John Borden Rawls dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 21 Februari 1921 dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Di usia remajanya, Rawls sempat bersekolah di Baltimore untuk beberapa saat dan kemudian pindah pada sekolah keagamaan di Connecticut. Walaupun keluarganya hidup dalam keadaan yang mumpuni, John Rawls mengalami dua peristiwa yang cukup menyedihkan di masa mudanya. Dalam dua tahun berturut-turut, dua adik laki-lakinya meninggal akibat penyakit yang ditularkan darinya, yaitu diphtheria dan pneumonia. Rawls amat merasa bersalah atas terjadinya peristiwa tersebut. Namun demikian, kakak laki-lakinya yang dikenal sebagai seorang atlet ternama di Princeton University selalu memberikan semangat dan dorongan moral kepada Rawls.[1]
Akhirnya, setelah berhasil menyelesaikan sekolahnya,
John Rawls menyusul jejak kakaknya untuk berkuliah di Princeton University pada
1939. Karena ketertarikan dan pemahamannya yang amat mendalam pada ilmu
filsafat, dirinya kemudian terpilih untuk bergabung dalam The Ivy Club yaitu sebuah kelompok elit akademis
terbatas, dimana Woodrow Wilson, John Marshal II, Saud bin Faisal bin Abdul
Aziz, serta Bill Ford pernah menjadi bagian dari keanggotannya.
Pada 1943, setelah berhasil lulus dengan gelar Bachelor of Arts (B.A.), John Rawls langsung
bergabung menjadi tentara. Liku perjalanan kehidupannya dimulai pada saat
terjadinya Perang Dunia II ketika dirinya diangkat sebagai prajurit infantri
dengan tugas penempatan di kawasan negara-negara Pasifik, seperti Papua Nugini,
Filipina, dan Jepang. Akibat pengalaman pahitnya sebagai saksi hidup atas
terjadinya tragedi penjatuhan bom atom di kota Hiroshima, Rawls mengundurkan
diri dari karir kemiliterannya pada 1946. Tidak lama setelah itu, dirinya
kembali ke Princeton University dan menulis disertasi doktoralnya di bidang
filsafat moral. Pada masa-masa inilah Rawls pertama kali dipengaruhi oleh rekan
dan pembimbingnya dari Wittgensteinean, Norman Malcolm, yang mengajarkan
dirinya untuk menghindari jeratan kontroversi metafisis. Tiga tahun kemudian,
Rawls menikah dengan Margaret Warfield Fox Rawls, seorang wanita yang kemudian
membantunya melakukan penulisan indeks terhadap buku “Nietzsche”.
Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya
yang berjudul “A Study in the Grounds of Ethical Knowledge:
Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth of Character”,
John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy(Ph.D.)
dari Princeton University pada 1950. John Rawls kemudian dipercaya untuk mengajar
pada almamaternya hingga 1952, sebelum akhirnya melanjutkan studi di Oxford
University, Inggris, melalui program Fulbright Fellowship. Di Universitas
inilah dirinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tentang teori
kebebasan di bidang hukum dan filsafat politik, seperti yang dikemukakan oleh
Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart dan Isaiah Berlin. Apabila John Rawls
mencoba untuk mengkaji konsepsi mengenai praktik-praktik sosial (social practices) yang dikenalkan oleh Hart guna
mengeksplorasi kelemahan utilitarianisme, maka konsepsi mengenai persandingan
antara kebebasan negatif (negative liberty)
dan kebebasan positif (positive liberty) diperolehnya dari
pemikiran Berlin.
Sekembalinya ke Amerika Serikat, John Rawls
melanjutkan karir akademiknya di Cornell University dan secara bertahap dirinya
diangkat sebagai Guru Besar Penuh pada 1962. Tidak lama kemudian, Rawls juga
memperoleh kesempatan untuk mengajar dan menjadi Guru Besar di Massachusetts
Institute of Technology (MIT). Dua tahun setelahnya, John Rawls memilih pindah
untuk mengajar secara penuh di Harvard University, tempat dimana dirinya
mengabdi hingga akhir hayat.
Selama masa hidupnya, John Rawls sempat dipercaya
untuk memegang beberapa jabatan penting. Di antaranya, yaitu Presiden American
Association of Political and Legal Philisopher (1970-1972), Presiden the
Eastern Division of the American Philosophical Association (1974), dan
Professor Emeritus di James Bryant Conant University, Harvard (1979). Selain
itu, dirinya juga terlibat aktif dalam the American Philosophical Society, the
British Academy, dan the Norwergian Academy of Science.
Sejak 1995 Rawls terpaksa harus meninggalkan
pekerjaannya secara perlahan akibat penyakit stroke yang telah melemahkan daya
jelajah berpikirnya. Tepat pada 24 November 2002 di rumahnya (Lexington), John
Rawls menghembuskan nafas terakhirnya akibat gagal jantung. Pada saat itu,
dirinya meninggalkan seorang istri, Margaret Fox, dan empat orang anak, yaitu
Anne Warfield, Robert Lee, Alexander Emory, dan Elizabeth Fox, serta empat
orang cucu yang masih belia[2].
KONSEP BANTAHAN
RAWLS ATAS UTILITI DAN INSTUISI
Dalam menilai konsep keadilan yang telah berkembang,
Rawls menggunakan reflective equilibrium. Relative equilibrium adalah
metoda ataupun pendekatan untuk melakukan pertimbangan dan penilain yang
mendalam atas berbagai konsep keadilan yang berbeda-beda.[3]
Konsep ini digunakan untuk menilai secara filosofis dan rasional atas suatu
konsep, dalam hal ini penilai dapat melakukan penilaian kembali serta
menyelaraskan keputusannya terhadap konsep yang telah ada. Dalam mengembangkan
teori Rule Of Justice Rawls melakukan penilaian atas dua teori, yaitu
teori utilitarianisme dan teori instuionisme.
a. Kritis terhadap Utilitarianisme.
