PEMERINTAH ACEH
PASCA-PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 (Bentuk-Bentuk dan Peluang
Sengketa Hubungan Pusat-Daerah)
ABSTRAK
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan provinsi yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur daerahnya sendiri, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006. Keistimewaan yang diberikan kepada Aceh menimbulkan peluang konflik, diantaranya masalah kewenangan, pilkada dan pengelolaan sumber daya alam. Peluang konflik bukan hanya terjadi di Aceh, melainkan juga akan terjadi di daerah lain berupa kecemburuan sosial. Pemerintah harus tanggap terhadap peluang konflik ini dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan provinsi yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur daerahnya sendiri, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006. Keistimewaan yang diberikan kepada Aceh menimbulkan peluang konflik, diantaranya masalah kewenangan, pilkada dan pengelolaan sumber daya alam. Peluang konflik bukan hanya terjadi di Aceh, melainkan juga akan terjadi di daerah lain berupa kecemburuan sosial. Pemerintah harus tanggap terhadap peluang konflik ini dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Permasalahan
Berdasarkan UUD 1945, bentuk negara yang
digunakan di Indonesia adalah bentuk negara kesatuan yang menganut
asas desentralisasi. Pengaturan bentuk Negara kesatuan sebagaimana tertuang
dalam Pasal 1 ayat (1) UUD)1945 yang berbunyi: Negara Indonesia adalah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Penggunaan asas
desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ditunjukkan dengan
adanya pembagian daerah sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 amandemen
kedua Pasal 18 ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang berbunyi:
- Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah- daerah Propinsi dan daerah-daerah Propinsi itu dibagi atas
Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang;
- Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan
Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.
- Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan
Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum
Ketentuan dalam UUD 1945 tersebut
mengisyaratkan bahwa sistem pemerintahan daerah menurut UUD 1945 menempatkan
pemerintah daerah sebagai bagian dari sistem pemerintahan Indonesia. Hal
ini berhubung dianutnya bentuk negara kesatuan menurut Pasal 1 ayat (1) UUD
1945, artinya Negara Republik Indonesia menganut bentuk negara kesatuan yang
didesentralisasi (Josef Riwu Kaho, 1991:6);
Menurut Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis. Lebih lanjut Bagir Manan mengatakan bahwa asas dekonsentrasi adalah instrumen sentralisasi, karena itu sangat keliru kalau ditempatkan dalam sistematik pemerintahan daerah yang merupakan antitesis dari sentralisasi(Bagir Manan, 2001: 9);
Mengacu kepada rumusan pasal di atas dan beberapa pasal-pasal berikutnya, pembagian daerah di Indonesia dikenal pula adanya satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa dan satuan-satuan masyarakat hukum adat yang merupakan pengaturan pemerintahan asli Indonesia yang sepanjang hal itu masih ada sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 B. Ketentuan ini mengandung arti bahwa dalam susunan daerah baik Propinsi, Kabupaten maupun Kota dimungkinkan adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, namun pengertian daerah khusus dan istimewa dalam UUD 1945 ini belum ada batasan pengaturannya.
Menurut Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis. Lebih lanjut Bagir Manan mengatakan bahwa asas dekonsentrasi adalah instrumen sentralisasi, karena itu sangat keliru kalau ditempatkan dalam sistematik pemerintahan daerah yang merupakan antitesis dari sentralisasi(Bagir Manan, 2001: 9);
Mengacu kepada rumusan pasal di atas dan beberapa pasal-pasal berikutnya, pembagian daerah di Indonesia dikenal pula adanya satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa dan satuan-satuan masyarakat hukum adat yang merupakan pengaturan pemerintahan asli Indonesia yang sepanjang hal itu masih ada sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 B. Ketentuan ini mengandung arti bahwa dalam susunan daerah baik Propinsi, Kabupaten maupun Kota dimungkinkan adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, namun pengertian daerah khusus dan istimewa dalam UUD 1945 ini belum ada batasan pengaturannya.
Selain Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota
diatur pula adanya satuan masyarakat hukum adat sepanjang hal itu masih ada,
satuan masyarakat hukum adat tersebut mempunyai teritorial yang mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Perkembangan selanjutnya dengan adanya
perubahan paradigma otonomi daerah yang baru, berturut-turut ditetapkan dan
diundangkannya UU yang mengatur pemerintah daerah, yaitu:
- Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
- Undang-undang Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam.
- Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
- Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam.
UUD 1945, baik sebelum
maupun setelah amandemen, memberi ruang hadirnya praktik hubungan pusat dan daerah
yang didasarkan kepada karakter khas suatu daerah. Dalam UUD 1945 hasil
amandemen, misalnya, eksplisit ditegaskan, negara mengakui dan menghormati
satuan- satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.
Berdasarkan rumusan itu, UUD 1945 memungkinkan munculnya praktik otonomi daerah
yang berbeda antara suatu daerah dan daerah lain. Namun, untuk mengatur lebih
jauh bagaimana perbedaan derajat (khusus maupun istimewa, UUD 1945
menyerahkannya kepada undang-undang. Dalam praktik, sejak awal kemerdekaan,
semua daerah diatur seragam dan semua undang-undang tentang pemerintahan daerah
punya tafsir berbeda mengenai makna khusus dan istimewa itu.Perkembangan
berbeda mulai terasa sejak tahun 1999. Pemerintah tak mungkin lagi mengaturnya
secara seragam. Bahkan, untuk Aceh dan Papua, beberapa ketetapan MPR
mengamanatkan kedua daerah itu diberlakukan otonomi khusus. Untuk memenuhi
amanat itu, tahun 2001 ditetapkan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Aceh dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Namun, pemberian status otonomi khusus bagi Aceh dan Papua tak diikuti dengan paradigma baru. Akibatnya, dalam mengelola otonomi khusus, campur tangan pemerintah kian dominan. Campur tangan itu jelas terlihat dalam menyikapi aturan pemilihan kepala daerah. Sejauh ini, pemerintah memaksakan pola dan persyaratan umum dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang terjadi kemudian, muncul krisis kepercayaan (trust) kepada pemerintah dan otonomi khusus yang sudah disepakati. Padahal, otonomi khusus baru dapat dilaksanakan jika terbangun trust antara pemerintah pusat dan daerah yang menerima otonomi khusus.
Implementasi otonomi khusus di Aceh semakin menarik untuk dikaji karena Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak menerima UU No 18/2001. Untuk menyelesaikan penolakan tersebut, Pemerintah RI kembali melakukan perundingan dengan GAM. Dari serangkaian perundingan yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18/2001, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, berhasil disepakati Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Untuk memenuhi klausul di atas, pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang.
Namun, pemberian status otonomi khusus bagi Aceh dan Papua tak diikuti dengan paradigma baru. Akibatnya, dalam mengelola otonomi khusus, campur tangan pemerintah kian dominan. Campur tangan itu jelas terlihat dalam menyikapi aturan pemilihan kepala daerah. Sejauh ini, pemerintah memaksakan pola dan persyaratan umum dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang terjadi kemudian, muncul krisis kepercayaan (trust) kepada pemerintah dan otonomi khusus yang sudah disepakati. Padahal, otonomi khusus baru dapat dilaksanakan jika terbangun trust antara pemerintah pusat dan daerah yang menerima otonomi khusus.
Implementasi otonomi khusus di Aceh semakin menarik untuk dikaji karena Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak menerima UU No 18/2001. Untuk menyelesaikan penolakan tersebut, Pemerintah RI kembali melakukan perundingan dengan GAM. Dari serangkaian perundingan yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18/2001, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, berhasil disepakati Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Untuk memenuhi klausul di atas, pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang.
Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, setidaknya terdapat lima alasan pemberlakuan undang-undang ini, yaitu;
- Bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;
- Bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan
Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas
sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi;
- Bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut
bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang
melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
- Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan
kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan
hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, dan
- Bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
II. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar
belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalah yang akan dikaji lebih
jauh pada tulisan ini, yakni:
- Bagaimanakah ruang lingkup kewenangan yang dimiliki oleh Aceh pasca pemberlakuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh?
- Bagaimanakah bentuk dan peluang sengketa yang
dapat terjadi antara pemerintahan Aceh dan pemerintah (pusat) sehubungan
dengan kewenangan yang dimiliki Aceh berdasarkan UU 11/2006 tersebut?
- Langkah-langkah apa saja yang dapat ditempuh guna menciptakan hubungan yang harmonis antara pemerintahan Aceh dan pemerintah (pusat)?
