• Swing States: Kunci Kemenangan Trum dan Hillary Clinton (1)

    Pertarungan memperebutkan gedung putih kian sengit, bahkan sampai pada malam hari menjelang pemilihan umum. Salah satunya yaitu mendulang dukungan dari swing state. swing state disebut-sebut sebagai penentu dalam pilpres tahun ini.

  • Kra Canal (2)

    Kra Canal atau Canal Thai mengacu pada proposal kanal untuk memotong melalui tanah genting selatan Thailand, yang menghubungkan Teluk Thailand dengan Laut Andaman.

  • Eiffel Scholarship Program (3)

    Pemerintah prancis yang menawarkan beasiswa kepada mahasiswa internasional melalui effel exellence scholarship programe, adapun beasiswa ini diperuntukkan bagi mahasiswa internasional

  • Model-Model Demokrasi (5)

    Demokrasi berasal dari bahasa yunani, demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Menurut robertson demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana rakyat berkuasa

  • A Theory of Justice (6)

    John Borden Rawls dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 21 Februari 1921

Wednesday 6 April 2016

A THEORY OF JUSTICE


Hasil gambar untuk poto john rawls

John Borden Rawls dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 21 Februari 1921 dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Di usia remajanya, Rawls sempat bersekolah di Baltimore untuk beberapa saat dan kemudian pindah pada sekolah keagamaan di Connecticut. Walaupun keluarganya hidup dalam keadaan yang mumpuni, John Rawls mengalami dua peristiwa yang cukup menyedihkan di masa mudanya. Dalam dua tahun berturut-turut, dua adik laki-lakinya meninggal akibat penyakit yang ditularkan darinya, yaitu diphtheria dan pneumonia. Rawls amat merasa bersalah atas terjadinya peristiwa tersebut. Namun demikian, kakak laki-lakinya yang dikenal sebagai seorang atlet ternama di Princeton University selalu memberikan semangat dan dorongan moral kepada Rawls.[1]

Akhirnya, setelah berhasil menyelesaikan sekolahnya, John Rawls menyusul jejak kakaknya untuk berkuliah di Princeton University pada 1939. Karena ketertarikan dan pemahamannya yang amat mendalam pada ilmu filsafat, dirinya kemudian terpilih untuk bergabung dalam The Ivy Club yaitu sebuah kelompok elit akademis terbatas, dimana Woodrow Wilson, John Marshal II, Saud bin Faisal bin Abdul Aziz, serta Bill Ford pernah menjadi bagian dari keanggotannya. 

Pada 1943, setelah berhasil lulus dengan gelar Bachelor of Arts (B.A.), John Rawls langsung bergabung menjadi tentara. Liku perjalanan kehidupannya dimulai pada saat terjadinya Perang Dunia II ketika dirinya diangkat sebagai prajurit infantri dengan tugas penempatan di kawasan negara-negara Pasifik, seperti Papua Nugini, Filipina, dan Jepang. Akibat pengalaman pahitnya sebagai saksi hidup atas terjadinya tragedi penjatuhan bom atom di kota Hiroshima, Rawls mengundurkan diri dari karir kemiliterannya pada 1946. Tidak lama setelah itu, dirinya kembali ke Princeton University dan menulis disertasi doktoralnya di bidang filsafat moral. Pada masa-masa inilah Rawls pertama kali dipengaruhi oleh rekan dan pembimbingnya dari Wittgensteinean, Norman Malcolm, yang mengajarkan dirinya untuk menghindari jeratan kontroversi metafisis. Tiga tahun kemudian, Rawls menikah dengan Margaret Warfield Fox Rawls, seorang wanita yang kemudian membantunya melakukan penulisan indeks terhadap buku “Nietzsche”. 

Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul “A Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth of Character”, John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy(Ph.D.) dari Princeton University pada 1950. John Rawls kemudian dipercaya untuk mengajar pada almamaternya hingga 1952, sebelum akhirnya melanjutkan studi di Oxford University, Inggris, melalui program Fulbright Fellowship. Di Universitas inilah dirinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tentang teori kebebasan di bidang hukum dan filsafat politik, seperti yang dikemukakan oleh Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart dan Isaiah Berlin. Apabila John Rawls mencoba untuk mengkaji konsepsi mengenai praktik-praktik sosial (social practices) yang dikenalkan oleh Hart guna mengeksplorasi kelemahan utilitarianisme, maka konsepsi mengenai persandingan antara kebebasan negatif (negative liberty) dan kebebasan positif (positive liberty) diperolehnya dari pemikiran Berlin. 

Sekembalinya ke Amerika Serikat, John Rawls melanjutkan karir akademiknya di Cornell University dan secara bertahap dirinya diangkat sebagai Guru Besar Penuh pada 1962. Tidak lama kemudian, Rawls juga memperoleh kesempatan untuk mengajar dan menjadi Guru Besar di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dua tahun setelahnya, John Rawls memilih pindah untuk mengajar secara penuh di Harvard University, tempat dimana dirinya mengabdi hingga akhir hayat.