Dalam studi utilitarianisme ada banyak aliran yang
telah berkembang, namun dalam hal ini Rawls memililih konsep yang dikembangkan
oleh Henry Sidgwick yang dianggap sebagai teori utilitarianisme klasik.
Utilitarianisme dalam rumusan yang paling sederhana mengklaim bahwa tindakan
atau atau kebijaksanaan yang secara moral adalah yang menghasilkan kebahagiaan
terbesar bagi warga masyarakat.[4] Utilitarianisme
sebagai sebuah moralitas politik berlaku apa yang dikatakan Rawls
‘struktur dasar’ (basic structure) masyarakat, bukan pada perilaku
individu-individu secara pribadi. Kaum utilitarian secara tradisional telah
mendefinisakan utiliti dalam pengertian kebahagiaan (happiness), maka
slogan umum yang digunakan adalah ‘the greatest happiness of the greatest
number’atau “kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang terbesar”. Tentu slogan
yang demikian menyesatkan karena slogan yang menyerukan kehidupan
‘hedonis’.
Selain itu, tolak ukur tingkat kesejahteraan suatu
masyrakat adalah secara keseluruhan. Jika yang menjadi tolak ukur adalah
‘keseluruhan’ maka ada yang di korbankan, dalam hal ini adalah
individu-individu, lebih tragis yang menjadi korban adalah individu yang cacat.
Maka utilitarianisme telah mengorbankan indvidu sebagai tolak ukur yang di
gunakan dalam mengukur tingkat kesejahteraan. Maka utilitarianisme telah gagal
dalam menjamin keadilan itu sendiri.
Dalam pandangan Rawls tidak fair jika kita
mengorbankan kepentingan satu atau sekelompok orang hanya untuk kepentingan
ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
b. Kritik atas teori instuisionisme
Dalam pandangan
Rawls instuitif memang dapat mengatasi masalah keadilan. Namun instuisionime
tidak menerapkan suatu batasan- batasan dalam suatu masalah yang utama,
sehingga pada masalah yang akan diselesaikan cenderung lebih mementingkan diri
sendiri. Maka, konsep keadilan bersama yang di harapkan tidak lagi terwujud,
yang terjadi adalah kepentingan pribadi lebih di utamakan dari pada kepentingan
bersama.
Dalam hal ini Rawls mendeskripsikan instuisionisme
secara lebih padat kedalam dua ciri utama:
Pertama, teori
instuisionisme dibentuk oleh pluralitas prnsip-prinsip pertama yang mungkin
bertentangan, yang memberikan petunjuk-petunjuk yang tidak masuk akal dalam
kumpulan kasus-kasus khusus; kedua, teori-teori instuisionis tidak mengandung
metode yang eksplisit, tanpa prioritas aturan-aturan, uuntuk mempertimbangkan
prinsip-prinsip ini satu sama lain. Kita hanya menyetujui keseimbangan intuisi
dengan sesuatu yang bagi kita nampak seperti hampir benar. Atau jika terdapat
prioritas aturan-aturan ini dianggap lebih kurang sepele dan tidak banyak
membantu dalam mencapai sebuah keputusan[5].
Dengan demikian kelemahan instuisionisme sebagai teori
keadilan menjadi tergugat.
MODEL
MASYARAKAT YANG ADIL
Dalam mengembangkan model struktur masyarakat yang
adil ini, Rawls memusatkan diri terutama pada susunan institusional masyarakat
yang menurut Rawls akan memenuhi prinsip perbedaan. Dalam masyrakat kita
terdapat pemilikan pribadi atas modal dan sebagian suber-sumber alam . Cabang
alokasi semacam itu dipakai untuk mempertahankan sistem pasar bebas. Dengan itu
cabang pencipta stabilitas yang fungsinya mengedepankan lapangan kerja yang
layak juga ada, sedangcabang transfer menjamin pendapatan minimum masyarakat
entah dengan jaminan keluarga atau jaminan khusus bagi si sakit atau
penganggur. Atau lebih sistimatis lagi dengan tambahan pendapatan bertahap.
Cabang distribusi bertugas menjaga keadilan dalam pembagian dengan sarana pajak
dan penyesuaian hak milik. Cabang ini meliputi penentuan sejumlah pajak warisan
dan penentuan pajak untuk menaikkan pendapatan yang dituntut prinsip keadilan.
a. Keadilan Sosial
Dalam pandangan Rawls keadilan sosial dapat dijalankan
jika masyarakat tersebut sudah tertata dengan baik, lebih lanjut Rawls
mengatakan masyarakat yang baik adalah masyarakat yang strukturnya sendiri
sudah adil. Adapun ciri-ciri masyarakat yang adil itu yaitu:[6]
- Setiap warga masyarakat yang bersangkutan menerima konsep umum yang sama tentang keadilan, dan konsep tersebut dimengerti secara luas.
- Setiap warga memiliki rasa keadilan yang efektif, yang menuntut mereka kepada kehendak untuk menyelenggarakan keadilan yang mereka perlukan itu.
- Masyarakat tersebut secara konsisten merealisasikan konsep umum tersebut di dalam lembaga-lembagaa.
