Saturday 10 January 2015

Teori Pembangunan Politik


KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, dengan berkah dan izin allah lah maka dapat terselesaikan makalah yang berjudul PEMBANGUNAN POLITIK DI NEGARA BERKEMBANG ini, makalah yang sedang anda pegang saat ini merupakan kutipan dari buku Chilcot, hungtington dan beberapa ahli lainnya serta  dari beberapa wabsite sehingga kami berupaya menyajikan dengan sempurna mungkin. Namun penulis mengakui di sini sangat banyak kekurangan baik di dalam penyajian makalah maupun pengetahuan penulis sendiri, maklumlah penulis juga masih sebagai orang menuntut ilmu sehingga pengetahuan saya sungguh sangat terbatas, apalagi bebicara pembangunan politik.

Makalah yang sedang anda pegang saat ini membahas tentang teori-teori pembangunan yang tersaji dalam literatur dan pembangunan politik di negara berkembang. Mengapa kami membahas teori-teori pembangunan di dalam makalah ini, dikarenakan ketika kami membahas “Pembangunan Politik Negara Berkembang” rumit untuk di jelaskan dan sulit untuk di pahami jika kita belum mengetahui tentang dasar dari teori pembangunan itu sendiri, jika kita menyentuh pembangunan politik maka kita juga tidak bisa terlepas dari membahas: pembangunan dan nasionalisme, modernisasi, keterbelakangan, ketergantungan, imperialisme. Semua saling menyentuh satu sama lain sehingga penulis merasa perlu membahas ke lima teori pembangunan selain pembangunan politik.

Pembangunan politik merupakan kajian ilmu politik yang sangat muda diantara cabang ilmu politik lainnya. Kajian pembangunan politik baru lahir setelah Perang Dunia kedua yang tokoh-tokohnya: Samuel P hungtington, lucian Pye menekankan pembangunan sebagai penguatan nilai-nilai dan praktek demokrasikapitalis barat, Martin Lipset, lionard Binder, James Coleman, Palombara, Sidney Verba dan Myron Wiener.

Seperti telah di katakan diatas kajian pembangunan politik merupakan cabang ilmu baru dalam ilmu politik setelah: Teori-teori politik, Partai-partai politik, pemerintahan, Hubungan internasional, dan pembangunan politik. Sehingga ketika penulis untuk mencari bahan sangat kesulitan, baik di perpustaka dan wabsite sungguh sangat sedikit menyentuh teori ini, mungkin karena teori baru dan belum begitu populer di indonesia khususnya di aceh  sehingga hampir bisa dikatakan nyaris tidak ada buku yang membahas tentang teori ini.

Maka dengan sangat kekurangan tersebut, saya mohon maaf atas kekurangan penyajian makalah ini, sejujurnya saya sangat tidak menguasai ilmu ini dikarenakan sungguh sulit untuk dipahami dan di tambah dengan kekurangan sumber. Maka dengan itu saya minta maaf sekali lagi.!

Wabillahitaufik walhidayah
Wassaalamu’alaikum Wr Wb


DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………….................
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………..................
TUJUAN PENULISAN………………………………………………………………………………..............…...
BAB II: PEMBAHASAN
           A.  TEORI PEMBANGUNAN …………………………................................................................................
a.       PEMBANGUNAN POLITI…………………………………………………………...............…….
b.      PEMBANGUNAN DAN NASIONALISME………………………………………………....................................................
c.       MODERNISASI………………………………………………………………………....................….
d.      KETERBELAKANGAN…………………………………………………...………..............…….....
e.       KETERGANTUNGAN…………………………………………………………………....................
f.       IMPERIALISME……………………………………………………………………….......................

     B. PEMBANGUNAN POLITIK DI NEGARA BERKEMBANG
a.       Pembangunan politik (political development)………………………………………….........
b.      Mobilisasi dan partisipasi politik………………………………………………………................
c.       State and nasion building………………………………………………………………..................
d.      Indikator pengukur keberhasilan pembangunan……………………………………….......

BAB III: PENUTUP
        Rangkuman………………………………………………………………………………………..................
        Daftar Isi………………………………………………………………………………………..........................






TUJUAN PENULISAN
  1. Menyelesaikan tugas mata kuliah Pembangunan Politik
  2. mempelajari pembangunan secara lebih mendalam
  3. menambah ilmu khususnya buat dari sendiri.


Hasil gambar untuk teori pembangunan

BAB II
PEMBANGUNAN POLITIK 

Sejumlah literatur intelektual para teoritisi ortodoks maupun radikal hadir dengan subjek utama pembangunan (development) dan keterbelakangan (underdevelopment). Kompleksitas isu-isu mempesona mahasiswa yang baru saja membuka literatur pembangunan. Dalam upaya memperjelas isu-isu tersebut, bab ini mengajukan sebuah sintesi terhadap enam tema umum yang mengalir dalam literatur.
  1. Pembangunan politik
  2. Pembangunan dan nasionalisme
  3. Modernisasi
  4. Keterbelakangan
  5. Ketergantungan
  6. Imperialisme
      A.  PEMBANGUNAN POLITIK 
      
      Salah satu perkembangan dalam ilmu politik adalah munculnya studi pembangunan politik sebagai bidang kajian tersendiri, disamping bidang kajian lainnya seperti : 1. Teori-teori politik, 2. Lembaga-lembaga politik, 3. Partai-partai, golongan-golongan dan pendapat umum 4. Hubungan internasional. Para sarjana barat mengembangkan kajian ini dalam usaha mereka memahami perubahan sosial politik di Negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu, konteks pembangunan politik cenderung ditujukan pada Negara-negara sedang berkembang dengan asumsi bahwa dinegara-negara tersebut belum berjalan rasionalisasi, integrasi dan demokratisasi. 

      Menurut Hungtinton dan Dominguez konsep pembangunan politik dikatakan mempunyai konotasi secara geografis, deveriatif, teologis dan fungsional: 1. Pembangunan politik dalam konotasi geografis berarti terjadi proses perubahan politik pada Negara-negara sedang berkembang dengan menggunakan konsep-konsep dan metoda yang pernah digunakan oleh Negara-negara maju, seperti konsep mengenai sosialisasi politik, komunikasi politik dan sebagainya. 2. Pembangunan politik dalam arti derivative dimaksudkan bahwa pembangunan politik merupakan aspek dan konsekuensi politik dari proses perubahan yang menyeluruh, yakni modernisasi yang membawa konsekuensi pada pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, peningkatan pendidikan, media massa, perubahan status sosial dan aspek-aspek lainnya. 3. Pembangunan politik dalam arti teologis dimaksudkan sebagai proses perubahan menuju pada suatu atau beberapa tujuan dari sistem politik. Tujuan-tujuan itu misalnya mengenai stabilitas politik, integrasi politik, demokrasi, partisipasi, mobilisasi dan sebagainya. Juga termasuk didalamnya tujuan pembangunan suatu bangsa meliputi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan, demokrasi, stabilitas dan otonomi nasional. (Hungtington dan Ramlan Surbakti, 1992) 4. Pembangunan politik dalam makna fungsional diartikan sebagai suatu gerakan perubahan menuju kepada suatu sistem politik ideal yang ingin dikembangkan oleh suatu Negara misalnya Indonesia ingin mengembangkan sistem politik demokrasi konstitusional.

Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasas­mita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.

Kepustakaan atau literatur pembangunan politik menekankan percabangan politik dari pembangunan dan kecenderunagn membedakan pembangunan politik dan pembangunan ekonomi. Literatur ini di kelompokkan ke dalam tiga tipe: a. yang satu berasosiasi dengan gagasan-gagasan demokrasi, b. berpokus pada aspek-aspek pembangunan dan perubahan politik, dan c.menguji krisis konsekuens-konsekuensi pembangunan politik.

Secara tradisional para ilmuan politik telah meluncurkan pertanyaan-pertanyaan tentang demokrasi. Modern democracies karya james bryce (1921) dan contitutional government and democracy karya Carl. Perhatian kepada demokrasi menyertakan isu-isu pemilihan umum dan legetimasi konstitusional ke dalam analisis politik. Lucian pye (1965 dan 1966) menekankan pembangunan sebagai penguatan nilai-nilai dan praktek demokrasi kapitalis barat. Ia berpendapat adanya partisipasi pluralistik, sistem-sitem multi partai, dan politik persaingan maupun stabilitas politik dan penghindaran ketegangan yang berlebihan. Pembangunan demokrasi bagaimanapun juga harus di imbangi dengan pemerintahan yang kuat dan kewenangan teratur. Dalam hal ini russel fitzgibbon (1956) mengumpulkan opini-opini para spesialis Amerika selatan dengan jumlah kriteria untuk mengukur demokrasi politik. Pertanyaan-pertanyaan berkisar pada derajat kebebasan pers, sifat-sifat sistem partai, kebiasaan memberikan suara, standar hidup, dan sebagainya.

Dalil-dalil demokrasi ini terus-menerus merasuki konsepsi pembangunan politik. Upaya almond (1965) untuk mengikat sistem-sistem ortodoks dan teori budaya pada pembangunan politik merupakan contoh tidak berubahnya pandangan terhadap kenyataan tersebut. Dalam aspects of political development, pye (1966 khususnya bab 4) mengungkapkan bias-biasnya terhadap demokrasi barat sekaligus mengenali adanya keragaman defenisi, yang umunya di asosiasikan dengan perubahan. Banyak penulis menemukan bahwa upaya-upaya untuk mengidentifikasi penjelasan pembangunan yang netral adalah bersifat statis, dan ini menjadi perhatian diletakkan pada perubahan. C.S.Whitaker,Jr (1967) merujuk pada “dielektika perubahan pembangunan” dan Lewis A. Coser (1957) menekankan “konplik sosial” dalam suatu teori perubahan. Robert A. Nisbet (1969) memberikan sintesis teori-teori perubahan dan pembangunan di abad kesembilan belas dan kedua puluh. Dudley seers (1977) mendefenisikan pembangunan dalam kebutuhan dasar manusia.

Konstribusi leonard binder, james s. coleman, joseph lapalombara, lucian pye, sidney verba dan myron wiener (binder 1971). Studi-studi mereka di terbitkan dalam seri terakir dari tujuh volume pembangunan politik. Konsepsi mereka berpusat pada “sindrom pembangunan” atau tiga dimensi sistem politik-pembedaan, kesetaraan, dan kapasitas. Pembedaan merujuk pada “ proses pemisahan progresif dan spesialisasi peran-peran, cakupan institusional, dan asosiasi dalam masyarakat”. Kesetaraan berhubungan dengan “kewarganegaraan nasional, orde legal universal, dan norma kemajuan”. Kapasitas melibatkan bagaimana pemerintah mengelola ketegangan-ketegangan dan merangsang keteganagan baru. Ketika pemerintah berkembang lewat peningkatan pembedaan, krisis kesetaraan dan kapasitas dapat terjadi: krisis identitas, legitimasi, partisipasi, penetrasi, dan distribusi.

Krisis identitas berhubungan dengan budaya masa dan elit dalam pengertian perasaan nasional mengenai wilayah, pembelahan yang menggerogoti kesatuan nasional, dan koflik antar loyalitas etnik dengan komitmen nasional. Krisis legetimasi tumbuh karena pembedaan-pembedaan mengenai kewenangan. Krisis partisipasi adalah “sebuah konflik yang terjadi ketika elit yang memerintah memandang permintaan dan prilaku-prilaku individu dan kelompok yang mencoba berpartisipasi dalam sitem politik sebagai tidak berlegitimasi”(binder 1971: 187). Krisis penetrasi dicirikan oleh “tekanan kepada elit yang memerintah untuk mebuat adaptasi atau inovasi institusional dengan keragaman tertentu. Krisis distribusi dianalisis dalam pengertian masalah-masalah seperti idiologi, sumber daya fisik dan manusia, serta lingkunan intitusional.

Kesselman berpendapat bahwa meskipun Binder dan para koleganya mampu melampui asumsi-asumsi luas bahwa pluralisme, stabilitas politik, dan berakirnya idiologi tak pelak lagi mencirikan pembangunan, mereka menekankan perubahan dan krisis namun tidak memberikan penjelasan yang memuaskan menyangkut dinamika perubahan dengan ketiadaan teori perubahan struktural, perubahan tanpaknya terjadi secara acak, tak dapat di jelaskan, dan ahistoris” (kesselman 1973: 184-189).