PEMBAHASAN
I. Otonomi Khusus Pemerintahan Aceh Menurut
UU No 11/2006
Ketetapan
MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelengaraan
Otonomi Daerah menguraikan permasalahan-permasalahan mendasar yang dihadapi
dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagai tindak lanjut dari Ketetapan MPR
No. IV/MPR/2000 tanggal 9 Agustus 2001 Presiden Megawati Soekarnoputri
mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan tanggal 21
November 2001 juga disahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua.
Implementasi otonomi khusus di Aceh semakin
menarik untuk dikaji karena Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak menerima UU No
18/2001. Untuk menyelesaikan penolakan tersebut, Pemerintah RI kembali
melakukan perundingan dengan GAM. Dari serangkaian perundingan yang dilakukan
sejak pengesahan UU No 18/2001, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia,
berhasil disepakati Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah
RI dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan
dituangkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA).
Untuk memenuhi klausul di atas, pada 11 Juli
2006 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang
Pemerintah Aceh menjadi undang-undang.
Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, setidaknya terdapat lima alasan
pemberlakuan undang-undangan ini, yaitu:
- bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;
- bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan
Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas
sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi;
- bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut
bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang
melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
- bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan
kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan
hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan
- bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang
terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa
Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
II. Sistem Pemerintahan Daerah Menurut
UU 11/2006
Undang-undang Nomor 11
Tahun 2006 (UUPA) menegaskan bahwa Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan
kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Dan
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah Aceh
adalah dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Hal ini dapat dibaca pada bagian
penjelasan umum UUPA yang menyatakan :
"Hal demikian mendorong
lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya. Pemberian otonomi seluas-luasnya di bidang politik
kepada masyarakat Aceh dan mengelola pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip good
governance yaitu transparan, akuntabel, profesional, efisien, dan efektif
dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat di Aceh. Dalam
menyelenggarakan otonomi yang seluas-luasnya itu, masyarakat Aceh memiliki
peran serta, baik dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan maupun dalam
mengevaluasi kebijakan pemerintahan daerah"
Prinsip otonomi yang
seluas-luasnya tersebut dipertegas lagi sebagai kewajiban konstitusional,
dengan tetap menekankan posisi Pemerintahan Aceh sebagai bagian tidak
terpisahkan dari NKRI. Penegasan ini dapat dibaca dalam penjelasan UUPA sebagai
berikut :
"Undang-undang ini mengatur
dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi seluas-luasnya yang
diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem dalam
sistem pemerintahan secara nasional. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya
pada dasarnya bukanlah sekedar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan
kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
di Aceh"
III. Rumah Tangga Daerah dan masalah
kewenangan
Dengan adanya daerah diberikan hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri setiap urusan Pemerintahan menurut asas otonomi seluas-luasnya, mengandung makna (1) dilihat dari segi formal yaitu proses bagaimana daerah diberikan keleluasaan menurut caranya untuk mengatur dan mengurus rumah tangga tidak lagi ada turut campur Pemerintah pusat untuk menentukan bagaimana mengelola urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dengan tidak mengurangi prinsip-prinsip pemberian otonomi. (2) Dilihat dari segi materiil yaitu daerah diberikan kewenangan yang lebih besar (banyak) untuk mengelola urusan Pemerintahan kecuali ketentuan yang ditetapkan dalam UU merupakan kewenangan Pemerintah pusat, dengan demikian daerah diberikan kesempatan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan Pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintahan lokal.
Menyangkut kewenangan yang dimiliki
Pemerintahan Aceh diatur pada Pasal 7 UUPA, yakni:
- Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
- Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
- Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:
- Melaksanakan sendiri;
- Menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/ kota;
- Melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah; dan menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas pembantuan.