Ketiga ciri pokok tersebut Rawls menyebutnya sebagai the
three levels of publicity. Hal ini menurut Rawls mampu mewadahi
pandangan-pandangan moral yang berbeda-beda, sehingga kemudian menjalaninya
kedalam kerjasama sosial diantara warga masyarakat yang rasional, sederajat,
dan bebas. Adapun keadilan sosial itu pada akhirnya tidak hanya sekedar bahwa
segenap kebebasan yang sama ataupun setara dari setiap orang itu terlindungi
semata, melainkan terutama juga bahwa kebebasan-kebebasan dasar terselenggara
secara efektif oleh semua pihak dimasyarakat yang bersangkutan, sampai pada
suatu tataran bahwa kenyamanan suasana kebebasan terasa maksimal bagi mereka
yang kurang beruntung (the worst off).[7]
Konsep the worst off dalam istilah lain Rawls
menyebut dengan the least advantaged untuk menunjuk masyarakat yang
kurang beruntung atau kaum yang tidak berkemampuan secara fisik atau mental.
b. Primary Of Goods
Primary goods adalah segala sesuatu yang setiap orang
memerlukan dalam status mereka sebagai warganegara yang bebas dan sederajat,
maupun sebagai warga masyarakat yang normal dan sepenuhnya kooperatif dalam
kehidupan mereka yang selengkap nya[8].
Terdapat dua jenis primary goods. Pertama, natural
primary goods; dan kedua, social primary goods. Natural primary
goods terdiri atas:
- Kesehatan dan kebugaran.
- Intelegensi dan imajinasi
Sedangkan social primary goods adalah hak dan kebebasan, kesempatan dan
daya kemampuan, pendapatan dan kekayaan.[9] Secara lebih
khusus social primery goods terdiri atas:
- Pendapatan dan kekayaan (income and wealth).
- Daya kemampuan dan hak-hak prerogatif untuk mengisi jabatan dan posisi yang menuntut tanggung jawab.
- Martabat pribadi yang berbasis sosial.
Primary goods dimaknai sebagai kondisi setia orang untuk berusaha mengejar
dan mewujudkan sesuatu yang dipandangnya baik serta mengembangkan dan melaksanakan
kedua kemampuan moral yang dimilikinya. Adapun kedua kemampuan moral yang
dimaksud adalah kemampuan alami untuk memiliki konsep yang baik dan konsep yang
adil, adapun nilai-nilai primer itu adalah:
- Kebebasan-kebebasan dasar, nilai ini dimaksudkan untuk memahami apa yang baik dan yang adil.
- Kebebasan bergerak dari kebebasan memilih pekerjaan.
- Daya kemempuan dan hak-hak prerogatif untuk mengisi jabatan dan posisi yang menuntut tanggung jawab.
- Pendapatan dan kekayaan.
- Martabat pribadi berbasis sosial.
Nilai-nilai ini merupakan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh setiap individu
untuk menjadi manusia yang sesungguhnya sesuai dengan esensial dari seorang
personal moral. Dengan demikian nampak Rawls menaruh perhatian yang besar
terhadap Primary Goods atau nilai-nilai primer, bagi Rawls sungguh mustahil
untuk mencapai masyarakat yang adil jika nilai-nilai primer ini tidak
teraplikasikan dalam suatu masyarakat.
PRINSIP-PRINSIP
KEADILAN RAWLS
Dengan demikian prinsip perbedaan menurut diaturnya
struktur dasar masyarakat adalah sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek
mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas diperuntukkan
bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang diutungkan.
Konsepsi umum keadilan rawls terdiri atas gagasan
utama; ‘semua barang-barang social yang utama, kebebasan dan kesempatan,
pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasara kehormatan diri harus didistribusikan
secara sama kecuali kalau distribusi tidak sama atas sebagaian atau seluruh
barang ini menguntungkan mereka yang paling kurang sukai’. [10]
Dalam konsepsi umum ini, rawls mengaitkan gagasan
tentang keadilan dengan gagasan tentang pembagian barang-barang social secara
sama. Jhon Rawls memulai tulisannya dalam buku A theory of justice dengan
keluhan bahwa teori politik terjebak diantara dua ekstrim; di satu pihak
utilitirianisme dan di pihak lain campuran berbagai gagasan dan prinsip yang
tidak koheren. Rawls menyebut alternatif kedua ini sebagi ‘institusionisme’
sebuah pendekatan yang sedikit menyerupai rangkain anekdot yang didasarkan pada
instuisi tertentu mengenai berbagai isu tertentu.
Instuisionisme merupakan alternatif yang tidak
memuaskan bagi utilitirianisme, karena walaupun kita sebenarnya memperagakan
instuisi anti-utilitirianisme pada isu-isu tertentu, kita juga menginginkan
sebuah teori yang menjelaskan mengapa contoh-contoh khasus ini tidak kita
setujui. Tetapi ‘institusionalisme’ tidak pernah sampai melewati, atau dibawah,
instuisi-instuisi awal ini untuk menunjukkan hubungannya untuk menyediakan
prinsipyang mendasari dan memberikan struktur terhadapanya.
Dalam pandanganRawls, memperlakukan orang secara sama
tidak dengan menghapuskan semua ketimpangan(inqualities) tetapi hanya
ketimpangan-ketimpangan tertentu menguntungkan semua orang dengan membangkitkan
berbagai energy dan bakat yang bermanfaat secara social, maka ketidaksaan ini
dapat diterima semua orang.
Jika memberlebih banyak uang dari pada yang saya
miliki pada orang lain akan mempromosikan kepentingan-kepentingan saya, maka
perhatian yang sama demi kepentingan-kepetingan saya menyarankan agar kita
mengijinkan dari pada melawan ketimpangan itu.
Ketimpangan diperbolehkan jika meningkatkan bagian
yang sama, yang menjadi hak saya pada awalnya, tetapi tidak diperbolehkan jika
seperti dalam utilirianisme, ketimpangan itu melanggar bagian yang sama, yang
menjadi hak saya inilah gagasan tuggal yang sederhana pada jantung teori Rawls[11].