      B.    PEMBANGUNAN DAN NASIONALISME
Pembangunan seringkali diasosiasikan dengan nasionalisme, dan akhir-akhir ini hubungan tersebut ditekankan dengan merujuk negara-negara yang sedang bangkit di afrika, asia, dan amerika latin. Kebanyakan sejarawan mencatat lahirnya nasionalisme ketika berlangsugnya Revolusi Prancis, meskipun nasionalisme diasosiasikan dengan masyarakat-masyarakat primitif atau terpendam dalam negara-kota, desa-desa lokal, atau wilayah tertentu (snyder 1964). Beberapa penulis mengakarkan nasionalisme pada inggris di pertengahan abad ketujuhbelas dimana intitudi-indtitudi baru bermunculan seperti parlemen, kepentingan sipil, dan simbol-simbol nasional baru. Nasionalisme klasik, meskipun demikian, dipacu oleh revolusi prancis maupun ekspansi eropa napoleon. Menurut Carlton J.H Hayes dan Louis L. Snyder, melalui itulah nasionalisme berkembang melaui empat priode sejarah: tahun 1815-1871, ketika kebangkitan nasionalisme dan kapitalisme mempersatukan negara-negara yang sebelumnya feodal; tahun 1871-1900 , ketika nasionalisme menempa jerman dan italy serta mendorong bangsa-bangsa lain menyerukan kemerdekaan atas dasar kesatuan geografi, bahasa, dan budaya; 1900-1918, di mana imperalisme disamarkan dengan supranasionalisme; dan 1918- sekarang ketika nasionalisme menentang imperalisme dan kolonialisme dengan formasi negara-negara baru.

Ilmuan sosial telah menyarankan sebuah klasifikasi nasionalisme, dan setidaknya teridentifikasi sembilan tipe nasionalisme dalam literatur umum. Nasionalisme pribumi diasosiasikan denga organisasi-organisasi primitif dan kedukuan, yang berukuran kecil namun homogen dan dipegang bersama-sama lewat suatu sitem keyakinan dan praktek yang membentuk loyalitas dan kepasrahan para anggota individu terhadap “negara” mereka. Nasionalisme tradisional, lebih memilih pemeliharaan aristokrasi, menjunjung tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara. Nasionalisme relegius atau simbolik, dicirikan oleh simbol-simbol bermuatan emosi, dan dalam bentuk sekulernya. Nasionalisme humaniter muncul dari pemikiran abad kesembilanbelas dan serupa dengan nasionalisme tradisional, ia mejanjikan pembebasan dari kejahatan-kejahatan masa kini hingga melenium mendatang, menggantiakan hal-hal natural denagn supranatural ilmu dengan teologi. Nasionalisme liberal juga berasal dari abad kesembilanbelas, menekankan demokrasi politik, nilai-nilai kemanusiaan, dan kebebasan individu maupun patriotisme dan kedaulatan sabagai basis-basis negara. Nasionalisme integral menolak liberalisme, menegaskan kepatuhan patriotik, memusuhi pengaruh asing, dan mengagungkan negara sebagai batu pijakan menuju sebuah tatanan baru. Nasionalisme borjuis diekpresikan dalam bentuk-bentuk lama dan baru, varian lama didukung oleh kelas-kelas menengah dan profesional yang mengakui kesatuan nasional serta liberalisme politik dan ekonomi. Nasionalisme teknology dapat disaksikan di negara-negara industri dimana kemajuan didoring melalui perencanaan terpusat dan pembangunan. Nasionalisme jakobin atau radikal diidentifikasi lewat pergerakan pembebasan kontemporer, ia mendesak setralisasi politik dan ekonomi dengan penuh disiplin, kedaulatan rakyat, kebebasan, dan kesetaraa maupun penyandaran pada kekuasaan untuk memperoleh tujuan-tujuan akhir (chilkote 1969).

Dengan demikian nasionalisme memberikan suatu implus idiologi bagi seluruh pembangunan politik, sosial, budaya, dan psikologis. Meskipun beberapa nasionalisme mungkin lebih efektip dari pada yang lain dalam merangsang pembangunan nasional, terhadap asumsi yang berlaku di seluruh literatur: semakin kuat nasionalisme, semakin besar peluang munculnya permintaan dan tindakan bagi keterlibatan dalam kehidupan nasional; permintaan dan tindakan ini mungkin membawa pada perubahan dan perkembangan. 

C.  MODERNISASI

S.N Eisentand (1964) mengidentifikasi ciri-ciri stuktural utama modernisasi mengikuti jalur yang disarankan Waber dan Persons. Ia mengsosiasikan modernisasi dengan suatu struktur politik dengan tingkat perbedaan yang tinggi serta penyebaran kekuasaan dan kewenangan politik keseluruh belahan masyarakat. Marlon J. Levy, Jr. (1966) yang dikenal dengan kerangka kerja fungsional-struktural neo-personianya dalam the structure of sociaty (1952).

Teori tahap dan modernisasi

setelah perang dunia kedua, kepentingan negara-negara kapitalis barat terhadap negara-negara baru tidak hanya berpokus pada keuntungan, ektradisi bahan mentah, dan pasar-pasar baru, namun juga pada asumsi bahwa dampingan keuangan dan teknis yang masif akan mentranformasi masyarakat pertanian subsisten menjadi masyarakat indutri modern. Pendukung paling berpengaruh dari teori ini adalah sejarawan ekonomi amerika serikat, Walt W. Rostow, dalam steges of economic growth:Anon comonitist manifesto memberikan garis besar lima tahap: (1) masyarakat tradisional, (2) prakondisi untuk tinggal landas, (3) tinggal landas, (4) bergerak menuju kematangan, (5) zaman konsumsi masal tingkat tingi.  

A.F.K.Organski menguji peran pemerintah melalui empat tahap dalam karyanya stages of political development (1965): 1.penyatuan nasional primitive, 2.industrialisasi, 3.kesejahteraan nasional 4.kelimpahan. organski mendefenisikan pembangunan politik dalam pengertian meningkatnya efesiensi pemerintah dalam memobilisasi manusia dan sumberdaya materil menuju tujuan-tujuan akhir nasional. C.E. Blank (1966) menggambarkan fase-fase modernisasi dalam upaya menghindari implikas-implikasi tak linier dan evolusi tahap yang bersipat terlalu menyederhanakan. Ia merujuk criteria yang menyediakan fasilitas yang menyediakan fase-fase seperti (1) tantangan modernisasi masyarakat tradisional, (2) konsolidasi kepemimpinan modern ketika arti penting para pemimpin tradisional menurun, (3) transformasi ekonomi dan masyarakat dari perdesaan dan agraris menjadi perkotaan dan industri, dan (4) integrasi masyarakat.

Modernisasi Dan Peluruhan Masyarakat
Samuel P. Hungtington (1965 dan 1968) meletakkan penekanan pada stabilitas dalam menghadapi pesatnya perubahan social dan ekonomi yang mengiringi modernisasi. Modernisasi mengisyarakatkan  industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, meningkatkan mobilitas social, dan partisipasi politik. Hungtington berfokus pada isu peluruhan politik (polical decay). Peluruhan politik adalah cerminan ketidakstabilan, korupsi, tindakan otoriter, dan kekerasan, serta sebagai hasil kegagalan pembangunan, yang didefenisikan sebagai peningkatan kapasitas untuk melestarikan kelangsungan transformasi yang diperlukan akibat tantangan modernisasi dan tuntutan perluasan partisipasi. Dalam political order in changing societies (1968) Hungtington mengungkapakan satu penekanan pada perubahan kandungan. Fundamental pemahaman pembangunannya secara esensial bersifat konservatif, bersandar pada nilai-nilai stabilitas, orde, keseimbangan, dan harmoni.

Dalam karya berukutnya hungtington dan nelson (1976) menguji partispasi dalam hubungannya dengan lima model pembangunan. Model liberal, yang dapat disaksikan pada masyarakat amerika serikat, berasumsi bahwa modernisasi dan pembangunan akan memajukan kondisi-kondisi material masyarakat dan mengoreksi ketidaksetaraan, kekerasan, dan kurangnya partisipasi masyarakat terbelakang. Model ini bagaimanapun juga, “telah menunjukkan bahwa secara metodologi lemah, seara impiris patut dipertanayakan, dan secara historis tidak relevan” (hungtington dan nelson 1876:20). Model pembangunan borjuis memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan politik suatu kelas menengah yang sedang tumbuh, dimana tuntutan-tuntutan berpusat pada pertumbuhan ekonomi dan perkotaan dan pengembangan intansi-intansi pemilihan umum dan legeslatif. Dalam model otokrasi, kewenangan pemerintah dapat mempergunakan kekuasaan Negara untuk menekan partisipasi kelas menengah dan mengamankan dukungan kelas-kelas yang lebih rendah. Model pembangunan tenokratis dicirikan oleh rendahnya partisipasi politik dan tingginya investasi asing, partisipasi dibatasi demi pembangunan ekonomi dan perbaikan ketidakmerataan pendapatan. Model populis menekankan tingginya partisipasi politik maupun pemerataan ekonomi seiring denagan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Hungtington dan nelson menerapkan model-model ini pada dua fase pembangunan, yang pertama dimana pembangunan ekonomi bermula serta ketidakmerataan ekonomi muncul, dan yang lain fase dimana kelas-kelas sosial mulai menuntut akses bagi partisispasi dan kekuatan politik.