IV. Pembagian Kewenangan Pusat-Daerah Menurut UU No 11/2006
Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, pada bagian Ketentuan Umum UU No 11/2006 ditegaskan, Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Sementara Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Dalam hal pembagian kewenangan, UU No 11/2006 juga potensial terperangkap rebutan kewenangan dengan pemerintah pusat. Potensi itu muncul karena adanya frasa urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Berkenaan dengan frasa itu, Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) UU No 11/2006 menyatakan:
Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, pada bagian Ketentuan Umum UU No 11/2006 ditegaskan, Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Sementara Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Dalam hal pembagian kewenangan, UU No 11/2006 juga potensial terperangkap rebutan kewenangan dengan pemerintah pusat. Potensi itu muncul karena adanya frasa urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Berkenaan dengan frasa itu, Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) UU No 11/2006 menyatakan:
"Urusan pemerintahan yang
bersifat nasional yang dimaksudkan dalam ketentuan ini termasuk kebijakan di
bidang perencanaan nasional, kebijakan di bidang pengendalian pembangunan
nasional, perimbangan keuangan, administrasi negara, lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, teknologi tinggi yang
strategis, konservasi dan standardisasi nasional"
Penjelasan frasa urusan pemerintahan yang
bersifat nasional sekali lagi membuktikan bahwa pembagian kewenangan antara
pusat dan daerah sengaja dirumuskan sedemikian rupa sehingga sulit dirumuskan
dan diimplementasikan. Apalagi, hampir tidak urusan daerah yang terkait dengan
urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Jadi, prinsip residu power
dielemininasi sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat dapat melakukan
intervensi untuk semua urusan yang sudah diserahkan kepada daerah. Posisi
pemerintah pusat akan semakin dominan karena menurut Pasal 249 UU No 11/2006
menentukan bahwa pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan
pemerintahan kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah pusat sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain pembagian kewenangan dengan pusat, UU No 11/2006 juga menentukan masalah pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemeintahan Kabupaten/Kota. Kalau dibaca pembagian urusan wajib dan urusan wajib lainnya yang terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal UU No 11/2006 potensi terjadinya perhimpitan urusan cukup besar. Dengan kondisi tersebut, maka akan terjadi tumpang-tindih antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Bukan tidak mungkin, urusan-urusan yang bersifat pembiayaan juga akan terjadi kevakuman.
Selain pembagian kewenangan dengan pusat, UU No 11/2006 juga menentukan masalah pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemeintahan Kabupaten/Kota. Kalau dibaca pembagian urusan wajib dan urusan wajib lainnya yang terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal UU No 11/2006 potensi terjadinya perhimpitan urusan cukup besar. Dengan kondisi tersebut, maka akan terjadi tumpang-tindih antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Bukan tidak mungkin, urusan-urusan yang bersifat pembiayaan juga akan terjadi kevakuman.
Sebetulnya, titik rawan lain dalam pembagian
urusan muncul karena adanya ketentuan Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 yang
menyatakan:
Kemudian dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan:
"Pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota"
Kemudian dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan:
"Yang dimaksud dengan: Norma
adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk pelaksanaan
otonomi daerah. Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Prosedur adalah metode atau tata cara
untuk melaksanakan otonomi daerah"
Sekalipun ditentukan bahwa norma, standar,
dan prosedur tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh
dan Pemerintahan Kabupaten/Kota, kehadiran Pasal 11 Ayat (1) potensial
mengurangi kemandirian dalam melaksanakan urusan. Tidak hanya itu, Pasal 11
Ayat (1) dan pejelesannya tidak menentukan secara eksplisit bentuk hukum
penetapan norma, standar, dan prosedur dimaksud. Bisa jadi, akan muncul
penetapan norma, standar, dan prosedur dalam berbagai bentuk hukum mulai dari
peraturan pemerintah (pp) sampai dengan peraturan gubernur (pergub).
V. Peluang Konflik Pusat-Daerah
Ada tiga embrio konflik dalam UUPA yang bila tidak disikapi secara bijak akan dapat mengganggu jalannya proses demokratisasi dan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat Aceh yang lebih baik di bawah UUPA ini.
Embrio konflik pertama adalah masalah kewenangan. Menyangkut kewenangan yang dimiliki Aceh pasca pengesahan UUPA, sepintas tidak terdapat perbedaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh daerah lain. Provinsi Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus seluruh sektor pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali yang bersifat nasional, seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal serta urusan tertentu dalam bidang agama. Rumusan ini tidak berbeda dengan aturan yang terdapat pada Pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Ada tiga embrio konflik dalam UUPA yang bila tidak disikapi secara bijak akan dapat mengganggu jalannya proses demokratisasi dan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat Aceh yang lebih baik di bawah UUPA ini.