Rawls membagi konsepsi umum kedalam tiga bagian menurut prinsip prioritas
leksikal:
Pertama, tiap-tiap orang mempunyai hak yang sama atas
keseluruhan sistem yang paling luas dari kebebasan-kebebasan dasar yang sama
sesuai dengan system kebebasan serupa bagi semua orang.
Kedua, ketimpangan
social dan ekonomi diatur sedemikianrupa sehingga keduanya:
- Memberikan keuntungan terbesar untuk yang paling tidak diuntungkan.
- Membuka posisi-posisi dan jabatan bagi semua dibawah kondisi-kondisi persamaan kesempatan yang fair.
Ketiga, Kesempatan yang
fair lebih penting dari pada perbedaan.
Rawl tidak
mendukungsebuah prinsip umum kebebasan, yaitu, bahwa segalasesuatu yang secara
masuk akal dapat dinamakan sebagai kebebesan diberikan prioritas yang paling
penting.Sebaliknya ia memberikan perlindungan khusus pada apa yang ia
naxmakan ‘kebebasan-kebasan dasar’ (basic liberties), yang diartikannya
sebagai standar hak-hak politik dan sipil yang diakui dalam demokrasi liberal,
hak untu memilih, mencalonkan diri dalam jabatan, membela diri, kebebasan
berbicara, bergerak, dan lain-lain[12]. Hak sipil ini
sangat penting untuk membedakan liberalism adil adalah bahwa lieberalisme
memberikan prioritas pada kebebasan-kebebasan dasar ini.
Terdapat dua
argument prinsip-prinsip keadilan Rawls: pertama, mengkontraskan
teorinya dengan apa yang dianggapnya sebagai ideology yang kini berlaku dalam
keadilan distributive yaitu cita-cita tentang persamaan kesempatan; kedua,prinsip-prinsip
keadillannya lebih unggul karena merupakan hasil sebuah kontrak social
hipotesis. Ia mengklaim bahwa orang dalam satu keadaan pra-sosial tertentu
dipaksa memutuskan mana prinsip-prinsip yang harus mengatur masyarakat mereka,
mereka akan memilih prinsip-prinsipnya. Rawls menyebut orang-orang berada
dalam original position memiliki kepentingan rasional untuk
mengatur kerjasama social.
Dalam halaman
10 Rule of Justice, Rawls memberi konsep yang jelas terhadap konsep
keadilannya. Pertama, adalah prinsip kebebasan yang sama
sebesar-besarnya (principle of greatest equal liberty). Prinsip ini
mencakup:[13]
- Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak bersuara, hak mencalonkan diri dalam pemilihan).
- Kebebsan berbicara (termasuk kebebasan pers).
- Kebebasan berkeyakinan (termasuk keyakinan beragama).
- Kebebasan menjadi diri sendiri (person).
- Hak untuk mempertahankan milik pribadi.
Kedua, prinsip keduanya ini terdiri dari dua bagian, yaitu prinsip perbedaan (the
difference principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the
prinsiple of fair equality of opprtunity). Inti prinsip pertama adalah
bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang
paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan
sosio-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidak samaan dalam prospek
seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan dan otoritas.
Sedang istilah yang paling kurang beruntung (paling kurang diuntungkan)
menunjuk pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai
prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas.
Prinsip Utama
Dasar Keadilan Rawls
Mengemukakan tiga macam kebenaran bagi prinsip
keadilan yang ia bangun, dua diantaranya pada daya penilaian moral yang sungguh
dipertimbangkan, dan yang ketiga berdasarkan apa yang ia sebut sebagai interpretasi
Kantian terhadap teorinya.
Dasar kebenaran pertama bersandar pada tesis:
“Jika sebuah prinsip mampu menerangkan penilaian dan keputusan moral kita yang
sungguh dipertimbangkan tentang apa itu adil dan tidak adil”.
Menurut dasar kebenaran kedua : “Jika menurut
keputusan moral kita sebuah prinsip dipilih dibawah kondisi yang cocok untuk
pemilihan”.
Dalam dasar kebenaran ketiga, mengembangkan
gagasan Kant tentang pelaku otonom.
Tujuan Keadilan Yang Dikemukakan Rawls
Setidaknya terdapat dua hal tujuan teori
keadilan yang dikemukakan oleh Rawls:[14]
Pertama, teori ini mau mengartikulasikan sederet
prinsip-prinsip umum keadilan yang mendasari dan dan menerangkan berbagai
keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam keadaan-keadaan
khusus kita. Yang dia maksudkan dengan “keputusan moral” adalah sederet
evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya menyebabkan tindakan sosial
kita. Keputusan moral yang sungguh dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral
yang kita buat secara refleksif.
Kedua, Rawls mau
mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang lebih unggul atas teori utilitarianisme.
Rawls memaksudkannya “rata-rata” (average utilitarianisme). Maksudnya
adalah bahwa institusi sosial dikatakan adil jika diabdiakan untuk
memaksimalisasi keuntungan dan kegunaan. Sedang utilitarianisme rata-rata
memuat pandangan bahwa institusi sosial dikatakan adil jika hanya diandikan
untuk memaksimilasi keuntungan rata-rata perkapita.