Politik modernisasi

David Apter (1965) menyajikan sebuah tipologi pemerintahan dan teori perubahan. Pendekatan bergerak menuju bentuk analisis kebutuhan fungsional-struktural yang lebih berdaya terap, sesuai bagi analisis politik, mengikuti tradisi yang pertama kalinya diasosiasikan dengan Talcott Persons. After membedakan  embangunan dan modernisasi. Pembangunan, secara umum, merupakan hasil pertumbuhan dan integrasi peran-peran fungsional dalam sebuah komunitas. Modernisasi adalah satu kasus khusus dalam pembangunan. Modernisasi menyiratkan tiga kondisi-sebuah sistem sosial yang dapat secara konstan menemukan hal-hal baru tanpa tercerai-cerai, terbeda-bedakan, struktur-stuktur yang fleksibel; dan suatu kerangka kerja sosial untuk memberikan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat hidup dalam dunia dengan kemajuan teknologi. Industrialisasi, sebuah aspek khusus modernisasi, dapat dikatakan sebagia periode dalam sebuah masyarakat di mana peran-peran pungsional strategis dihubungkan dengan prosdes manufaktur.(1965: 67)
After percaya bahwa sistem rekonsiliasi akan membawa pada “nilai-nilai kesempurnaan" (consummatori) dan ada pencarian kemanusiaan dengan pengucilan individu. “setelah kehilangan basis reegiasnya, masyarakat kita terancam menjadi sebuah sistem penjarah yang terorganisasi dimana makna hanya diturunkan dari perolehan pridi, keterlibatan sekedar pemenjaraan anarki, dan dimensi konsep kemanusiaan tidak lebih dari sekedar nilai fungsional individu” after (1965: 426).
Di sisi lain, ia berasumsi bahwa sistem rekonsiliasi akan memetik keuntungan dari ilmu dan ilmu tersebutlah yang akan membangkitkan kembali demokrasi. “etika ilmiah didasarkan pada kebutuhan pertukaran bebas antara pengetahuan dan informasi. Ini diperlukan terutama dalam masyarakat yang sedang menjalankan modernisasi, dimana, meskipun jumlah kecil, para ilmuan, para ilmuan sosial, dan para teknisi merupakan pendorong modernisasi” (1965: 436). After menggambarkan etika ilmiah ini dalam pengertian rasionalitas dan riset impiris. “semangat ilmiah adalah basis sebuah idiologi yang mendorong sebentuk identitas bagi mereka yang menganutnya  dan sebentuk solidaritas bagi anggota masyarakat di tengah-tengah perubahan” (437).
      D. KETERBELAKANGAN
PEMBANGUNAN KAPITALIS DI PUSAT DAN KETERBELAKANGAN DI BATAS TEPI (MARGINAL)
Andre Gunder Frank dan beberapa ilmuan yang alin mencoba merumuskan sebuah teori keterbelakangan di dalam konteks marxis. Frank (1966) membedakan pusat dan batas luar dengan merujuk pada metropole dan satelit. Ia berpendapat bahwa teori pembangunan yang memadai tidak dapat di rumuskan tanpa mendapatkan perhatian terhadap sejarah ekonomi dan sosial mas lalu sebagaimana diderita mayoritas penduduk dunia. Frank mengajukan sejumlah dalil. Pertama, keterbelakangan bukanlah bersifat asli atau tradisional. Keterbelakangan kontmporer merupakan konsekuensi hubungan-hubungan antara negara-negara metropolitan yang sekarang ini maju dengan negara-negara satelit terbelakang, sebuah pencerminan perkembangan sistem kapitalis pada skala dunia. Kedua, pandangan dualisme masyarakat yang satu modern, kapitalis, dan maju sedangakan yang lain terisolasi, feodal atau prakapitalis, dan keterbelakangan adalah keliru karena keterbelakangan wilayah-wialayah adalah produk proses histori perkembangan kapitais yang sama, yang membentuk pembangunan wilayah-wilayah progresif. Ketiga, hubungan-hubungan metropole-satelit diketemukan pada tingkat internasional maupun dalam kehidupan-kehidupan ekonomi, politik, dan sosial di koloni-koloni dan negara-negara neo-kolonial. Serangkain metropol dan satelit menghubungkan seluruh bagian-bagian sistem dunia dari pusat metropolitan eropa atau amerika serikat ke batas luar berupa negara-negar miskin. Keempat, saat-saat perang dan depresi dan deprsesi memungkinkan terjadinya beberapa perkembangan kapitalis otonom di satelit-satelit, namun dalam sistem, kapitalis seperti sekarang, perkembangan semacam ini ditakdirkan menghasilkan keterbelakangan. Kelima, daerah-daerah paling belakang  adalah mereka di mas lalu memiliki ikatan paling erat dengan metropole.
KETIDAKMERATAAN PEMBANGUNAN
Teori ketidakmerataan pembangunan mengakui beragamnya pola-pola transisi kapitalisme luar dan kapitalisme pusat sebagai konsekuensi dari dampak mode produksi kapitalis dan mekanisme perdagangannya pada formasi-formasi prakapitalis, yang menghasilkan, misalnya, penghancuran seni kerajinan tanpa digantikan oleh produksi industri lokal. Negara-negara belakang jangan dirancukan dengan negara-negara maju pada tahap pembangunan mereka lebih awal, karena negara terbelakang dicirikan oleh ketidakseimbangan distribusi produksi yang ekstrim, yang utamanya melayani kebutuhan pusat yang domina. Di batas luar, keterbelakangan ditonjolkan dan pertumbuhan dihalangi, menjadi pembangunan otonomi tidak dimungkinkan.
Apapun perbedaan-perbedaan asal-usul mereka, formasi batas tepi kesemuanya cenderung berkonvergensi dengan satu meodel tertentu, dicirikan oleh dominasi modal pertanian dan modal komersial tambahan (comprador). Dominasi modal pusat atas sistem secara utuh, dan mekanisme-mekanisme vital akumulasi primitif demi keuntungannya sendiri yang mengekpresikan dominasi ini, mewajibkan pembangunan kapitalisme nasionalisme batas luar harus dibatasi secara ketat, yang pada akhirnya akan bergantung pada hubungan-hubungan politik. Keadaan komunitas nasional batas luar yang dibuat cacat ini membarikan beban nyata dan fungsi-fungsi khusus kepada birokrasi lokal yang tidak sama dengan yang diterima dengan yang diterima kelompok-kelompok sosial birokratis dan tenokratis di pusat. Kontradiksi-kontradiksi yang khas ditemui dalam pembangunan keterbelakangan, dan kebangkitan strata borjuis kecil yang mencerminkan kontradiksi-kontradiksi tersebut, menjelaskan kecenderungan sekarang menuju kapitalisme negara. Jalur perkembangan kapitalisme yang baru di batas luar ini bukanlah merupakan mode transisi menuju sosialisme melainkan ekpresi bentuk mas depan dimana hubungan baru akan diorganisasikan oleh pusat dan batas luar. [Amin 1976:202-203]
Terdapat dua isu yang muncul dalam pembahasan ketidakmerataan secara teoritis. Satu,pernyataan menyangkut pembangunan nasional dan internasional. Amin lebih condong kepada interpretasi yang melihat kapitalisme sebagai sebuah sistem dunia di mana intentitas nasional mungkin bergantung padanya. Kelas, praduksi, perjuangan, dan transisi kesemuanya harus dianalisis dalam konteks dunia. Dengan demikian, transisi kapitalisme ke sosialisme harus pada tatanan internasional, dan itu dimulai di batas luar. Isu yang kedua, adalah perdebatan menyangkut apakah analisis perlu memperhatikan pertukaran atau produksi. Para penulis seperti Emanuel dan Frank menekankan pertukaran dan ketidak merataan pasar, sementar Amin tapaknya menggunakan konsep-konsep seperti metode produksi untuk bergerak melampaui kategori-kategori pasar sambil berfokus pada sistem dunia, pusat, dan batas tepi. Amin mengikuti tradisi marx yang mencatat bahwa krisis dibangkitkan oleh siklus keungan dan perdagangan dalam sistem kapitalis, namun juga berfokus pada perkembangan kapasitas produksi (termasuk teknologi dan akumulasi sumberdaya), yang akan menciptakan kondisi-kondisi, mungkin terdorong oleh krisis-krisis pertukaran ini, membawa pada perubahan. Perbedaan antara produksi dan pertkaran ini telah menyulut perdebata asal-usul kapitlisme dan transisi dari feodalisme menuju kapitalisme. 
KETIDAKSEIBANGAN PEMBANGUNAN
Gagasan-gagasan ketidakseimbangan pembangunan sebagian merupakan tanggapan terhadap gagasan evolusi dan gradualisme abad kesembilanbelas, yang diasosiasikan dengan para pendukung kemajuan kapitlis, yang memegang pendapat bahwa seluruh masyarakat aktif akan bangkit dari negara prakapitalis menuju sebuah dunia kapitalis borjuis dan persaingan bebas. Peristiwa abad kesuapuluh telah menunjukkan akibat-akibat akumulatif pembangunan kapitalis dunia dan mewujudkan ketidakteraturan yang ekstrim, karena perdangan, perbankan, dan industri kapitalis terkonsentrasi di Eropa barat dan Amerika Serikat sementara mayoritas umat manusia terpaksa berada dalam kondisi-kondisi yang menyedihkan.
Sifat-sifat ketidakseimbangan dan keterpaduan dari pembangunan secara tepat digambarkan oleh George Novack. Untuk ketidakseimbangan pembangunan, Dorongan utama kemajuan manusia adalah kendali manusia atas kekuatan-kekuatan produksi. Ketika sejarah bergarak maju, terjadi pertumbuhan kekuatan-kekuatan produksi yang lebih tepat atau lebih lambat di berbagai segmen masyarakat berdasarka perbedaan produksi-produksi alami dan hubungan sejarah-sejarahnya. Perbedaan ini mencirikan perkembangannya atau menyusutkan keseluruhan zaman-zaman sejarah dan menanamkan bermacam-macam laju dan batas-batas pertumbuhan pada beragam masyarakat, beragam cabang ekonomi, beragam kelas, beragam institusi sosial dan bidang budaya. Inilah esensi ketidakmerataan pembangunan. [Novack 1966: 5]
Untuk keterpaduan pembangunan:
Variasi-variasi di tengah berbagai faktor sejarah ini menjadi basis kebangkitan fenomena luar biasa di mana sifat-sifat tahap pembangunan sosial yanng lebih rendah menjadi satu denagan yang lebih tinggi. Keterpaduan formasi-formasi ini memiliki ciri yang sangat kontradiktif dan menunjukkan keanehan-keanehan mencolok. Mereka mungkin menyimpang dari aturan dan mengakibatkan suatu gejolak yang menghasilkan lompatapn kualitatif evolusi sosial dan memungkinkan masyarakat yang sebelumnya terbelakang untuk mendahului, dan setelah waktu tertentu, menjadi lebih maju. Inilah makan inti hukum keterpaduan pembangunan. [novack 1966: 6]
Dalam sebuah analisis fase awal revolusi rusia, lenin meletakkan keberhasilan peristiwa-peristiwa revolusioner berkat “rangkain sejarah yang tidak biasa di mana mereka terpadukan, dalam bentuk yang sangat “menguntungkan”, pergerakan-pergerakan yang sama sekali tidak serupa, kepentingan kelas yang sama sekali berbeda, kecenderungan-kecenderungan sosial dan politik yang sama sekali berlawanan” (novack 1966 :7)
E.  KETERGANTUNGAN
 DEFINISI KETERGANTUNGAN
            Ferspektif-ferspektif ketergantunga kontemporer mengungkapkan bentuk-bentuk dominasi dan ketergantungan yang berlawanan di antara negar-negara dunia kapitalis. Kapitalis mungkin bersifat frogresif atau regresif. Negara-negara dependen mungkin mungkin berkembang sebagai cerminan ekspansi negara-negara dominan, atau terbelakang sebagai konsekuensi hubungan-hubungna ketergantungan mereka.
Dengan ketergantungan kita mengartikan sebuah situasi di mana ekonomi negara-negara tertentu terkondisikan oleh perkembangan dan ekspansi ekonomi lain yang menjadi tempet bergantung negara-negara tadi. Hubungan saling ketergantugan antara dua atau lebih ekonomi, dan antara ekonomi-ekonomi ini dengan perdagangan dunia, mengambil bentuk ketergantungan sementara beberapa negara (yang dominan) dapat melakukannya hanya sebagai pencerminan ekspansi, yang bisa memiliki pengaruh positif ataupun negatif bagi perkembangan langsung mereka. [Dos Santos 1970: 231]
Mereka yang menerapkan ketergantungan dalam analisis pembangunan dan keterbelakangan seringkali berfokus pada masalah penetrasi asing ke dalam ekonomi politik dunia ketiga. Pengaruh-pengaruh politik dan ekonomi luar ikut menentukan pembangunan lokal dan memperkuat kelas penguasa dengan ketergantungan kelas-kelas merjinal. Ekonom Chili,Osvaldo Sunkel, memperlas interpretasi ini.
Faktor-faktor asing tidak hanya dilihat sebagai hal-hal ekterbal melainkan intriksi pada sistem, dengan macam-macam sebab politik, keuangan, ekonomi, teknis budaya yang terkadang tersembunyi dan terselubung di dalam negara terbelakang. Dengan demikian konsep “ketergantungan” secara internasional menghubungkan evolusi kepitalisme paska perang dengan sifat-sifat diskriminatif proses pembangunan lokal, sebagaimana kita ketahui. Akses terhadap proses-proses dan keuntungan-keuntungan pembangunan bersifat selektif; bukan menyebarkannya, proses ini cenderung memastikan adanya akumulasi keistimewaan  berpenguatan diri (self reinforcing) bagi kelompok-kelompk khusus maupun kelanjutan keberadaan suatu kelas marjina.. [sunkel 1972:519]
KLASIFIKASI-KLASIFIKASI TEORI KETERGANTUNGAN
Cardoso menguji tiga kecenderungan dalam literatur ketergantungan. Pertama, pembangunan nasional otonom, yang memunculkan dirinya di Brazil dan tempat-tempat lain sebagai tanggapan terhadap luasnya keyakinan pembangunan akan terjadi melalui ekspor komoditas atau investasi asing. Tiga alternatif dihadapi oleh negara-negara terbelakang: ketergantungan, otonomi, revolusi. Dalam perjuangan untuk menghapus hambatan-hambatan pembangunan nasional, ketergantungan dapat distasi melalui otonomi dan perubahan.
Bacha mengajukan lima konsep ketergantungan. Yang pertama, berasal dari upaya Thomas Vasconi (1969) untuk membedakan pembangunan dari keterbelakangan lewat analisis pusat dan batas luar sebagai baigian-bagian yang saling bergantpung dari sistem kapitalis mendunia. Konsep kedua, barasal dari kaya imprerialisme Lenin. Dalam konsepsi inilah dependenistas memukan pijakan teorinya, karena menurun Bacha, Lenin mampu memadukan kekuatan-kekuatan internal dan eksternal dalam suatu interprestasi pengalaman sebuah negara dependen. Pandangan ketiga, tumbuh dari karya Andre Gunder Frank (1967) yang menganalisis struktur metropolis-satelit dan kotradiksi-kontradoksi internal sistem kapitalis. Perspektif keempat, hubungan dengan Dos Santos (1968) dan “ketergantungan baru” juga dekenal sebagai ketergantungan industry teknologi. Berkebalikan dengan ketergantungan colonial, yang didasarkan ekspor perdagangan, dan ketergantungan industry keuangan, yang dicirikan leh modal besar dalam pusat-pusat hegemoni di penghujung abad kesembilanbelas, ketergantungan baru merupakan fenomena terakhir, didasarkan pada perusahaan multi nasional, yang setelah perang dunia kedua perinvestasi dalam industry-indutri yang digerakkan oleh pasar internal Negara-negara terbelakang.
Philip O’Brien menunjukkan tiga tradisi berbeda dalam teori ketergantungan. Yang pertama, berkembang dari perspktif strukturalis Economic Comission For Latin America (ECLA), di bawah ekonom Argentina Raul Prebisch, yang berpendapat bahwa Amerika latin harus memasang hambatan tariff yang tinggi dan membangun industry-industri nasional untuk menggantikan meningkatnya permintaan atas produksi-produksi luar negeri. Dipercayai bahwa kebijakan subsitusi impor akan mendatangkan ekonomi yang dapat di control secara local, menggerogoti kelas-kelas penguasa tradisional, dan merangsang pembangunan nasional serta kebangkitan  sebuah Negara modern. Kedua, tradisi ketergantungan melekat kerangka kerja marxis. Ketiga,  sintesis strukturalis-marx.
Sintesis teori ketergantungan dari Chilcote membedakan model ketergantungan dari model penyebaran. Berikut model ketergantungan dari chilcote, chilcote memberikan empat perumusan: pertama, pembangunan keterbelakangan, mengikuti pemikiran Frank. Kedua, ketergantungan baru, dalam naungan argument Dos Santos. Ketiga, ketergantungan dan pembangunan, ditarik dari pemikiran Corsodo bahwa pembangunan kapitalis dependen telah menjadi bentuk baru ekspensi monopolistic di dunia ketiga.
PENDEKATAN-PENDEKATAN TERHADAP TEORI KETERGANTUNGAN
Desarrollista, Strukturalis, Otonomi Pembangunan Nasional
