerah.

Kecemburuan daerah lain tidak saja dipicu masalah migas di atas. Di sisi ekonomi, sumber penerimaan Aceh memperoleh dana perimbangan yang diperlakukan khusus yaitu dari bagi hasil hidrokarbon dengan besaran 70 persen. Di samping itu, Aceh juga akan memperoleh dana otonomi khusus untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pendidikan, sosial dan kesehatan selama 20 tahun dengan rincian tahun 1-15 tahun sebesar 2 persen plafon DAU nasional dan tahun 16-20 tahun sebesar 1 persen plafon DAU nasional. Kebijakan ini akan berlaku efektif mulai 2008. angka-angka yang amat fantastis ini seakan menjadi Aceh sebagai "anak emas" baru di republik ini.

Agar ketiga konflik tersebut tidak meluas menjadi sebuah ketegangan baru hubungan pusat-daerah, amat mendesak bagi pemerintahan SBY-Budiono mengambil langkah-langkah yang bijak guna menjelaskan kepada publik, khususnya daerah-daerah minus yang terimbas langsung dari kebijakan pemberikan otonomi baru kepada pemerintahan Aceh.

Lalu, menghadapi masalah-masalah pembagian kewenangan di atas, langkah apa yang harus dilakukan untuk dapat keluar dari masalah tersebut? Pertanyaan itu menjadi penting karena keberhasilan pelaksanaan kewenangan antara pusat dan daerah akan amat menentukan keberhasilan UU No 11/2006. Saya menyarankan beberapa langkah berikut:

  1. Pertama, berkaca pada pengalaman pelaksanaan hubungan pusat di daerah (yang bukan dengan pola otonomi khusus) lain, sebaiknya dibentuk badan ad-hoc yang dapat menjembatani penyelesaian pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembentukan itu tidak saja menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah serius mengelola otonomi khusus,  tetapi juga mempercepat keluar dari kecenderungan penyeragaman pola otonomi daerah di Departemen Dalam Negeri. Tanpa pengelolaan yang sungguh-sungguh, otonomi khusus akan berubah menjadi otonomi kasus.
  2. Kedua, pemerintah pusat mesti membuat bentuk produk hukum yang seragam dalam menyusun norma, standar, dan prosedursehingga benar-benar tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota sebagai daerah yang diberi status khusus atau istimewa. Akan lebih baik kalau produk hukum penyusunan norma, standar, dan prosedur dibuat dalam satu produk hukum saja.
  3. Ketiga, membangun komunikasi yang intensif antara Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam menyusun pembagian urusan antara provinsi dengan kabupaten/kota. Komunikasi ini menjadi penting agar potensi konflik pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota tidak berubah menjadi ruang bagi pemerintah pusat untuk memperluas dan memperkuat intervensi.

Banyak kalangan berpendapat, secara umum, kehadiran UU No 11/2006 akan menjadi babak baru praktik otonomi daerah di Indonesia. Pendapat seperti itu tentu akan ada benarnya kalau kehadiran UU No 11/2006 mampu membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik guna menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, di tengah harapan yang demikian juga muncul pendapat yang meragukan keberlangsungan UU No 11/2006. Keraguan itu muncul, di antaranya, karena pengalaman dan praktik otonomi khusus di bawah Undang-Undang No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (UU No 18/2001).

Namun, keraguan bahwa Aceh sebagai daerah yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan akan dapat terlaksana dengan baik karena ada penilaian bahwa kewenangan Aceh tidak ditentukan dengan tegas dalam UU No 11/2006. Apalagi, dalam ketidaktegasan itu, Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 menyatakan: pemerintah (pusat) menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota.

PENUTUP

Kesimpulan:

  1. Setelah pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 maka Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberi kewenangan seluas-luasnya untuk mengatur daerahnya sendiri sebagaimana yang terdapat pada pasal 7 UU tersebut.
  2. Ada 3 embrio konflik akibat pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006, yaitu: masalah kewenangan, masalah pilkada karena adanya hak bagi partai lokal mengusung calonnya, masalah pengelolaam sumber daya alam.
  3. Langkah-langkah yang ditempuh untuk menghindari konflik tersebut adalah dibentuknya badan ad hoc yang menjembatani pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh, membangun komunikasi yang efektif dan membuat aturan hukum yang seragam dengan tidak mengurangi keistimewaan kewenangan pemerintah Aceh.

Saran


  1. Agar pemerintah cepat tanggap dalam dugaan-dugaan konflik yang akan terjadi akibat pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006.
  2. Agar terus dilakukan penyempurnaan terhadap aturan hukum yang terkait dengan otonomi khusus Aceh sehingga semakin meminimalisir terjadinya peluang konflik.
DAFTAR PUSTAKA

Syafrudin, Ateng, 1993,  Pengaturan Koordinasi Pemerintahan Di Daerah, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti,

-------------, 1973, Pemerintah Daerah dan Pembangunan, Bandung, PT. Bandung Press, Sumur
Manan, Bagir,  1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang,  UNSIKA

-------------, 2001, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH), Yogyakarta, UII Press.

Huda, Nimatul, 2005, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar

PSHK, Catatan PSHK Untuk Akhir Masa Sidang IV 2005-2006 DPR; Penuh Dinamika Namun Tidak Jelas Arahnya, dikutip dari http://www.pshk.org

Soehino, 1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, BPFE-Yogyakarta, Edisi Kedua, 2004 

Josef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, Rineka Cipta

Sujamto, 1988, Daerah Istimewa Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bina Aksara





Share:

0 komentar:

Post a Comment

Mufazzal (c). Powered by Blogger.

Blogroll

"Kami Pemuda Yang Mengakui Bahwa Kami Tidak Memiliki Pengalaman, karena Kami Tidak Menawarkan Masa lalu. Kami Pemuda Menawarkan Masa Depan Untuk Perubahan Menuju Kesejahteraan, Kecerdasan, Dan Harga Diri"

Total Views

Popular Posts

Blog Archive

Contact Form

Name

Email *

Message *