Prioritas Keadilan Rawl
Dari uraian
panjang di atas maka terdapat dua prioritas utama teori keadilan Rawls:[15]
- Prioritas pertama menetapkan bahwa prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya secara leksikal berlaku lebih dahulu dari pada prinsip kedua, baik prinsip perbedaan maupun prinsip persamaan atas kesempatan. Itu berarti hanya pertama-tama kita memenuhi tuntutan prinsip pertama sebelum berlanjut memenuhi prinsip kedua. Prioritas pertama dalam keadilan sosial adalah kebebasan yang sebesar-besarnya. Hanya setelah kebebasan diagungkan sepenuhnya,kita dapat bebas pula mengarahkan usaha mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip kedua.
- Prioritas kedua merupakan relasi antar dua bagian prinsip keadilan yang kedua. Menurut Rawls prinsip persamaan yang adil atas kesempatan secara leksikal berlaku lebih dahulu dari pada prinsip perbedaan.
INTI PEMIKIRAN
KEADILAN RAWLS.
Justice as
Fairness
Justice as Fairness (keadilan adalah kejujuran)
merupakan konsep keadilan John Rawls tentang keharusan mendistribusikan
nilai-nilai sosial dalam masyarakat secara fair, sehingga memberi keuntungan
bagi semua pihak yang ada dan berdasarkan kesepakatan yang dicapai dari
musyawarah dintara mereka[16]. Rawls mengakui bahwa
sulit mewujudkan keadilan dalam kondisi orang yang memiliki banyak perbedaan,
kepentingan, kekuatan atau pretensi dalam masyarakat. Apa pun perbedaan yang
ada dalam berbagai rencana - rencana hidup pada setiap individu, namun ada
suatu usaha untuk mengejar konsep tentang kehidupan yang baik bagi semua orang.
Untuk mewujudkan cita-cita kehidupan yang baik ini, maka dibutuhkan komitmen
dan prinsip-prinsip yang akan dilaksanakan dalam masyarakat. Menurut Rawls,
yang sama sama ingin dicapai oleh semua orang disebut dengan nilai-nilai
primer, bukan nilai-nilai natural primer. Nilai-nilai sosial primer yang
dimaksudkan Rawls adalah pendapatan, kekayaan, kesempatan, kekuasaan, hak dan kebebasan.
Sedangkan nilai-nilai natural primer adalah kesehatan, kecerdasan, kekuatan,
imajinasi dan bakat-bakat alamiah.[17]
Justice as Fairness Rawls adalah suatu konsep keadilan
yang diterapkan pada struktur dasar yang disusun sejalan dengan berbagai
konsepsi komprehensif individu, bukan disusun untuk seluruh kehidupan kelompok.[18]Adapun yang menjadi perhatian John Rawls adalah
nilai-nilai sosial primer, karena nilai-nilai inilah yang didistribusikan
langsung, dipengaruhi dan dikendalikan oleh struktur dasar masyarakat.
A. The Original
Position (Posisi Asali)
The original position atau posisi asali adalah suatu
kondisi hipotesis yang mirip dengan kontrak sosial yang dikemukakan oleh
hobbes, lock, dan Rousseau. Adapun ciri-ciri posisi asali ini adalah:[19]
- A veil of ignorance.
- Prinsip rasionalitas, kebebasan, dan kesederajatan.
- Straegi maximin.
Veil of
Ignorance (Selubung Ketidaktahuan) suatu konsep yang digambarkan oleh Rawls
pada masyarakat yang telah memiliki rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. Pada
kondisi ini semua orang menganggap bahwa mereka belum memiliki pengetahuan,
tidak ada interest untuk menguasai satu sama lainnya, dan tidak ada hasrat
untuk mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Setiap orang dihadapkan pada
tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya. Dalam kondisi seperti
ini mereka kemudian melakukan “kontrak sosial” yang bersifat resiprositas,
menguntungkan semua pihak yang terlibat dalam kontrak sosial tersebut.[20]
Konsep Rawls ini ada kesamaan dengan pemikiran
Rousseau tentang manusia yang teralienasi akibat dari kemajuan ilmu
pengetahuan. Agar “sembuh” dari alienasi ini, maka manusia harus kembali ke
keadaan alamiah dalam “keadaan primitif” sehingga dia merasakan sebagai manusia
yang otonom dan berbahagia.Tetapi, tidak seperti intelektual yang lain, yang
menggunakan teori “kontrak” untuk melegitimasi negara, Rawls menggunakan teori
kontraknya untuk melegitimasi prinsip-prinsip moral dalam keadilan.
Rawls
menerangkan a veil of ignorance ini sebagai suatu kondisi yang:[21]
- Setiap orang (yang berpartisipasi dalam kesepakatan) tidak memiliki pengetahuan tentang pelbagai alternatif yang akan mempengaruhi mereka di dalam proses perumusan dan pemilihan dalam rangka proses kesepakatan tersebut.
- Mereka harus mampu melakukan penilaian yang melulu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang umum sifatnya.
- Mereka hanya dituntut oleh formal constraints, lepas dari kepentingan pribadi mereka masing-masing yang bersifat khas itu
Rawls menggambarkan keadaan kondisi masyarakat yang
terisolasi ini dalam A theori of justice sebagai berikut:
B. A Veil of Ignorance
“Tak seorangpun
yang tahu tempatnya di dalam masyarakat, posisi kelas atau status sosialnya, ia
juga tidak tahu keberuntungannya dalam distribusu aset-aset serta kekacauan
alamiah, kecerdasan dan kekuatan, dan lain-lain. Juga tak ada yang tahu soal
konsepsinya tentang konsepnya sendiri mengenai yang baik, termasuk rencana
hidupnya sendiri secara terperinci atau ia bahkan juga tidak mengenal secara
pasti situasi psikologinya, seperti ketidaksukaannya mengambil resiko serta
kecenderungan bersikap optimis atau pesimis, semua pihak juga tidak mengetahui
situasi khusus yang melingkupi masyarakat mereka. Artinya mereka tidak tahu
situasi ekonomi dan politiknya, atau taraf peradaban dan kebudayaan yang telah
dapat dicapai.[22]
Konsep veil of ignorance fundamental di sini
karena menentukan apakah kontrak atau persetujuan dapat dilakukan atau tidak.