Sejak masa kolonial, Amerika Laitin bergantung pada ekspor bahan-bahan mentah dan komoditas-komoditas pertanian dalam mengejar pembangunan, namun strategi dessarollo atau pembangunan kea rah luar ini digerogoti oleh menurutnya pendapat ekspor selama depresi tahun 1930-an. Di bawah ECLA, strategi berubah menjadi dessarollo kea rah dalam. Strategi baru ini didalilkan pada pencapain otonomi nasional melaui control Negara dan perencanaan ekonomi politik di bawah kaum terpelajar borjuis kecil dan borjuis industri. Pendekatan ECLA didasarkan pada pernyataan esensial. Yang pertama adalah bahwa Negara-negara berkembang terstruktur menjadi masyarakat ganda (dual society), yang satu maju dan modern  dan yang lain terbelakang dan feudal. Di bawah Negara kapitalis dan tumbuhnya otonomi kepentingan-kepentingan nasional, insrpastuktur jalan, pembangkit tenaga, dan hal-hal esensial lainnya dapat dibangun untuk memastikan jalur menuju industrialisasi
Sunkel sepakat bahwa pembangunan keterbelakangan adalah dua muka dari proses universal yang sama dan bahwa ekspresi geografisnya ditranslasikan ke dalam dua popularitas besar: di satu sisi poplaritas dunia antara Negara-negara industry metropolitan yang maju dan Negara-negara dependen batas luar  yang terbelakang; dan di sisi lain, popularitas Negara-negara dalam pengartian kelompok-kelompok dan kegiatan-kegiatan terbelakang, primitive, marjinal, dan dependen. [sunkel, dikutip dalam P.O’Brien]
Sunkel tampaknya berasumsi bahwa keterbelakangan adalah bagian dari proses pembangunan kapitalis dunia, bahwa perwujudan perwujudan keterbelakangan adalah wajar. Ia melihat sebuah kompleks struktu-struktur, yang di ikat oleh hukum-hukum dan membentuk suatu system yang dipengaruhi perubahan. Perubahan di dalam sebuah struktur dapat diidentifikasi ketika seorang berhubungan bagian-bagiannya dengan system secara utuh.
Kolonialisme internal
Kondisi-kondisi konlononiallisme tradional yang sama, menurut sunkel, diketemukan secara internal dalam Negara-negara sekarang ini. Kondisi-kondisi ini termasuk monopli dan ketergantungan (metropolis mendominiasi komoditas-komoditas terisolasi, menciptakan deformasi ekonomi local dan kapitalisasi); hubungan-hubungan produksi dan control social (eksploitasi menjarah tanah dan melakukan diskriminasi di man-mana); serta standar hidup dan budaya (ekonomi subsisten menekankan adanya kemiskinan, teknik-teknik terbelakang, produktivitas yang rendah, kurangnya pelayanan). Inilah kondisi kaum marjinal yang menderita karena rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran dan pengangguran semu, serta kurangnya makanan. Orang-orang macam ini merasa perasaan kalah dan fatalisme yang serupa dengan yang di alami orang-orang daerah koloni. Gonzales Cassanova percaya bahwa kondisi-kondisi eksternal tidak lagi memiliki dampak besar terhadap meksiko, sehingga memungkinkan terdapatnya solusi nasional. Ini terjadi ketika kaum marjinal di asimilasikan kedalam masyarakat kolektif melalui kaum borjuis nasional. Akibatnya, perlawanan dapat dipusatkan terhadap kapitalisme monopoli dan eksploitasi kapitalis.
Kutub-kutub pembangunan
Sebuah turunan dari kolonialisme internal adalah teori kutub-kutub pembangunan, yang pertama kalinya diajukan oleh ekonom prancis Francois Perroux (1968) dan diperluas oleh ahli geogrfi Brazil Manuel Correia de Andrade (1967). Andrade secara khusus terlibat dengan ketidakmerataan pembangunan, yang dipercayainya dapat disaksikan di antara negara-negara maupun di antar wilayah-wilayah dalam sebuah negara.
Teori ini berasusmsi bahwa ekonomi-ekonomi terbelakang dicirakan oleh kurangnya infrastruktur transportasi dan komunikasi; oleh ekonomi ganda, dengan wilayah-wilayah maju hadir di antara wilayah-wilayah subsisten dan oleh ketergantungan terhadap keputusan-keputusan eksternal yang berhubungan dengan produksi barang-barang primer. Kondisi-kondisi ini mungkin dapat diatasi lewat penyebaran modal dan teknologi ke pusat-pusat wilayah terbelakang yang menjanjikan potensi industrialisasi. Dengan perencanaan yang cermat, keseimbangan ekonomi dapat tercapai, menghasilkan pembangunan otonom.
Pembanguanan Kapitalis Dependen
 Fernando Henrique Carsodo menyatakan gagasan bahwa kapitalisme mendorong keterbekangan. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa pembangunan kapitalis dapat terjadi dalam situasi-situasi dependen. Carsodo percaya bahwa pembangunan kapiatalis dependen telah menjadi bentuk baru dari ekpansi monopolistik di dunia ketiga. Oleh sebab itu pembangunan berlangsung dalam ketergantungan baru. Pembangunan ini menguntungkan kelas yang berasosiasi dengan modal internasional, termasuk petani lokal, kaum borjuis komersial, keuangan, dan industri bahkan kelas pekerja yang bergerak dalam sektor internasional, seperti para wiraswasta lokal. Konsekuensinya adalah perpecahan kepentingan ke dalam dualisme struktural di antara mereka yang termarjinalisasi olehnya.
Carsodo mempertahanka pendekatannya dengan menunjukkan bahwa kapitalisme dan imperalisme modern berbeda dengan konsepsi-konsepsi lenin sebelumnya. Akumulasi modal sebagian besar merupakan konsekuensi perusahaan-perusahaan multinasional ketimbang kontrol keuangan, dan intervensi telah berpindah dari bahan-bahan mentah dan pertanian industri. Terlebih lagi, trend-trend baru kapitalisme internasional mnghasilkan suatu peningkatan saling ketergantungan dalam kegiatan-kegiatan produksi di tingkat internasional dan modifikasi pola-pola ketergantungan membatasi kebijakan pembangunan di negara-negara batas luar dalam kapitalis internasional. Carsodo setuju bahwa kapitalisme internasional telah mempengaruhi industri kawasan-kawasan pinggiran secara tidak porposional, namun ia menemukan bahwa  asumsi kurangnya petumbuhan ekonomi-ekonomi dependen diakibatkan oleh imperalisme adalah menyesatkan (Carsodo 1972: 94).
Kapitalisme monopoli
Barab dan Sweezy menyegarkan kembali apa yang mereka sebut sebagai stagnasi ilmu sosial marxian. Mereka memuji lenin karena memajuka teori Marxis dari suatu analisis kapitalisme berdasarkan asumsi penuh persaingan, umumnya perusahaan-perusahaan kecil, menjadi pernyataan bahwa imperalisme tahap monopoli dari kapitalisme yang terdiri dari perusahaan-perusahaan besar. Baran dan Sweesy beralih pada pembangkitan dan penyerapan surplus di bawah kapitalisme monopoli. Surplus adalah “perbedaan apa yang dihasilkan suatu masyarakat dengan biaya untuk memproduksinya” (1966:9). Perhatian terhadap surplus, mereka percayai, memungkan sebuah analisa yang menghubungkan basis ekonomi masyarakat dengan suprastruktur idiologi.
Baran dan Sweezy menguji Amerika Serikat berdasarkan pendekatan tersebut, namun karya mereka juga berlaku sebagai landasn pemahaman dampak eksternal kapitalisme monopoli negara-negara pusat yang ditimpakan kepada negara-negara bats luar di dunia. Herry Magdoff (1969) menelusuri kapitalisme dari permulaan zaman modern dan mencaba menghubungkan perilaku perusahaan swata dengan kebijakan Amerika Serikat. Setiap jalur pemikiran tumbuh dari kepedulian yang terpisah, namun semuanya berkonvergensi  dalam analisa mereka tentang perusahaan-perusahaan multi nasional raksasa kapitalisme modern dan pemerintah domesti mereka. Carsodo menghubungkan kepedulian terhadap perusahaan-perusahaan multi nasional ini dengan teori ketergantungan dan juga berupaya mempengaruhi Lenin. Samir Amin (1974) bahkan memberikan analisis yang lebih dalam mengenai monopoli-monopoli dan ketergantungan dalam sebuah dunia kapitalis mengakumulasi yang terdiri dari pusat dan batas luar. 
Subimperalisme
Ruy Mauro Marini yang mempengaruhi pembangunan kapitalis Brazil. Ia mencirikan kapitalisme Brazil sebagai supereksploitatif, dengan pesatnya akumulasi modal yang menguntungkan para pemilik proses-proses produksi dan bertambahnya masa berkemiskonan absolut. Dengan mengecilnya pasar konsume internal dan penurunan surplus, ekonomi Brazil mencapai kebuntuan di tahun 1964. Pada saat itu rezim militer mengawali skema subimperalismenya pada dua front: pertama, untuk melanjutkan ekploitasi konsumsi masa, dan kedua, untuk menembus pasar asing. Berkompromi dengan kepentingan-kepentingan perusahaan multi nasional dan eksploitasi kaum proletar, ekspansi Brazil bergantung pada keampuan kaum berjuis untuk bersaing di pasar luar negeri (Marini 1969:122-129)
Apapun keberhasilan dan kegagalan model ini, subimperalisme menyisaratkan adanya adanya cara-cara penguasa militer dan kaum borjuis untuk mendorong pebangunan nasional semiotonom. Marini menganalisis kesulitan-kesulitan untuk terlepas dari ketergantungan dan keterbelakangan dalam menghadapi ikatan-ikatan kapitalisme dan imperalisme internasional.
 Pembangunan Keterbelakangan Kapitalis
Tulisan awal Andre Gunde Frank (1966) memberikan suatu landasan lain bagi teori ketergantungan. Frank menekankan monopoli komersial ketimbang feodalisme dan bentuk-bentuk prakapitalis sebagai cara-cara ekonomi metropolis-metropolis nesional dan regional mengeksploitasi da menerik surplus dari satelit-satelit ekonominya. Dengan demikian kapiltalisme pada skala dunia mendorong pembangunan metropole dengan tanggungan satelit-satelit terbelakang dan dependen.
Frank (1975) tentu saja dipengaruhi oleh pendekatan strukturalis ECLA dan reaksi terhadap perspektif-perspektif pembangunan ortodoks, sebagaimana ditunjukkan David Booth (1975). Dikotomi metropolis dan satelit Frank pararel dengan ru,usan pusat dan batas luar  ECLA. Frank meski demikian, adalah seorang pengkritik ECLA, yang membawanya pada satu posisi antikapitalis dan Marxis. Ia meenolak teori tahap Rostow dan lain-lain serta menuduh teori Marxis ortodoks menempatkan sejarah kapitalisme ke dalam rumus-rumus deterministik. Ia juga memberika garis besar kontradiksi=kontradiksi utama kapitalisme yang membawa pada keterbelakangan.
 Ketergantungan baru
 Ketergantungan baru, yang muncul setelah perang Dunia Kedua, didasarkan pada investasi-investasi perusahaan multinasional. Teori ketergantungan baru diperluas dalam tulisan-tulisan Dos Santos. Teori ini memahami pembangunan  industri bergantung pada ekspor, yang mendatangkan mata uang asing untuk membeli barang-barang modal impor.
Ekspor biasanya terikat dengan sektor-sektor ekonomi tradisional, yang dikontrol kaum borjuis pemilik tanah, dan pada gilirannya, terikat dengan modal asing. Karena borjuis tadi mengirimkan pembayaran modalnya ke luar negeri, tidaklah mengejutkan bahwa modal asing mengontrol pemasaran produk-produk ekspor, meskipun negara-negara dependen mencoba menerapkan kebijakan-kebijakan pembatasan pertukaran dan pajak-pajak ekspor asing serta condong kepada nasionalis produksi.
Pembangunan industri terkondisikan oleh fluktuasi keseimbangan pembayaran, di mana di negara-negara dependen seringkali mengalami defisit ysng disebabkan perdagangan dalam suatu pasar internasional yang sangat termonopoli, pemulangan modal asing, dan kebutuhan untuk bersandar pada bantuan modal asing. Pembangunan industri juga terkondisikan oleh monopoli teknologi dari pusat-pusat imperalis.
Teori ketergantungan baru mencoba menunjkkan negara-negara dependen dengan negara-negara dominan tidak dapat di ubah tanpa adanya perubahan dalam struktur internal dan hubungan-hubungan eksternalnya. Selanjutkan, struktur ketergantungan bertambah dalam, membawa negara-negara dependen pada keterbelakangan, dan memperburuk permasalahan masyarakat ketika negara-negara tersebut mengikuti suatu struktur internal dan internasional yang dipengaruhi secara kuat oleh peran perusahaan-perusahaan multinasional maupun pasar-pasar komoditas dan modal internasional. Dos Santos, secara khusus struktur dependen mempengaruhi produktivitas.
Pertama-tama, kebutuhan untuk memelihara struktur ekspor pertanian atau pertambangan membangkitkan kombinasi antara pusat-pusat yang lebih maju yang menegektraksi nilai surplus dari sektor-sektor yang lebih terbelakang, dan antara pusat-pusat “metropolita” internal dan pusat-pusat “kolonial” dependen. Ciri pembangunan kapitalis yang tidak merata dan terpadu di tingkat internasional direproduksi secara internal dalam bentuk  yang halus. Kedua, struktur industri dan teknologi merespon kepentingan-kepentingan perusahaan multi nasional dari pada kebutuhan-kebutuhan pembangunan internal. Ketiga, konsentrasi keuangan-ekonomi dan teknologi yang sama  dari ekonomi-ekonomi yang memegang hegemoni ditransfer tanpa penyesuain subtansial kepada ekonomi-ekonomi dan masyarakat-masyarakat yang demikian berbeda, meningkatnya ketidakmerataan struktur produksi, tingginya konsentrasi pendapatan, rendahnya pemanfaatan kapasitas terpasang, ekploitasi intensif terhadap pasar-pasar yang terkonsentasi pada kota-kota besar, dan sebagainya. [Dos Santos 1970:234-235]. 
F.  IMPERALISME
Beragam interpretasi membayangi teori imperalisme yang definitif. Jonah Raskin (1971) memperbandingkan inti perspektif-perspektif imperalisme liberal dan radikal sebagaimana tercermin dalam tulisan-tulisan kontemporer: Dunia imperalisme “hadir dengan mendobrak dinding-dinding tulisan abad kesembilanbelas”. Sebagai contoh, meskipun kipling “menyembunyikan kebenaran imperalisme”, Joseph Conrad menguji ekspansi kapitalisme internasional, ekstraksi dan pengambilalihan kesejahteraan oleh pihak-pihak asing, dan konflik antara wilayah-wilayah imperial dan kolnial.
Teori-teori imperalisme umumnya berhubungan dengan kegiatan-kegiatan beberapa negara dominan di dunia. Dalam jalur ini imperalisme mungkin dapat didefenisikan sebagai suatu “hubungan dominasi atau kontrol yang efektif, politik atau ekonomi, langsung atau tak langsung, atas suatu negara atas negara” (Cohen 1973: 15). Hubungannya dapat berupa dominasi dan ketergantungan, besar dan kecil, industri dan pertanian, atau kaya dan miskin.
George Linhtheam menggambarkan kekaisaran atau imperalisme sebagai “hubungan suatu kekuatan penguasa atau  pengontrol dengan mereka yang di bawa dominasinya” (1970:  I: 42). Ia  menelusuri imperalisme dari akar-akar klasiknya di kekaisaran romawi dan yunani. Ia percaya bahwa dominasi dan penaklukan merupakan elemen-elemen imperalisme. Hilangnya kedaulatan atau otonomi menyiratkan bahwa sebuah negara berada di bawah dominasi imperial, yang dapat terjadi melalui intervensi langsung dan terbuka dari satu negara ke dalam urusan-urusan negara lain, melalui keuntungan diplomatik atau perjanjian, atau melalui cara-cara ekonomi. Lichteim menegaskan bahwa kebanyakan teori imperalisme adalah rapuh.
Konsepsi imperalisme tersebut, sebagai hubungan donominan dan penaklukan, tidak hanya diturunkan dari pemahaman-pemahaman tradisional mengenai imperalisme yang terjadi pada zaman kekaisaran Romawi dan Yunani saja, namun juga diasosiasikan dengan pengaruh kepentingan-kepentingan zaman persaudagaran (mercentile), seiring dengan bangkitnya negara-bangsa dan  tersebarnya kekuasaan Eropa ke Asia, Africa, dan amerika latin. Memang pengetian kekaisaran dan imperalisme tidak dapat dibatasi “pada satu bentuk dominasi tertentu atas orang-orang yang ditaktukkan, hanya berupa kolonisasi seberang lautan yang didorong oleh kepentingan-kepentingan persaudagaraan” (Lichtham 1970: I: 55). Segera setelah merkantilisme pudar, orang mungkin bertanya mengapa imperialisme dapat bertahan di abad sembilanbelas dan duapuluh. Jawabanya bersandar pada bentuk dan perwujudan pengakaran kapitalisme.
Teori-teori imperialisme liberal dan marxis tumbuh dari tulisan sejumlah pemikir penting. Teori liberal diketemukan dalam karya J.A Hobson di pergantian abad sembilanbelas. Karl Kautsky menarik gagasan-gagasannya dari marx dan pihak-pihak lain yang mengikuti tradisi Marxis, namun keyakinannya atas rekonsiliasi damai kepentingan-kepentingan global internasional cenderung mempengaruhi konsepsi imperialisme liberal. Joseph schumpeter menggunakan terminologi marxis namun mengasumsi satu posisi anti-marxis dalam polemiknya melawan Otto Bauer dan Radolf Hilferding dari aliran kiri dan Hobson dan lain-lain dari aliran kanan. Johan Galtung mengembangkan teori ini dengan menguji secara impiris hubungan-hubungan imperialisme antara pusat dan batas luar. 