Embrio konflik pertama adalah masalah kewenangan. Menyangkut kewenangan yang dimiliki Aceh pasca pengesahan UUPA, sepintas tidak terdapat perbedaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh daerah lain. Provinsi Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus seluruh sektor pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali yang bersifat nasional, seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal serta urusan tertentu dalam bidang agama. Rumusan ini tidak berbeda dengan aturan yang terdapat pada Pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Masalahnya adalah bentuk dan ruang lingkup
kewenangan yang diberikan kepada Aceh tidak secara spesifik dijelaskan, di
antaranya adalah siapa yang mesti merinci kewenangan yang dimaksud serta apakah
menjadi kewenangan mutlak dari pemerintah Aceh untuk merumuskan kewenangan yang
akan menjadi urusan pemerintah Aceh, ataukah kewenangan tersebut nantinya akan
dirinci oleh pemerintah pusat melalui peraturan pemerintah seperti lazimnya
diberlakukan kepada daerah lain. Ini persoalan yang amat krusial.
Pada saat UUPA masih berbentuk rancangan dan
diperdebatkan di Senayan, terdapat rumusan Pasal 11 yang berbunyi;
"pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh,
kabupaten, dan kota". Dalam perkembangan pembahasan UUPA, rumusan pasal
ini dihapus. Dengan dihapusnya pasal ini, pemerintah pusat seakan memberikan
"cek kosong" kepada pemerintah Aceh untuk mengurai dan mengatur
sendiri kewenangan apa saja yang diinginkan oleh pemerintah Aceh. Hal yang
paling mengkhawatirkan adalah bagaimana sekiranya terjadi konflik antara
pemerintah Aceh dan pemerintah pusat menyangkut kewenangan tersebut, lembaga
mana yang akan menyelesaikannya?
Embrio konflik kedua adalah menyangkut masalah pilkada. UUPA mengatur pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil di Provinsi Aceh dan kabupaten/kota dilakukan secara langsung dengan nuansa kekhususan antara lain penyelenggara pemilihan dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan Aceh dan komisi independen pemilihan kabupaten/kota. Pasangan calon nantinya akan diusulkan oleh partai politik, partai lokal, dan kandidat perseorangan. Jadi akan ada tiga pintu masuk pada proses pencalonan pasangan calon.
Embrio konflik kedua adalah menyangkut masalah pilkada. UUPA mengatur pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil di Provinsi Aceh dan kabupaten/kota dilakukan secara langsung dengan nuansa kekhususan antara lain penyelenggara pemilihan dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan Aceh dan komisi independen pemilihan kabupaten/kota. Pasangan calon nantinya akan diusulkan oleh partai politik, partai lokal, dan kandidat perseorangan. Jadi akan ada tiga pintu masuk pada proses pencalonan pasangan calon.
Persoalannya adalah menyangkut partai lokal
yang diberikan kewenangan untuk mengusulkan pasangan calon, namun teknis
pembentukannya mesti menunggu aturan hukum dalam bentuk peraturan pemerintah
yang dikeluarkan oleh presiden. Dalam UUPA dijelaskan bahwa partai lokal boleh
ikut dalam pemilu untuk memilih anggta Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan
Dewan Perwakilan Rakyat Kota/Kabupaten (DPRK), mengajukan calon untuk mengisi DPRA
dan DPRK, mengusulkan pemberhentian dan pergantian antar waktu anggotanya,
mengusulkan pasangan calon gubernur-wakil, calon bupati-wakil, calon wali
kota-wakil dan dapat melakukan afiliasi dengan partai politik baik lokal maupun
nasional.
Ketentuan lebih lanjut tentang hal ini akan
diatur dalam peraturan pemerintah yang harus diterbitkan paling lambat Februari
2007. Dengan kata lain, campur tangan pemerintah pusat dalam proses pilkada di
aceh tetap terbuka lebar melalui perangkat peraturan pemerintah yang akan
dikeluarkan oleh presiden.
Di samping itu, dengan sistem pilkada yang
terbuka tersebut, peluang terjadinya konflik akan sulit untuk dibendung. Dengan
pencalonan sistem satu pintu saja (melalui parpol) seperti yang banyak
dipraktikkan daerah lain, konflik pilkada terjadi pada hampir setiap daerah.