Selama masa hidupnya, John Rawls sempat dipercaya untuk memegang beberapa jabatan penting. Di antaranya, yaitu Presiden American Association of Political and Legal Philisopher (1970-1972), Presiden the Eastern Division of the American Philosophical Association (1974), dan Professor Emeritus di James Bryant Conant University, Harvard (1979). Selain itu, dirinya juga terlibat aktif dalam the American Philosophical Society, the British Academy, dan the Norwergian Academy of Science. 

Sejak 1995 Rawls terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya secara perlahan akibat penyakit stroke yang telah melemahkan daya jelajah berpikirnya. Tepat pada 24 November 2002 di rumahnya (Lexington), John Rawls menghembuskan nafas terakhirnya akibat gagal jantung. Pada saat itu, dirinya meninggalkan seorang istri, Margaret Fox, dan empat orang anak, yaitu Anne Warfield, Robert Lee, Alexander Emory, dan Elizabeth Fox, serta empat orang cucu yang masih belia[2]. 



KONSEP BANTAHAN RAWLS ATAS UTILITI DAN INSTUISI 

Dalam menilai konsep keadilan yang telah berkembang, Rawls menggunakan reflective equilibrium. Relative equilibrium adalah metoda ataupun pendekatan untuk melakukan pertimbangan dan penilain yang mendalam atas berbagai konsep keadilan yang berbeda-beda.[3] Konsep ini digunakan untuk menilai secara filosofis dan rasional atas suatu konsep, dalam hal ini penilai dapat melakukan penilaian kembali serta menyelaraskan keputusannya terhadap konsep yang telah ada. Dalam mengembangkan teori Rule Of Justice Rawls melakukan penilaian atas dua teori, yaitu teori utilitarianisme dan teori instuionisme. 

a. Kritis terhadap Utilitarianisme. 

Dalam studi utilitarianisme ada banyak aliran yang telah berkembang, namun dalam hal ini Rawls memililih konsep yang dikembangkan oleh Henry Sidgwick yang dianggap sebagai teori utilitarianisme klasik. Utilitarianisme dalam rumusan yang paling sederhana mengklaim bahwa tindakan atau atau kebijaksanaan yang secara moral adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi warga masyarakat.[4] Utilitarianisme sebagai sebuah moralitas politik berlaku apa yang dikatakan Rawls ‘struktur dasar’ (basic structure) masyarakat, bukan pada perilaku individu-individu secara pribadi. Kaum utilitarian secara tradisional telah mendefinisakan utiliti dalam pengertian kebahagiaan (happiness), maka slogan umum yang digunakan adalah ‘the greatest happiness of the greatest number’atau “kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang terbesar”. Tentu slogan yang demikian menyesatkan karena slogan yang menyerukan kehidupan ‘hedonis’. 

Selain itu, tolak ukur tingkat kesejahteraan suatu masyrakat adalah secara keseluruhan. Jika yang menjadi tolak ukur adalah ‘keseluruhan’ maka ada yang di korbankan, dalam hal ini adalah individu-individu, lebih tragis yang menjadi korban adalah individu yang cacat. Maka utilitarianisme telah mengorbankan indvidu sebagai tolak ukur yang di gunakan dalam mengukur tingkat kesejahteraan. Maka utilitarianisme telah gagal dalam menjamin keadilan itu sendiri.

Dalam pandangan Rawls tidak fair jika kita mengorbankan kepentingan satu atau sekelompok orang hanya untuk kepentingan ekonomi masyarakat secara keseluruhan. 

b. Kritik atas teori instuisionisme 
Dalam pandangan Rawls instuitif memang dapat mengatasi masalah keadilan. Namun instuisionime tidak menerapkan suatu batasan- batasan dalam suatu masalah yang utama, sehingga pada masalah yang akan diselesaikan cenderung lebih mementingkan diri sendiri. Maka, konsep keadilan bersama yang di harapkan tidak lagi terwujud, yang terjadi adalah kepentingan pribadi lebih di utamakan dari pada kepentingan bersama. 
Dalam hal ini Rawls mendeskripsikan instuisionisme secara lebih padat kedalam dua ciri utama: 

Pertama, teori instuisionisme dibentuk oleh pluralitas prnsip-prinsip pertama yang mungkin bertentangan, yang memberikan petunjuk-petunjuk yang tidak masuk akal dalam kumpulan kasus-kasus khusus; kedua, teori-teori instuisionis tidak mengandung metode yang eksplisit, tanpa prioritas aturan-aturan, uuntuk mempertimbangkan prinsip-prinsip ini satu sama lain. Kita hanya menyetujui keseimbangan intuisi dengan sesuatu yang bagi kita nampak seperti hampir benar. Atau jika terdapat prioritas aturan-aturan ini dianggap lebih kurang sepele dan tidak banyak membantu dalam mencapai sebuah keputusan[5]. 

Dengan demikian kelemahan instuisionisme sebagai teori keadilan menjadi tergugat.

Share:
Mufazzal (c). Powered by Blogger.

Blogroll

"Kami Pemuda Yang Mengakui Bahwa Kami Tidak Memiliki Pengalaman, karena Kami Tidak Menawarkan Masa lalu. Kami Pemuda Menawarkan Masa Depan Untuk Perubahan Menuju Kesejahteraan, Kecerdasan, Dan Harga Diri"

Total Views

Popular Posts

Blog Archive

Contact Form

Name

Email *

Message *