Dengan veil of ignorance, orang-orang pada original position
dalam posisi setara, moral maupun informainya, konflik kepentingan dapat di
tidurkan sehingga membuat pilihan secara aklamasi konsepsi keadilan tertantu
menjadi mungkin.
Prinsip rasionalitas, kebebasan, dan kesederajatan.
Prinsip Rasionalitas Jhon Rawls membedakan prinsip rasionalitas ke dalam dua makna dalam
mewujudkan kebijakan yang fair yaitu:[23]
- The Rational atau Rational Authonomy (otonomi rasional).
- The Reoasonable atau full authonomy (autonomi penuh).
The Rational atau otonomi rasional adalah kemampuan
individu untuk secara otonomi memiliki konsep yang baik. Hal ini merupakan
basis rasional bagi individu untuk mendapatkan apa yang dipandangnya bermanfaat
bagi dirinya. Dengan demikian tha rational itu berada dalam konteks
pertimbangan indiidual.
The Reasonable atau otonomi penuh itu berlaku terutama
dalam konteks pengambil keputusan. Ada banyak pihak dalam proses itu. Ada
banyak pertimbangan yang harus diperhatikan, dei mengamankan kepentingan
minimum setiap pihak. Dengan demikian keputusan yang hendak diambil harus
menguntungkan semua pihak.
Otonomi rasional atau prinsip rasional dalam arti teh
rational dalam posisi asali terefleksi dalam keadaan prosedural murni.
Artinya, rasionalitas atau pertangung jawaban moral dalam posisi asali tersebut
sepenuhnya tergantung pada prosedur yang oleh semua pihak telah disepakati dan
diterima sebagai prosedur yang fair.
Kebebasan
Dalam Well-ordered society prinsip kebebasan itu
dipahami sebagai kondisi yang tidak lagi membutuhkan otoritas dari luar untuk
menentukan apa yang baik dan buruk, yang adil dan yang batil, karena
prinsip-prinsip keadilan sudah menjadi bagian dari cara hidup masyarakat itu
sendiri. Rawls yakin bahwa para pihak dalam posisi asali tidak akan mengunakan
indepedensinya itu untuk memilih prinsip-prinsip keadilan yang justru mengancam
kebabasan itu sendiri ataupun yang justru akan memperkosa kebaikan dan keadilan
itu sendiri.
Prinsip Kesejahteraan
Prinsip kesejahteraan pada hakikatnya adalah prinsip
yang memperlakukan semua pihak dalam posisi asali secara sama atau setara.
Proses kesepakatan tersebut membebani tuntutan yang sama pula. Khusunya kepada
para pihak yang terlibat dalam posisi asali diakui sebagai person ang memiliki
hak dan sekaligus dibebebani kewajiban yang sama.
Masalah timbul manakala prinsip kesederajatan ini
dikaitkan dengan mereka yang memiliki talenta lebih. Tujuan pembatasan dan
perlakuan ini adalah upaya perumusan prinsip-prinsip keadilan yang berfungsi
mengatur struktur dasar masyarakat yang sedemikian rupa sehingga setiap orang
dappat memperoleh manfaat dari pengaturan sendiri. Maka satu-satunya untuk
terselenggaranya prinsip-prinsip keadilan adalah kemampuan moral manusia.[24]
C. Strategi Maximin
Maximin adalah bentuk singkatan dalam bahasa latin,
maximum minimorum.[25]. Dengan strategi ini rawls
memaksudkan bahwa keputusan untuk memilih salah satu konsep keadilan itu hanya
akan menjadi keputusan yang paling dapat dipertanggungjawabkan apabla keputusan
itu diambil dengan memperhatikan hasil paling buruk yang dapat timbul sebagai
implikasi dari konsep keadilan yang dipilih.[26]
Memaksiminkan atau maximin ruleyang dimaksud oleh
Rawls sebagai upaya dalam mengatasi ketimpanganketimpanganyang ada
dimasyarakat.Maximin rule akan membuat keuntungan yang sama dan kebebesan
kebebasan dasar yang sama pada seluruh individu dalam masyarakat, baik bagi
mereka yang telah beruntung maupun bagi mereka yang belum beruntung. Bisa
dikatakan konsep ini menyatakan perlunya “berbagi” pada sesama. Bagi yang telah
beruntung tidak merasa dirugikan, sebaliknya, bagi mereka yang belum beruntung
memperoleh keuntungan juga (kebahagiaan adalah hak semua individu).[27]
KLAIM RAWLS
ATAS TEORINYA
Diantara pertimbangan-pertimbangan moral kita yang
paling mendasar adalah keyakinan bahwa sturktur dasar masyarakat yang
mendiskriminasikan manusia dalam hal kebebasan adalah struktur masyarakat yang
tidak adil. Tetapi prinsip utilitarian pun dapat melahirkan pandangan semacam
itu. Rawls menyatakan bahwa pandangan kebebasan menurut kaum utilitarian
menyimpan asumsi yang meragukan, yaitu asumsi yang menyatakan bahwa setiap
orang punya kemampuan dan peluang yang sama untuk melaksanakan
kebebasan-kebebasan dasar. Kebebasan bukan lagi nilai yang pada dirinya sendiri
harus ada, melainkan cenderung menjadi barang mainan yang dapat
didistribusikan. Menueurt pandangan utilitarian, jika setiap orang tidak menemukan
kepuasan yang sama dalam hal kebebasan-kebebasan dasar, kepentingan dapat
dicapai melalui distribusi yang tak sama dalam hal kebebasan dasar. Dengan kata
lain, jika kemampuan menikmati kebebasan tidak sama, maka utilitarianisme
menuntut distribusi yang tidak sama. Kebebasan orang-orang yang telah
“terkutuk” yang memiliki kemampuan rendah untuk menikmati kebebasan dapat
dibatasi jika langkah itu menghasilkan manfaat yang lebih besar.