Apalagi dengan sistem tiga pintu yang akan digelar di Aceh nantinya. Tentu saja
kerawanan akan konflik jauh lebih besar. Solusi antisipasi jelas berada di
tangan Komisi Independen Pemilihan Aceh dalam merumuskan aturan pilkada yang
aspiratif dan melalui proses yang transparan serta yang terpenting melibatkan
semua unsur yang terpaut langsung terhadap proses pilkada di Aceh. Merumuskan
aturan pilkada yang dapat memuaskan semua pihak tentu bukan pekerjaan yang
sederhana.
Embrio konflik yang ketiga adalah masalah pengelolaan sumber daya alam. Pasal 160 ayat (1) UUPA merumuskan "Pemerintah dan pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh". Namun pada penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa " Sumber daya migas dikelola pemerintah Aceh". Pemberian kewenangan khusus kepada pemerintah Aceh untuk mengelola sumber daya migas seakan mengenyampingkan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang".
Rumusan Pasal 160 ayat (1) UUPA bila dilihat dari segi kepentingan daerah lain, merupakan embrio konflik yang mengkhawatirkan. Bagi daerah lain, sumber daya alam, khususnya migas yang berada di Aceh tentu bukan sepenuhnya menjadi hak mutlak masyarakat Aceh. Sepanjang masih berada di wilayah NKRI, migas di Aceh menjadi hak bagi setiap daerah.
Embrio konflik yang ketiga adalah masalah pengelolaan sumber daya alam. Pasal 160 ayat (1) UUPA merumuskan "Pemerintah dan pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh". Namun pada penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa " Sumber daya migas dikelola pemerintah Aceh". Pemberian kewenangan khusus kepada pemerintah Aceh untuk mengelola sumber daya migas seakan mengenyampingkan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang".
Rumusan Pasal 160 ayat (1) UUPA bila dilihat dari segi kepentingan daerah lain, merupakan embrio konflik yang mengkhawatirkan. Bagi daerah lain, sumber daya alam, khususnya migas yang berada di Aceh tentu bukan sepenuhnya menjadi hak mutlak masyarakat Aceh. Sepanjang masih berada di wilayah NKRI, migas di Aceh menjadi hak bagi setiap daerah.
Kecemburuan daerah lain tidak saja dipicu
masalah migas di atas. Di sisi ekonomi, sumber penerimaan Aceh memperoleh dana
perimbangan yang diperlakukan khusus yaitu dari bagi hasil hidrokarbon dengan
besaran 70 persen. Di samping itu, Aceh juga akan memperoleh dana otonomi
khusus untuk membiayai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pendidikan,
sosial dan kesehatan selama 20 tahun dengan rincian tahun 1-15 tahun sebesar 2
persen plafon DAU nasional dan tahun 16-20 tahun sebesar 1 persen plafon DAU
nasional. Kebijakan ini akan berlaku efektif mulai 2008. angka-angka yang amat
fantastis ini seakan menjadi Aceh sebagai "anak emas" baru di
republik ini.
Agar ketiga konflik tersebut tidak meluas
menjadi sebuah ketegangan baru hubungan pusat-daerah, amat mendesak bagi
pemerintahan SBY-Budiono mengambil langkah-langkah yang bijak guna menjelaskan
kepada publik, khususnya daerah-daerah minus yang terimbas langsung dari
kebijakan pemberikan otonomi baru kepada pemerintahan Aceh.
Lalu, menghadapi masalah-masalah pembagian
kewenangan di atas, langkah apa yang harus dilakukan untuk dapat keluar dari
masalah tersebut? Pertanyaan itu menjadi penting karena keberhasilan
pelaksanaan kewenangan antara pusat dan daerah akan amat menentukan
keberhasilan UU No 11/2006. Saya menyarankan beberapa langkah berikut:
Banyak kalangan berpendapat, secara umum, kehadiran UU No 11/2006 akan menjadi babak baru praktik otonomi daerah di Indonesia. Pendapat seperti itu tentu akan ada benarnya kalau kehadiran UU No 11/2006 mampu membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik guna menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, di tengah harapan yang demikian juga muncul pendapat yang meragukan keberlangsungan UU No 11/2006. Keraguan itu muncul, di antaranya, karena pengalaman dan praktik otonomi khusus di bawah Undang-Undang No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (UU No 18/2001).
Namun, keraguan bahwa Aceh sebagai daerah yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan akan dapat terlaksana dengan baik karena ada penilaian bahwa kewenangan Aceh tidak ditentukan dengan tegas dalam UU No 11/2006. Apalagi, dalam ketidaktegasan itu, Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 menyatakan: pemerintah (pusat) menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota.