HOBSON: KONSUMSI DOMESTIK YANG RENDAH SEBAGAI PENYEBAB IMPERIALISME
 Hobson memberikan satu interpretasi imperalisme yang membentuk konsepsi-konsepsi non-marxis ikutan sekaligus mempengaruhi konsepsi marxis. Hobson menekankan bahwa dorongan untuk menginvestasikan modal ke luar negeri bergantung pada konsumsi yang rendah di dalam negeri
Ketika negara demi negara memasuki mesik ekonomi dan mengadopsi metode-metode industri maju,
Semaki sulit bagi para pelaku manufaktur, pedagang, dan pelaku keuangan untuk menyalurkan sumber daya ekonomi mereka dengan cara menguntungkan, dan mereka semakin semakin tergoda untuk memanfaatkan pemerintahannya dami mengamankan pemanfaatan tertentu sejumlah negara terpencil tak berkembang lewat aneksasi dan proteksi [hobson 1965:80].
Hobson pecaya bahwa seandainya terjadi peningkatan konsumsi domestik, maka tidak akan terdapat akses menyangkut barang-barang ataupun modal. Tidak perlu ada ekspansi ke pasar-pasar luar negeri, tabungan akan dipergunakan di dalam negeri untuk memastikan kesempatan kerja penuh nagi kelas pekerja, dan imperialisme akan sirna. Dengan demikian, pemahaman Hobson atas rendahnya konsumsi menjadi satu alternatif konsep nilai surplus Marxis.                                                                                                                                               
KAUTSKY: RESOLUSI IMPERIALISME SECARA DAMAI

Kautsky mengasumsi satu posisi marxis ortodoks, ia berpendapat bahwa sebuah revolusi demokratik tidak dapat terjadi kecuali terdapat kondisi-kondisi tertentu dalam kapitalisme tahap lanjut, yaitu industri sekala besar dan mayoritas kaum proletar tertarik dengan sosialisme. Kautsky percaya bahwa kelas akan berkonplik dengan kapitalisme dan kepitalisme sendiri akan sirns lewat proses-proses damai.

Apa yang disebut metode perjuangan kelas secara damai ini, yang dibatasi pada metode-metode non-militan, parlementerisme, pemogokan, demonstrasi, tekanan pers dan cara-cara serupa, akan mendapatkan arti pentingnya di setiap negara berdasarkan efektifitas intitusi-institusi demokrasi yang menonjol disana, derajat pencerahan politik dan ekonomi serta percakapan diri masyarakat. Dengan ijakan ini, saya mengantisipasi bahwa revolusi sosial proleteriat akan mengambil bentuk-bentuk yang sangat berbeda dari pada yang dimiliki kelas menengah, dan memungkinkan untuk dilaksanakan lewat car-cara ekonomi, hukum, dan moral damai, bukannya lewat kekuatan fisik, di seluruh tempat di mana demokrasi telah terbentuk (kautsky 1964:37-38).

Pasisme kautsky tampak jelas dalam padangan imperialismenya. Penjelasan tentang imperialisme di tahun 1915-1915 lebih lengkap dan lebih dibandingkan Hobson karena dirumuskan dalam terminologi Marxis, bukanya liberal. Meski demikian, kautsky memanfaatkan beberapa jalur pemikiran Hobson, khususnya penekanan imperialisme. Kautsky membayangkan imperialisme di mana mungkin terdapat eksploitasi kolektif dunia oleh keuangan internasional. Kepentinagan-kepentingan kelas ka0italis secara utuh berkonplik dengan kepentingan-kepentingan modal, suatu minortas dalam kapitalisme yang mengandalkan cara-cara militer untuk mendukung upaya-upaya ekspansionis mereka. Dengan demikian modal keuangan yang bersatu seacara internasional dapat membawa pada suatu resolusi damai atas konflik nyata dan potesial yang ditimbulkan oleh persaingan modal-modal keuangan internasional.

SCHUMPETER: PENCAMPAKAN KAPITALISME
Joseph schumpeter mengakui arti penting teori marxis, yang “memandang imperialisme sekedar refleksi kepentingan-kepentingan struktur kapitalis atas, pada tahap pembangunan kapitalis tertantu”. Imperialis tumbuh dari kondisi-kondisi masa lalu, bukan masa sekarang. Ia berasal dari zaman prakapitalis sehingga akan menghilan dalam era kapitalisme rasional dan progresif.