Utilitarianisme membenarkan susunan institusional yang secara sistematis kurang
memberi keuntungan pada individu-individu, asal demi maksimalisasi keuntungan
lain.[28]
Sebaliknya prinsip kebebasan yang sama
sebesar-besarnya menyediakan pendasaran untuk meniadakan kelemahan itu dengan
meniadakan diskriminasi pemenuhan kebeasan-kebebasan dasar jaminan itu tidak
akan mengorbankan mereka yang paling kurang diuntungkan demi maksimalisasi
kepentingan seperti misalnya dalam contoh penanaman modal di muka. Gambaran
yang khas dari kondisi yang benar dilukiskan Rawls dengan menggunakan gagasan
tradisional tentang kontrak sosial. Dalam gagasan tradisional tersebut
prinsip-prinsip organisasi politik dapat dipandang sebagai kondisi dimana
orang-orang membuat kontrak sosial. Dan prisip keadilan bagi struktur dasar
masyarakat adalah prinsip yang menjelaskan bahwa pribadi-pribadi yang bebas,
rasional. Dan menaruh concern pada kepentingan mereka harus menerima situasi
persamaan asli sebagaimana dirumuskan dalam istilah “kerja sana”. Prinsip itu
mengatur semua perjanjian selanjutnya, termasuk didalamnya bentuk pemerintahan
yang harus didirikan. Gagasan “kontrak sosial” punya beberapa
keuntungan.[29]
- Mengizinkan kita untuk memandang prinsip keadilan sebagai hasil pilihan bersama yang rasional.
- Gagasan kewajiban yang berdasar perjanjian menekankan pribadi-pribadi yang ambil bagian dalam pilihan bersama tersebut harus membuat komitmen dasar terhadap prinsip-prinsip tersebut harus didukung
- Gagasan “kontrak” sebagai perjanjian sukarela demi keuntungan timbal balik memuat anjuran agar prinsip-prisip keadfilan ada untuk mendukung kerjasama setiap orang dalam masyarakat, termasuk mereka yang kurang beruntung.
Ketiga faktor diatas menempatkan kontrak sosial
bersifat hipotetis, yaitu memasyarakat-kan adanya perjanjian yang pasti ke
dalam sederet prinsip-prinsip yang pasi pula. Kemudian hal ini juga meliputi
penentuan prinsip-prinsip keadilan mana yang harus dipilih oleh
individu-individu rasional. Posisi setiap individu merupakan siatuasi di mana
prisip-prisip keadilan berkembang. Sebagai hasil perjanjian untuk kerjasama,
prinsip-prinsip keadilan harus bersifat umum, universal dalam penerapan, dapat
diuniversalkan, dapat diumumkan, bersifatmemutuskan dan menentukan.
Sifat tersebut lahir dari inperatif agar struktur
dasar masyarakat mendistribusikan secara adil hak-hak, kesejahteraan,
pendapatn, otoritas dan kebutuhan dasar lain. Prinsip-prinsip keadilan bersifat
umum jika dapat mencakup semua persoalan keadilan sosial yang mungkin muncul.
Universal dalam penerapan berarti tuntutan-tuntutannya harus berlaku bagi
seluruh anggota masyarakat. Dapat diuniversalkan dalam artian harus menjadi
prinsip yang univesalitas penerimaannya dapat dikembangkan seluruh warga
masyarakat. Seandainya dapat dikembangkan dan membimbing tindakan warga
masyarakat, prinsip-prinsip tersebut harus dapat diumumkan dan dimengerti
setiap orang.
Kemudian karena masalah keadilan muncul dimana
individu-individu yang berlainan mengalami konflik atas keuntungan yang
dihasilkan oleh kerjasama sosial, prinsip-prinsip keadilan harus bersifat
memutuskan, dalam arti menyediakan cara-cara membereskan tuntutan-tuntutan yang
paling bertentangan. Yang terakhir prinsip keadilan harus menjadi prinsip yang
menyediakan penentuan hasil bagi perselisihan masalah keadilan. Rawls
mengusulkan pemilihan alternatif yang mempunyai kemungkinan paling baik dan
aman. Cara itu dia sebut Maximin Rule Dan menurut Rawls.[30]Priorotas prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya
akan menjamin hasil terbaik dari yang terburuk dalam ketidak pastian sekian
banyak prinsip yang saling bersaing. Dengan pasti Rawls menyatakan bahwa hasil
terbaik dari yang terburuk dalam utilitarianisme menuntut atau
sekurang-kurangnya membenarkan pembatasan kebebasan secara ketat jika memang
cara itu menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi keseluruhan. Karena
utilitarianisme membenarkan adanya korban demi manfaat keseluruhan yang lebih
besar di bawah prinsip-prinsip utulitarian kelas yang kurang mempunyai akses
keuntungan sungguh-sungguh berada dalam keadaan yang buruk.
Dahmunhari
Fattah. Teori Keadi Lan Menurut John Rawls. Jurnal TAPIs Vol.9 No.2
Juli- Desember 2013.
Faiz, Pan
Muhammad.Teori Keadilan John Rawls Dan Relevansi Konstitusi Indonesia.
Jurnal .2009. halaman 1.