- Pertama, berkaca pada pengalaman pelaksanaan hubungan pusat di daerah (yang bukan dengan pola otonomi khusus) lain, sebaiknya dibentuk badan ad-hoc yang dapat menjembatani penyelesaian pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembentukan itu tidak saja menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah serius mengelola otonomi khusus, tetapi juga mempercepat keluar dari kecenderungan penyeragaman pola otonomi daerah di Departemen Dalam Negeri. Tanpa pengelolaan yang sungguh-sungguh, otonomi khusus akan berubah menjadi otonomi kasus.
- Kedua, pemerintah pusat mesti membuat bentuk produk hukum yang seragam dalam menyusun norma, standar, dan prosedursehingga benar-benar tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota sebagai daerah yang diberi status khusus atau istimewa. Akan lebih baik kalau produk hukum penyusunan norma, standar, dan prosedur dibuat dalam satu produk hukum saja.
- Ketiga, membangun komunikasi yang intensif antara Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam menyusun pembagian urusan antara provinsi dengan kabupaten/kota. Komunikasi ini menjadi penting agar potensi konflik pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota tidak berubah menjadi ruang bagi pemerintah pusat untuk memperluas dan memperkuat intervensi.
Banyak kalangan berpendapat, secara umum, kehadiran UU No 11/2006 akan menjadi babak baru praktik otonomi daerah di Indonesia. Pendapat seperti itu tentu akan ada benarnya kalau kehadiran UU No 11/2006 mampu membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik guna menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, di tengah harapan yang demikian juga muncul pendapat yang meragukan keberlangsungan UU No 11/2006. Keraguan itu muncul, di antaranya, karena pengalaman dan praktik otonomi khusus di bawah Undang-Undang No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (UU No 18/2001).
Namun, keraguan bahwa Aceh sebagai daerah yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan akan dapat terlaksana dengan baik karena ada penilaian bahwa kewenangan Aceh tidak ditentukan dengan tegas dalam UU No 11/2006. Apalagi, dalam ketidaktegasan itu, Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 menyatakan: pemerintah (pusat) menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota.
PENUTUP
Kesimpulan:
- Setelah pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 maka Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberi kewenangan seluas-luasnya untuk mengatur daerahnya sendiri sebagaimana yang terdapat pada pasal 7 UU tersebut.
- Ada 3 embrio konflik akibat pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006, yaitu: masalah kewenangan, masalah pilkada karena adanya hak bagi partai lokal mengusung calonnya, masalah pengelolaam sumber daya alam.
- Langkah-langkah yang ditempuh untuk menghindari konflik tersebut adalah dibentuknya badan ad hoc yang menjembatani pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh, membangun komunikasi yang efektif dan membuat aturan hukum yang seragam dengan tidak mengurangi keistimewaan kewenangan pemerintah Aceh.
Saran
- Agar pemerintah cepat tanggap dalam dugaan-dugaan konflik yang akan terjadi akibat pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006.
- Agar terus dilakukan penyempurnaan terhadap aturan hukum yang terkait dengan otonomi khusus Aceh sehingga semakin meminimalisir terjadinya peluang konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Syafrudin, Ateng, 1993, Pengaturan
Koordinasi Pemerintahan Di Daerah, Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti,
-------------, 1973, Pemerintah Daerah
dan Pembangunan, Bandung, PT. Bandung Press, Sumur
Manan, Bagir, 1993, Perjalanan
Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang, UNSIKA
-------------, 2001, Menyongsong Fajar
Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH), Yogyakarta, UII Press.
Huda, Nimatul, 2005, Otonomi Daerah,
Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Pustaka Pelajar
PSHK, Catatan PSHK Untuk Akhir Masa Sidang
IV 2005-2006 DPR; Penuh Dinamika Namun Tidak Jelas Arahnya, dikutip dari http://www.pshk.org
Soehino, 1991, Hukum Tata Negara
Perkembangan Otonomi Daerah, BPFE-Yogyakarta, Edisi Kedua, 2004
Josef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, Rineka Cipta
Josef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, Rineka Cipta
Sujamto, 1988, Daerah Istimewa Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bina Aksara
0 komentar:
Post a Comment