Karena kebutuhan-kebutuhan vital yang menciptakannya telah berlalu untuk selamanya, ia juga harus menghilang secara bertahap, sekalipun setiap keterlibatan keadaan seperti perang, betapapun non-imperialisme crinya,cenderung menyegarkannya. Sebagai elemen struktural ia cenderung menghilang karena struktur yang membawanya maju mengalami penurunan, membarikan jalan ke arah pembangunan sosial, bagi struktur-struktur lain yang tidak memberikan ruang kepadanya dan menghapuskan faktor-faktor kekuatan yang mendukung.. seandainya teori kami benar, intensitas kasus-kasus imperialisme akan menurun saat mereka terjadi lagi dalam sejarah masyarakat atau budaya nantinya (schumpeter 1955: 65).

Schumpeter mengembangkan argumennya dengan membandingkan era-era otokrasi absolut dan revolusi industri. Dengan kapitalisme dan revolusi industri, masa pekerja bangkit untuk mentransformasi zaman aristokrasi dan pertkaran (guild). Produksi komoditas atas pasar konsumen yang berkembang di paruh abad kesembilanbelas menghadirkan sebuah dunia termekanisasi dengan spesialisasi. Masyarakat dalam dunia tersebut terdemokratisasi, terinduvidualisasi dan terrasionalisasi.

Mereka terdemokratisai karena gambaran kekuasaan dan keistimewaan yang dihormati memberi jalan bagi  bagi satu perubahan berkelanjutan, digerakkan oleh kehidupan industri. Mereka terindividualisasi karena peluang-peluang subyektif untuk membentuk kehidupan mereka mengambil alih faktor-faktor objektif yang abadi. Mereka terasionalisasi, karena ketidak stabilan posisi ekonomi membuat kemampuan bertahan mereka bergantung pada keputusan-keputusan rasionalis terencana dan berkelanjutan (1955: 68).

Dengan demikian dunia kapitalisme menekan implus-implus imperialis, meskipun mungkin terdapat kepentingan-kepentingan yang mendukung ekspansi imperialis. Schumpeter mengutipbukti-bukti asumsinya. Penentangan perang, ekspansi, persenjataan, dan tentara yang profesional tumbuh dalam kapitalisme modern. Partai-partai kuat mendukung perdamain dan para pekerja anti-imperialis yang gigih mencirikan politik zaman modern. Tiada kelas yang berhasrat dengan ekspansi seandainya perdagangan bebas diterima luas. Bahkan persekutuan “para penguasa kartel dan keuangan tingkat tinggi” tak dapat dipertahankan dan akan sirna lewat jalan damai ataupun revolusi. Monopol, perang, dan imperialisme pada akhirnya akan “dicampakkan dan akan mati”. Dunia kapitalis modern akan menghancurkan “elemen-elemen prakapitalis” yang irasional ini dan meneruskan perjalanannya.

Henry Pachter berpendapat bahwa keterbelakangan negara-negara bukanlah konsekuensi imperialisme, namun akibat ledakan penduduk. Negara-negara yang kurang berkembang, maka dari itu, “harus meneropong tiga revolusi industi yang telah dilewati barat selama kehidupan satu generasi” (1970: 485). Diantara reformasi yang mungkin memajukan proses ini adalah kesempatan pasar bersama yang memungkinkan negara-negara yang kurang berkembang memproteksi pasar mereka. Perjanjian-perjanjian untuk menstabilkan harga-harga dan mengalokasikan produksi bahan mentah dan bahan makanan, transfer anggaran militer bagi proyek-proyek pembangunan, pembentukan kontrol masing-masing negara atas sumberdaya nasionalnya sendiri, dan pergeseran dari kepemilikan asing menuju kepemilikan negara di negara-negara tersebut. Reformasi ini tidak perlu menghapuskan persaingan di antara negara-negara maju, juga tidak langsung menutup kesenjangan ekonomi antar negara. Impeialisme dengan demikian tidak perlu merupakan satu konsekuensi kegiatan ekonomi, namun mencerminkan polemik yang “tidak lain adalah kepentingan keamanan terlegitimasi yang lepas kendali, menyeleweng, dan dilebih-lebihkan dari negara-negara nasional” (487).

GALTUNG: TEORI IMPERIALISME STRUKTURAL
      
Johan Galtung (1971) memberikan suatu teori imperialisme struktural yang menerima sambutan luas dikalangan non-marxis. Pendapatnya menentang dorongan “reduksionis” pandangan Lenin bahwa imperialisme merupakan akibat meluasnya kekuatan ekonomi di bawah kapitalisme, sebaliknya, ia memahami imperialisme sebagai suatu hubungan struktural antar berbagai kolektivitas. “imperialisme adalah sebuah sistem yang memisahkan kolektivitas-kolektivitas dan menghubungkan beberapa bagian satu sama lain dengan hubungan harmoni kepentingan, danbagian-bagian lain dengan hubungan disharmoni kepentingan, atay konflik kepentingan” (galtung 1971: 81). Kolektifitas-kolektifitas dapat berupa negara-negara pusat dan batas luar, dan setiap negara pada gilirannya dapat memiliki pusat dan batas luarnya sendri. Imperialisme didefenisikan dalam pengertian sejumlah hubungan antara pusat dan batas luar. Disharmoni hadir pada wilayah-wilayah batas luar negara pusat ataupun negara batas luar (1971: 83). Hubungan satu negara batas luar dengan negara pusat dicirikan oleh ketergantungan.

Galtung memberikan garis beberapa demensi dan pengaruh hubungan tersebut dan mengaitkannya denganlima tipe imperialisme; (1) ekonomi, di mana cara-cara produsi baru berkembang di usat dan tidak ada yang berkembang di batas luar; (2)politik, di mana terdapat penguatan posisi, berturut-turut, di pusat dan batas luar; (3) militer, ditandai oleh produksi cara-cara penghancuran di pusat, dan tidak langsung di batas luar; (4) komunikasi, dengan mudah terbangun di pusat dan tidak terbangun di bats luar; dan (5) budaya, tercermin dalam pendidikan dan pelatihan sehingga suatu perasaan awadaya dan otonomi merasuk di pusat sementara perasaan ketergantungan melanda batas luar. Galtung selanjutnya mengidentifikasi fase-fase imperialisme. Konsep-konsepnya di terapkan pada dua negara, kemudian tiga negara dan tiga kelas (termasuk kelas menengah). Variabel-veriabel diuji secara kualitatif dan kuantitatif, serta sejumlah strategi perubahan dan pembangunan di tawarkan.

Pendekatan Galtung mendefenisikan pengertian-pengertian, mengidentifikasi hubungan-hubungan antara pusat dan batas luar. Kemudian menguji data untuk tes generalisasi dan hipotesis. Pendekatan semacam ini bersifat statis dalam penyandarannya pada kategori-kategori deskriptif. Perpecahan satu gagasan imperialisme tunggal menjadi beragam tipe cenderung menetralkan pengertian, merampas arti penting teoritisnya, dan mengenyampingkan penekanan dorongan ekonominya. Meskipun demikian, pendekatan tersebut mengikuti tradisi ilmu politik ortodoks, dengan penyandaran pada abstraksi-abstraksi dan deskripsi-deskripsi kabur yang memberikan sedikit potensi analisis.

a)      Prestasi masa lalu.
b)      Persepsi mengenai kekuasaan.
c)      Aturan dan norma.
d)      Perbandingan dengan orang lain. 
e)      Terbentuknya kelompok pejuang (Struggle Group).a)      Prestasi masa lalu.

b)      Persepsi mengenai kekuasaan.
c)      Aturan dan norma.
d)      Perbandingan dengan orang lain. 
e)      Terbentuknya kelompok pejuang (Struggle Group).
Inti dari pemikiran Luxemburg adalah pengujian penetrasi modal ke dalam ekonomi-ekonomi primitif. Ia membedakan tiga akumulasi modal. Yang pertama melibatkan perjuangan modal dengan ekonomi alami di wilayah-wilayah di mana terdapat komunitas-komunitas petani dan kepemilikan tanah secara bersama atau sisitem feodal, atau juga suatu organisasi ekonomiyang berorientasi pada permintaan internal di mana hanya terdapat sedikit surplus atau permintaan barang-barang luar negeri. Akhirnya, terdapat fase imperialis dari akumulasi modal.

Bagi modal, kebuntuan akumulasi bermakna bahwa perkembangan kekuatan-kekuatan produksi tertahan, dan tak terelakkan lagi akan diikuti ambruknya kapitalis, sebagai sebuah kebutuhan objektif sejarah. Inilah alasan prilaku kontradiktif kapitalisme di tahap final karir sejarahnya imperialisme (luxemberg 1951 :417)

Luxemburg memandang imperialisme sebagai kontroversi surplus menjadi modal, yang diketemukan dimanapun di dalam ekonomi dunia dan tidak membatasi akumulasinya pada masyarakat kapitalis yang terisolasi. Dorongan modal akan untuk berekspansi adalah sifat menonjol pembangunan modern, dan dalam finalnya fase kaitalisme “telah mengadopsi suatu ciri yang tak terkendali yang mengancam keseluruhan peradaban umat maanusia. Sunggug, dorongan ekspansi modal yang tak dapat dijinakkan ini secara bertahap membentuk suatu pasar dunia, menghubungkan ekonomi dunia modern dan oleh karenanya meletakkan basis bagi sosialisme” (Luxemburg dan Bukharin 1972: 143)

Karya imperialisme Bukharin ditulis di tahun 1915 dan menyertakan kata pengantar Lenin, setahun sebelum Lenin mempersiapkan tulisannya sendiri dalam sunyek yang sama. Bukharin menghubungkan ekonomi dunia dengan imperialisme, yang dipandang sebagai tahap lanjut kapitalisme. Argumennya adalah sebagai berikut. Ekonomi dunia terdiri atas sebuah sistem hubungan produksi dan hubungan pertukaran dalam skala dunia. Hubungan pertukaran merupakan bentuk paling primitif dan perwalian (trust) serta kartel mewakili bentuk tertinggi organisasi kapitalis di tingkat internasional.

Pembangunan yang tidak seimbang mencerminkan perbedaan-perbedaan dalam kekuatan-kekuatan produksi beragam negara, namun perkembangan pesat kekuatan-kekuatan produksi kapitalis dunia ikut menentukan ekspansi ekonomi dunia  sejak akhir abda kesembilanbelas. Ekspansi ini adalah konsekuensi formasi-formasi ekonomi baru, yaitu, organisasi-organisasi monopoli kapitalis seperti kartel, perwalian, dan bank yang membiayai mereka, modal perbankan  bertransformasi ke modal perusahaan untuk menjadi modal keuangan. Formasi monopoli-monopoli kapitalis ini melampaui batas-batas nasional dan menghasilkan konsolidasi kekuatan-kekuatan maju di pusat dan negara-negara terbelakang di batas luar: “ beberapa badan usaha ekonomi terorganisasi dan terkonsilidasi (“kekuatan-kekuatan beradab yang besar”) di satu sisi, dan batas luar berupa negara-negara terbelakang dengan sistem agraris atau semi-agraris si sisi lain” (Bukharin 1929: 74). Kapitalisme internosional membutuhkan ekspansi, mengembangkan dirinya ke dalam tiga lingkup ekonomi dunia: pasar-pasar penjual komoditas, pasar-pasar bahan mentah, dan investasi modal. Hasil yang tidak bisa terhindarkan adalah konflik, ekspansi kapitalis, dan imperialisme.

Selanjutnya fase terakhir kapitalisme yang mempertajam konflik juga terjadi dalam lingkup berilut. Semakin cepat tempo pembangunan kapitalis, semakin kuat proses industrialisasi kehidupan ekonomi dan urbanisasi negara,  semakin terganggu kesetimbangan antara industri dan pertainian, semakin kuat persaingan di antara negara-negara industri maju untuk menguasai negara-negara berkembang, dan semakin sulit terhindarkannya suatu konflik terbika di antara mereka (Bukharin 1925: 25)

Bukharin mengkritik dua interpretasi imperialisme “vulgar” yang berhubungan dengan ras dan penaklukan. Kemudian ia menunjukkan bagaimana seorang Marxis melakukan pendekatan analisis imperialisme, dan ia mendefenisikan imperialisme sebagai sebuah kebijakan atau modal keuangan. “ia menjunjung struktur modal keuangan; ia menundukkan dunia demi dominasi modal keuangan; di tempat hubungan-hubungan produksi prakapitalis lama, atau kapitalis lama, ia meletakkan hubungan-hubungan produksi modal keuangan” (1929: 114).