Jhon Rawls. Basic
Liberties and their Proirity”, in Sterling M. McMurrin(ed), 1987, Lberty,
Equality. And Law,Cambridge: Cambridge University Press.
Jhon Rawls. Teori
keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial
dalam Negara.Terjemaha. Uzair Hamzah dan Heru Prasetyo. Yokyakarta: Pustaka
Pelajar. 2006.
Jhon, rawls.
A Theory of Justice.the belknap press. London. 1971.
John Rawls,
A Theory of Justice, (Cambridge: The Belknap Press, 2001), revised edition.
Kymlicka,
will. Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas teori-teori keadilan.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2004.
Rina
Rehayati: Filsafat Multikulturalisme John Rawls. Jurnal Ushuluddin Vol. Xviii
No. 2, Juli 2012.
Schaefer,
David Lewis. Justice of Tyranny? A Critique of John Rawls ‘Theory of Justce.
New York: Kenniket.1979.
soetoprawiro:keadilan
sebagai keadilan justice as fairness. Jurnal hukum projustitia. Oktober
2010. Volume 28 No.2.
[1] Faiz, Pan Muhammad. Teori Keadilan John Rawls Dan Relevansi Konstitusi
Indonesia. Jurnal .2009. halaman 1.
[2] Faiz, Pan Muhammad. Teori Keadilan John Rawls Dan Relevansi Konstitusi
Indonesia. Jurnal .2009.
[3]Soetoprawiro, Koerniatmanto. Keadilan
sebagi keadilan: justice as fairness. Jurnal Hukum Projustitia. Oktober
2010. Volume 28 No.2. hal.7.
[4]Kymlicka, Will. Filsafat Politik
Kontemporer: Kajian Khusus atas teori-teori keadilan. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 2004. Hal. 12.
[5]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the
belknap press. London. 1971.Hal: 34.
[6]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the
belknap press. London. 1971. Hal: 35.
[7]Soetoprawiro, Koerniatmanto. Keadilan
sebagi keadilan: justice as fairness. Jurnal Hukum Projustitia.
Oktober 2010. Volume 28 No.2. hal: 4.
[8]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the
belknap press. London. 1971.hal: 8
[9]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the
belknap press. London. 1971. hal: 54.
[10] Kymlicka, Will. Filsafat Politik
Kontemporer: Kajian Khusus atas teori-teori keadilan. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 2004.
[11]Kymlicka, Will. FilsafatKontemporer:
KajianKhususAtasTeori-teoriKeadilan. PustakaPelajar. Yokyakarta.2004.
[12] Rawls, Jhon. A Theory of
Justice.the belknap press. London. 1971.
[13]Damunhari Fattah. Teori keadian
menurut Jhon Rawls. Jurnal TAPIs. Vol.9. No.2. juli-Desmber. 2013.
[14] Dahmunhari Fattah. Teori Keadi Lan Menurut John Rawls. Jurnal TAPIs
Vol.9 No.2 Juli- Desember 2013. halaman 4.
[15]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the
belknap press. London. 1971. Halaman: 45
[16]Rina Rehayati: Filsafat
Multikulturalisme John Rawls. Jurnal Ushuluddin Vol. XVIII No. 2, Juli 2012
[17]John Rawls, A Theory of Justice,
(Cambridge: The Belknap Press, 2001), revised edition, hlm. 3-7. Lihat juga
Philip Pettit, an Introduction to Contemporary Political Philosophy, Routledge:
London, 1980, hlm. 222
[18]Susan Moller okin, “Book Reviews:
Political Liberalism”, American Political Review, Vol. 87, No. 4, 1993
[19] Soetoprawiro, Koerniatmanto. Keadilan
sebagai keadilan: justice as fairness. Jurnal Hukum Projustitia.
Oktober 2010. Volume 28 No.2. hal:10.
[20]Rawls, Jhon. A Theory of Justice.the
belknap press. London. 1971.. 104-105
[21] Di kutip dari soetoprawiro: keadilan
sebagai keadilan justice as fairness. Jurnal hukum projustitia. Oktober 2010.
Volume 28 No.2. hal:11.
[22]Jhon Rawls. Teori keadilan:
Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam
Negara. Terjemaha. Uzair Hamzah dan Heru Prasetyo.
Yokyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.Halaman 165.
[23]Di kutip dari soetoprawiro: keadilan
sebagai keadilan justice as fairness. Jurnal hukum projustitia.Oktober
2010. Volume 28 No.2.Halaman 12.
[24]soetoprawiro: keadilan sebagai
keadilan justice as fairness. Jurnal hukum projustitia. Oktober 2010.
Volume 28 No.2. 13.
[25]John Rawls, A Theory of Justice,
(Cambridge: The Belknap Press, 2001), revised edition. halaman. 133.
[26]John Rawls, A Theory of Justice,
(Cambridge: The Belknap Press, 2001), revised edition. halaman 13.
[27]Rina Rehayati: Filsafat
Multikulturalisme John Rawls. Jurnal Ushuluddin Vol. Xviii No. 2, Juli 2012.
Hlm. 8.
[28]Schaefer, David Lewis.Justice of
Tyranny? A Critique of John Rawls ‘Theory of Justce. New York:
Kenniket.1979. Halaman:30.
[29]Jhon Rawls. Basic Liberties and
their Proirity”, in Sterling M. McMurrin(ed), 1987, Lberty, Equality. And
Law, Cambridge: Cambridge University Press. Halaman: 67.
[30]Jhon Rawls. Basic Liberties and
their Proirity”, in Sterling M. McMurrin (ed), 1987, Lberty, Equality.
And Law,
Cambridge: Cambridge University Press. Halaman: 45.
0 komentar:
Post a Comment