LENIN: IMPERIALISME, TAHAP TERTINGGI KAPITALISME

Teori lenin tentang imperialisme sebagai tahap tertinggi kapitalisme didasarkan pada sebuah analisis seksama atas beberapa  ciri ekonomi utama. Pertama adalah konsentrasi produksi yang pesat dalam monopoli-monopoli industri besar. Modal monopoli-monopoli industri dan bank terpadu menjadi modal keuangan, satu pengertian yang di anggap lenin berasal dari Hilferding yang menulis, “modal keuangan adalah modal yang dikontrol oleh bank-bank dan dimanfaatkan oleh para industrialis” (Hilferding, dalam Lenin 1967: I:711).

Dalam menjelaskan modal keuangan, Lenin mendefenisikan kapitalisme sebagai “produksi komoditas pada tahap perkembangan tertingginya, di mana kekuatan tenaga kerja sendiri menjadi sebuah komoditas” (1967: I:723). Ciri-ciri kapitalisme lama, dalam era persaingan bebas, adalah ekspor barang-barang. Di bawah kapitalisme baru, yang dicirikan oleh monopoli-monopoli, modallah yang diekspor. Ekspor modal ini adalah satu sifat lain dari imperialisme (723-724); ia diasosiasikan dengan pembangunan yang tidak berimbang dan akumulasi surplus modal negara-negara maju di bawah kontrol oligarki keuangan para bankir yang semakin menginvestasikan uang mereka dalam industri dan mentrasformasi diri mereka menjadi para kapitalis industri (711-712). Dengan demikian, modal keuangan dan oligarki keuangan memegang supremasi diatas segala bentuk modal lainnya (721). Di bawah kapitalisme monopoli, kartel, sindikasi, dan perwalian membagi pasar domestik dan mengontrol industri di negara mereka, namun kapitalisme juga menciptakan sebuah pasar dunia. Pasar-pasar domestik di ikat dengan pasar-pasar luar negari, dan ekspor modal meningkat, menghasilkan pembagian ekonomi dunia di antara asosiasi-asosiasi kapitalis internasional.

Bagi Lenin, “imperialisme adalah kapitalisme monopoli. Ini menentukan letak dirinya di dalam sejarah, karena monopoli tumbuh dari lahan persaingan bebas, adalah trasisi dari sistem kapitalis menjadi tatanan sosio-ekonomi yang lebih tiggi” (1967: I:773). Ia mengidentifikasi empat perwujudan kapitalisme monopoli ini: pertama, formasi asosiasi, kartel, sindikasi, dan badan perwalian kapitalis ketika monopoli merebak dari konsentrasi produksi; kedua, kontrol monopoli bahan-bahan mentah yang paling penting; ketiga, kebangkitan bank-bank sebagai pemegang monopoli modal keuangan, menghasilkan “suatu oligarki keuangan, yang menebarkan jaring hubungan-hubungan ketergantungan tertutup keseluruh institusi-institusi ekonomi dan politik masyarakat borjuis hari ini tanpa perkecualian” (773); keempat, pembagian dunia kolonial menjadi belahan-belahan pengaruh, sebuah pencerminan perjuangan modal keuangan demi bahan-bahan mentah dan ekspor modal

BARAN DAN SWEEZY SERTA MAGDOFF:
MODAL MONOPOLI DAN PERUSAHAAN-PERUSAHAAN MULTI NASIONAL

Paul Baran dan Paul Sweezy (1966) merujuk Hilferding, Luxemburg, dan Lenin sebagai kontributor-kontributor utama imperialisme Marxis. Dalam karya mereka, monopoly capital, mereka menunjukkan bahwa teori semacam ini menjelaskan hubungan-hubungan internasional dalam dunia kapitalis, mengklarifikasi perkembangan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi de negara-negara kapitalis, dan menganalisis hubungan-hubungan yang tidak setara antara negara-negara maju dan negara-negara terbelakang.

Herry Magdoff dalam The Age of Imprialism (1969) menelusuri pola-pola kebijakan luar negeri Amerika Seriakat dan menguji dampaknya terhadap ekspansi internasional bisnis amerika. Ia membedakan imperialisme lama denganyang baru. Imperialisme baru menandai sebuah periode baru kapitalisme dunia dan dibedakan oleh, pertama, bangkitnya kekuatan-kekuatan industri seperti amerika serikat, Jerman, Prancis, dan Jepang untuk menantang Inggris dan, kedua, pergeseran-pergeseran kekuatan sejumlah kecil perusahaan-perusahaan indutri dan keuangan terpadu yang besar, perusahaan multi nasional, yang menjadi dominan khususnya sejak PD II. Magdoff menghimpun data dan informasi untuk menunjukkan kebersamaan kehadiran militer dan politik Amerika Serikat di laur negeri, posisi dominan modal Ameriaka dalam perusahaan-perusahaan multinasioanal, dan dominasi perbankan multinasional. Ia juga menguji pola-pola bantuan-bantuan dan perdagangan Amerika serta mengamati landasn-landasan kekaisaran Amerika yang terus meluas.  

PEMBANGUNAN POLITIK DI NEGARA BERKEMBANG

Analisis dalam kerangka Pembangunan Politik di negara-negara pasca kolonial yang pada umumnya cenderung non demokratis, dalam kerangka menciptakan State and nation Building yang kokoh. Dengan memadukan berbagai pendekatan/teori yang relevan termasuk didalamnya peranan militer, disertai berbagai contoh negara-negara yang terkait. 

A.    Pembangunan Politik (Political Development)

Pembangunan politik sering diartikan sebagai modernisasi politik yang dialami di Eropa (negara barat) dan selanjutnya di bagian-bagian dunia lain setelah dan sejak renaissance. Para pendukung teori modernisasi umumnya meyakini bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat universal, dan karenanya pemahaman, analisis, perumusan dan pemecahan masalah suatu negara bisa diterapkan pada negara lain.
 

Jika modernisasi bisa dilakukan di negara-negara Barat, maka ia niscaya juga bisa diterapkan pada konteks negara non Barat, Keyakinan akan universalitas teori ini kemudian mendapatkan pembenaran ketika Jepang (negara Asia yang hancur lebur akibat perang) mampu dan sukses meniru model pembangunan yang diterapkan negara-negara Barat. 

Selama lebih dari tiga dekade, teori modernisasi, yaitu teori yang mengatakan bahwa kemiskinan suatu negara berpangkal pada persoalan internal negara yang bersangkutan, dan karenanya solusi yang diperlukan adalah memoderenkan negara tersebut, menjadi pilihan utama untuk menjelaskan dan memproyeksikan pembangunan negara. Yang menurut pendapat Lucian Pye rumusan-rumusan tersebut bersifat etnosentris (pro Barat). 

Munculnya negara-negara baru pasca Kolonial yang pada umumnya cenderung non demokratis ditandai dengan adanya pembatasan terhadap partisipasi politik masyarakat, karena apabila terjadi perluasan terhadap partisipasi politik masyarakat akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap stabilitas politik dan legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh negara. 

Tumbuhnya peningkatan kesadaran sosial dan politik melalui aspirasi dan tuntutan secara menyolok akan menimbulkan gejolak-gejolak sosial dan jika keadaaan  ini berlangsung lama akan menimbulkan anomie, hal ini menurut Samuel P. Huntington sangat berbahaya apabila terjadi pada negara-negara berkembang. Meningkatnya partisipasi politik masyarakat sebagai akibat langsung dari pertumbuhan ekonomi yang memudahkan akses terhadap pendidikan, memunculkan kesadaran politik yang tinggi. 

Transformasi ini dapat dikatakan sebagai gejala pembangunan (development syndrome) ciri-ciri yang berkaitan dari modernisasi politik. Sindrome ini menurut Lucian Pye dan yang lain agak berbeda, tapi dapat dikatakan meliputi :
  1. Sikap umum arah persamaan (equality) yang memungkinkan persamaan kesempatan berpartisipasi dalam politik dan bersaing mendapatkan jabatan pemerintahan,
  2. Kapasitas (capacity) sistem politik merumuskan kebijakan dan pelaksanaannya.
  3. Diferensiasi dan spesialisasi (Differenciation and specialization) fungsi politik tanpa mengorbankan integrasi secara menyeluruh.
  4. Sekulerisasi proses politik, pemisahan politik dari tujuan dan pengaruh agama.
Perubahan-perubahan ini sering menimbulkan masalah-masalah dalam pembangunan, diantaranya adalah legitimasi sebagai persoalan pembangunan negara (state building) dan krisis identitas sebagai masalah pembangunan bangsa (nation building), masalah partisipasi dan distribusi politik (pembagian manfaat politik), penetrasi (pemerintahan efektif), dan integrasi (fungsi pemerintah).

Dengan timbulnya masalah-masalah pembangunan sebagai akibat dari modernisasi politik, pembangunan politik sering dilihat sebagai kapasitas sistem politik dalam menyelesaikan masalah. Pembangunan politik didefinisikan secara agak sempit sebagai meningkatnya diferensiasi dan spesialisasi struktur politik dan meningkatnya sekularisasi budaya politik. Pembangunan politik terjadi jika sistem politik berhasil mengatasi masalah tantangan pembangunan negara dan bangsa, distribusi dan lain-lain. Sehingga makna pembangunan adalah meningkatnya efektifitas dan efisiensi perilaku sistem politik dan kapabilitasnya, akan tetapi sistem politik tersebut harus memiliki sumber ekstarksi dan pengaturan yang cukup.

Disamping demokrasi perlu juga dipahami demokratisasi, yang menurut Huntington kini sudah memasuki gelombang ketiga. Gianfranco Pasquino mengatakan demokratisasi adalah proses dimana rezim-rezim otoriter beralih menjadi rezim-rezim demokratis. Pendapat senada juga dikemukakan oleh David Potter dan kawan-kawan yang mengatakan bahwa demokratisasi adalah suatu perubahan politik yang bergerak ke arah sistem politik yang demokratis. Pengertian-pengertian ini harus dibedakan secara analitis dari proses liberalisasi dan transisi. Liberalisasi hanyalah pelunakan rezim otoriter dalam operasi atau kerangka kerjanya. Prosesnya dipimpin oleh pemimpin otoriter itu sendiri. Liberalisasi boleh jadi merupakan langkah awal dari transisi menuju demokrasi. 

B.     MOBILISASI DAN PARTISIPASI POLITIK 

David Apter dalam konsep modernisasi, partisipasi politik masyarakat dimobilisasi demi penegakan penegakan legitimasi kekuasaan (the rulling elit), hal ini menjelaskan kasus pembangunan politik yang terjadi di Uganda dan Ghana. Jika kita kaitkan dengan konsep Huntington tentang Model negara Tahap I Borjuis dan otokrasi, Tahap II. Teknokrat dan populis, ternyata sistem feodalistik masih kuat melekat pada negara-negara baru tersebut. (pasca kolonial). 

Mari kita lihat pada model tahap I. Model Otokrasi, yang memiliki banyak persamaan dengan masa pemerintahan Orde Baru. 
Model Otokrasi, ditandai dengan adanya : 
1. Kekuasaan dipusatkan. 
2. Partisipasi politik golongan menengah ditindas (militer masuk mengambil peran). 
3. Penanaman Modal Asing dan Pertumbuhan ekonomi meningkat. 
4. Pemerataan sosial ekonomi meningkat (untuk memperoleh dukungan). 
5. Adanya masalah land reform (golongan aristokrasi tradisional).
6. Stabilitas politik terjamin. 

Akibatnya terjadi rekayasa partisipasi terhadap penguasa yang sedang berkuasa, secara makro pertumbuhan ekonomi meningkat, secara mikro tumbuhnya kapitalisme (kapitalisme semu) yang dapat membuat goyah pondasi perekonomian, terjadi tuntutan partisipasi politik di perluas akibat adanya kesadaran politik pada tingkatan masyarakat kelas rendah baik di kota ataupun desa, adanya pemanfaatan landreform yang membuat juga adanya tuntutan partisipasi politik. Adanya pengaruh eksternal, perlahan-lahan muncul civil society yang menjadi salah satu prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi di sebuah negara. Jadi meskipun pengaruh modernisasi ditengarai banyak pro barat, tapi menjadi cikal bakal bagi tumbuhnya gerakan demokrasi di sebuah negara. Karena melalui demokrasi juga kita akan melihat pengaruh pada budaya politik. Yang menurut Almond dan Verba sebagai budaya politik parokial yang terjadi pada masyarakat tradisional. Mereka tidak tahu dan tidak mau terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. Hal ini terjadi pada masyarakat yang belum mengalami proses modernisasi. 

Pada budaya politik subyek mereka tahu tapi tidak mau terlibat, hal ini terjadi pada masyarakat yang tingkat pertumbuhan ekonominya sudah baik, partisipasi politik sangat rendah padahal tingkat pendidikan sudah tinggi, contohnya adalah negara maju yang secara umum sudah mapan sehingga partisipasi politik menjadi rendah.

Budaya politik partisipan, mereka tahu dan terlibat pada kegiatan-kegiatan politik, pada masa transisi sering terjadi karena kesadaran politik baru muncul, pertumbuhan ekonomi mulai meningkat, stabilitas politik masih dalam masa transisi. Hal ini dapat dilihat pada Indonesia pasca reformasi 1998. dimana partispasi politik tinggi, adanya penguatan civil society, partisipasi politik dalam pemilu cukup tinggi sebagai salah satu alat ukur perwujudan demokrasi yang tinggi. 

Jika budaya politik sebagai orientasi subjek terhadap sistem politik sangat mempengaruhi partisipasi politik seseorang dan modernisasi dapat mengubah budaya politik seseorang maka hal tersebut merupakan proses yang multidimensional.

Pembangunan politik pada negara-negara baru ditentukan oleh aktor-aktor Pembangunan politik (Modernisasi Politik), dalam kerangka menciptakan State and nation Buliding yang kokoh operasi negara bangsa sangat dipengaruhi oleh :
  1. Elit politik (Parlementaria)
  2. Birokrasi Birokrasi atas dasar Weber, birokrasi rasional akan dapat mendorong percepatan.
  3. modernisasi berpegang teguh pada konsep hukum yang sekuler. 
  4. Militer.
Jika kepemimpinan elit dan partai politik yang diorganisasi tidak berhasil memberikan kepemimpinan politik , maka satu-satunya kekuatan di negara berkembang yang dapat dan yang akan mengambil alih kekuasaan adalah militer. Kelompok lainnya seperti Mahasiswa dan buruh kurang memiliki organisasi yang luas dalam masyarakat untuk mengambil alih dan melaksanakan kekuasaan. 

Sekali kekuasaan diambil alih oleh kaum militer, maka akan sulit untuk mengembalikan kekuasaan ketangan orang sipil. Mexico dapat disebut sebagai contoh dimana pemerintahan sipil dapat dibangun kembali, sekalipun pola kekuasaan militer sempat bertahan sampai beberapa puluh tahun. 

C. State And Nation Building 

Sebagian besar negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika, menghadapi masalah-masalah state dan nation building terjalin erat dengan proses demokratisasi. Timur Tengah adalah contoh klasik. Demokrasi konsosional yang diterapkan di Libanon menjadi contoh untuk mengatasi disintegrasi. Mesir menjadi negara demokratis sekuler bertetangga dengan Libya yang otoritarian. Percobaan demokratisasi Irak kini masih mengalami kendala-kendal politik dan budaya yang serius karena kuatnya etno-nasionalisme. Analisa klasik Rupert Emerson pada 1960 mengenai nasionalisme pasca kolonial menyimpulkan bahwa nasionalisme muncul dari “gejolak dan perubahan sosial yang mendalam sifatnya, yang membongkar tatanan lama dalam masyarakat dan yang mempercepat proses mobilisasi sosial dan demokratisasi”. Seperti ditegaskannya, nasionalisme massa di negara-negara yang sedang berkembang merupakan pedang bermata dua: bisa menjadi kekuatan yang menggerakkan berbagai kelompok dan kepentingan sosial demi tujuan bersama membentuk kerangka politik yang handal bagi tindakan bersama, tetapi juga bisa memecah belah bila suatu kelompok digerakkan dengan mengorbankan kelompok lain.

D. Indikator Pengukuran Keberhasilan Pembangunan
Penggunaan indicator dan variable pembangunan bisa berbeda untuk setiap Negara. Di Negara-negara yang masih miskin, ukuran kemajuan dan pembangunan mungkin masih sekitar kebutuhan-kebutuhan dasar seperti listrik masuk desa, layanan kesehatan pedesaan, dan harga makanan pokok yang rendah. Sebaliknya, di Negara-negsara yang telah dapat memenuhi kebutuhan tersebut, indicator pembangunan akan bergeser kepada factor-faktor   sekunder dan tersier (Tikson, 2005).

Sejumlah indicator ekonomi yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga internasional antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB), struktur perekonomin, urbanisasi, dan jumlah tabungan. Disamping itu terdapat pula dua indicator lainnya yang menunjukkan kemajuan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa atau daerah yaitu Indeks Kualitas Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Berikut ini, akan disajikan ringkasan Deddy T. Tikson (2005) terhadap kelima indicator tersebut :
1.       Pendapatan perkapita
Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah satu indikaor makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makroekonomi, indikator ini merupakan bagian kesejahteraan manusia yang dapat diukur, sehingga dapat menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator makroekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun memiliki beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional, selama ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi). Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini mengabaikan pola distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.
2.       Struktur ekonomi
Telah menjadi asumsi bahwa peningkatan pendapatan per kapita akan mencerminkan transformasi struktural dalam bidang ekonomi dan kelas-kelas sosial. Dengan adanya perkembangan ekonomi dan peningkatan per kapita, konstribusi sektor manupaktur/industri dan jasa terhadap pendapatan nasional akan meningkat terus. Perkembangan sektor industri dan perbaikan tingkat upah akan meningkatkan permintaan atas barang-barang industri, yang akan diikuti oleh perkembangan investasi dan perluasan tenaga kerja. Di lain pihak, kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.
3.       Urbanisasi
Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi dikatakan tidak terjadi apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengn proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di Negara-negara industri, sebagain besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan. Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu indicator pembangunan.
4.       Angka Tabungan
Perkembangan sector manufaktur/industri selama tahap industrialisasi memerlukan investasi dan modal. Finansial capital merupakan factor utama dalam proses industrialisasi dalam sebuah masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada umumnya Eropa pada awal pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi industri. Dalam masyarakat yang memiliki produktivitas tinggi, modal usaha ini dapat dihimpun melalui tabungan, baik swasta maupun pemerintah.
5.       Indeks Kualitas Hidup
IKH atau Physical Qualty of life Index (PQLI) digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Indeks ini dibuat indicator makroekonomi tidak dapat memberikan gambaran tentang kesejahteraan masyarakat dalam mengukur keberhasilan ekonomi. Misalnya, pendapatan nasional sebuah bangsa dapat tumbuh terus, tetapi tanpa diikuti oleh peningkatan kesejahteraan sosial. Indeks ini dihitung berdasarkan kepada (1) angka rata-rata harapan hidup pada umur satu tahun, (2) angka kematian bayi, dan (3) angka melek huruf. Dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan kematian b yi akan dapat menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan keluarga yang langsung beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf, dapat menggambarkan jumlah orang yang memperoleh akses pendidikan sebagai hasil pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat, karena tingginya status ekonomi keluarga akan mempengaruhi status pendidikan para anggotanya. Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling baik untuk mengukur kualitas manusia sebagai hasil dari pembangunan, disamping pendapatan per kapita sebagai ukuran kuantitas manusia.
6.        Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)
The United Nations Development Program (UNDP) telah membuat indicator pembangunan yang lain, sebagai tambahan untuk beberapa indicator yang telah ada. Ide dasar yang melandasi dibuatnya indeks ini adalah pentingnya memperhatikan kualitas sumber daya manusia. Menurut UNDP, pembangunan hendaknya ditujukan kepada pengembangan sumberdaya manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah proses yang bertujuan m ngembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh manusia. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan diikuti oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup manusia secara bebas.

Pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai factor penting dalam kehidupan manusia, tetapi tidak secara otomatis akan mempengaruhi peningkatan martabat dan harkat manusia. Dalam hubungan ini, ada tiga komponen yang dianggap paling menentukan dalam pembangunan, umur panjang dan sehat, perolehan dan pengembangan pengetahuan, dan peningkatan terhadap akses untuk kehidupan yang lebih baik. Indeks ini dibuat dengagn mengkombinasikan tiga komponen, (1) rata-rata harapan hidup pada saat lahir, (2) rata-rata pencapaian pendidikan tingkat SD, SMP, dan SMU, (3) pendapatan per kapita yang dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity. Pengembangan manusia berkaitan erat dengan peningkatan kapabilitas manusia yang dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge, attitude dan skills, disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga dan lingkungannya.

PENUTUP

RANGKUMAN

Salah satu perkembangan dalam ilmu politik adalah munculnya studi pembangunan politik sebagai bidang kajian tersendiri, disamping bidang kajian lainnya seperti : 1. Teori-teori politik, 2. Lembaga-lembaga politik, 3. Partai-partai, golongan-golongan dan pendapat umum 4. Hubungan internasional. Para sarjana barat mengembangkan kajian ini dalam usaha mereka memahami perubahan sosial politik di Negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu, konteks pembangunan politik cenderung ditujukan pada Negara-negara sedang berkembang dengan asumsi bahwa dinegara-negara tersebut belum berjalan rasionalisasi, integrasi dan demokratisasi.

Menurut Hungtinton dan Dominguez konsep pembangunan politik dikatakan mempunyai konotasi secara geografis, deveriatif, teologis dan fungsional: 1. Pembangunan politik dalam konotasi geografis berarti terjadi proses perubahan politik pada Negara-negara sedang berkembang dengan menggunakan konsep-konsep dan metoda yang pernah digunakan oleh Negara-negara maju, seperti konsep mengenai sosialisasi politik, komunikasi politik dan sebagainya. 2. Pembangunan politik dalam arti derivative dimaksudkan bahwa pembangunan politik merupakan aspek dan konsekuensi politik dari proses perubahan yang menyeluruh, yakni modernisasi yang membawa konsekuensi pada pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, peningkatan pendidikan, media massa, perubahan status sosial dan aspek-aspek lainnya. 3. Pembangunan politik dalam arti teologis dimaksudkan sebagai proses perubahan menuju pada suatu atau beberapa tujuan dari sistem politik. Tujuan-tujuan itu misalnya mengenai stabilitas politik, integrasi politik, demokrasi, partisipasi, mobilisasi dan sebagainya. Juga termasuk didalamnya tujuan pembangunan suatu bangsa meliputi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan, demokrasi, stabilitas dan otonomi nasional. (Hungtington dan Ramlan Surbakti, 1992) 4. Pembangunan politik dalam makna fungsional diartikan sebagai suatu gerakan perubahan menuju kepada suatu sistem politik ideal yang ingin dikembangkan oleh suatu Negara misalnya Indonesia ingin mengembangkan sistem politik demokrasi konstitusional.

Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”.

Analisis dalam kerangka Pembangunan Politik di negara-negara pasca kolonial yang pada umumnya cenderung non demokratis, dalam kerangka menciptakan State and nation Building yang kokoh. Dengan memadukan berbagai pendekatan/teori yang relevan termasuk didalamnya peranan militer.

                                                   
DAFTAR PUSTAKA

Chilcote, Ronald H. Theories of Comparative Politics The Searth for a Freedom. Colorodo. Westview Press Bolder.1981.

Frank, Andre Gunder. The Development of underdevelopment. New York. Monthly Review Press. 1966.

Huntington, Samuel P. No Easy Choice: political participation in developing countries. Cambrige. Harvard University Press. 1976.

Kautsky, Karl. The Distatorship of the proletariat. Ann Arbor. University of Machigan. 1964.



Magdoff, Harry. The age of Imperialism: The Economics of U.S. Foreign Policy. New York. Monthly Review Press. 1969.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Mufazzal (c). Powered by Blogger.

Blogroll

"Kami Pemuda Yang Mengakui Bahwa Kami Tidak Memiliki Pengalaman, karena Kami Tidak Menawarkan Masa lalu. Kami Pemuda Menawarkan Masa Depan Untuk Perubahan Menuju Kesejahteraan, Kecerdasan, Dan Harga Diri"

Total Views

Popular Posts

Blog Archive

Contact Form

Name

Email *

Message *