-
Swing States: Kunci Kemenangan Trum dan Hillary Clinton (1)
Pertarungan memperebutkan gedung putih kian sengit, bahkan sampai pada malam hari menjelang pemilihan umum. Salah satunya yaitu mendulang dukungan dari swing state. swing state disebut-sebut sebagai penentu dalam pilpres tahun ini.
-
Kra Canal (2)
Kra Canal atau Canal Thai mengacu pada proposal kanal untuk memotong melalui tanah genting selatan Thailand, yang menghubungkan Teluk Thailand dengan Laut Andaman.
-
Eiffel Scholarship Program (3)
Pemerintah prancis yang menawarkan beasiswa kepada mahasiswa internasional melalui effel exellence scholarship programe, adapun beasiswa ini diperuntukkan bagi mahasiswa internasional
-
Model-Model Demokrasi (5)
Demokrasi berasal dari bahasa yunani, demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Menurut robertson demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana rakyat berkuasa
-
A Theory of Justice (6)
John Borden Rawls dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 21 Februari 1921
Thursday, 9 March 2017
Sejarah Partai Aceh
Sunday, 4 December 2016
Amanah Keutuha Presidium ASNLF
Bak Uroë Ulang Thôn Atjèh Meurdéhka Keu-40 (1976 – 2016)
4 Désémbèr 2016
Assalammu’alaikum w.w.
Ariffadhillah DE
Keutuha Prèsidium
Saturday, 26 November 2016
Fisip Unsyiah Menjalin Kerjasama Dengan Partai Aceh
Friday, 23 January 2015
Pemerintah Aceh Pasca UUPA
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan provinsi yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur daerahnya sendiri, sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006. Keistimewaan yang diberikan kepada Aceh menimbulkan peluang konflik, diantaranya masalah kewenangan, pilkada dan pengelolaan sumber daya alam. Peluang konflik bukan hanya terjadi di Aceh, melainkan juga akan terjadi di daerah lain berupa kecemburuan sosial. Pemerintah harus tanggap terhadap peluang konflik ini dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah- daerah Propinsi dan daerah-daerah Propinsi itu dibagi atas
Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Propinsi, Kabupaten dan Kota mempunyai
pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang;
- Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan
Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan.
- Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan
Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum
Menurut Bagir Manan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis. Lebih lanjut Bagir Manan mengatakan bahwa asas dekonsentrasi adalah instrumen sentralisasi, karena itu sangat keliru kalau ditempatkan dalam sistematik pemerintahan daerah yang merupakan antitesis dari sentralisasi(Bagir Manan, 2001: 9);
Mengacu kepada rumusan pasal di atas dan beberapa pasal-pasal berikutnya, pembagian daerah di Indonesia dikenal pula adanya satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa dan satuan-satuan masyarakat hukum adat yang merupakan pengaturan pemerintahan asli Indonesia yang sepanjang hal itu masih ada sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 18 B. Ketentuan ini mengandung arti bahwa dalam susunan daerah baik Propinsi, Kabupaten maupun Kota dimungkinkan adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa, namun pengertian daerah khusus dan istimewa dalam UUD 1945 ini belum ada batasan pengaturannya.
- Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
- Undang-undang Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam.
- Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
- Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam.
Namun, pemberian status otonomi khusus bagi Aceh dan Papua tak diikuti dengan paradigma baru. Akibatnya, dalam mengelola otonomi khusus, campur tangan pemerintah kian dominan. Campur tangan itu jelas terlihat dalam menyikapi aturan pemilihan kepala daerah. Sejauh ini, pemerintah memaksakan pola dan persyaratan umum dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Yang terjadi kemudian, muncul krisis kepercayaan (trust) kepada pemerintah dan otonomi khusus yang sudah disepakati. Padahal, otonomi khusus baru dapat dilaksanakan jika terbangun trust antara pemerintah pusat dan daerah yang menerima otonomi khusus.
Implementasi otonomi khusus di Aceh semakin menarik untuk dikaji karena Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak menerima UU No 18/2001. Untuk menyelesaikan penolakan tersebut, Pemerintah RI kembali melakukan perundingan dengan GAM. Dari serangkaian perundingan yang dilakukan sejak pengesahan UU No 18/2001, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia, berhasil disepakati Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM. Salah satu klausul kesepakatan itu, materi MoU Helsinki akan dituangkan dalam undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Untuk memenuhi klausul di atas, pada 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintah Aceh menjadi undang-undang.
Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, setidaknya terdapat lima alasan pemberlakuan undang-undang ini, yaitu;
- Bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;
- Bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan
Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas
sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi;
- Bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut
bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang
melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
- Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan
kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan
hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, dan
- Bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Bagaimanakah ruang lingkup kewenangan yang dimiliki oleh Aceh pasca pemberlakuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh?
- Bagaimanakah bentuk dan peluang sengketa yang
dapat terjadi antara pemerintahan Aceh dan pemerintah (pusat) sehubungan
dengan kewenangan yang dimiliki Aceh berdasarkan UU 11/2006 tersebut?
- Langkah-langkah apa saja yang dapat ditempuh guna menciptakan hubungan yang harmonis antara pemerintahan Aceh dan pemerintah (pusat)?
- bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang;
- bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan
Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas
sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang
tinggi;
- bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut
bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang
melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
- bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan
kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan pelindungan
hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; dan
- bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang
terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa
Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta
menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan
bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya daerah diberikan hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri setiap urusan Pemerintahan menurut asas otonomi seluas-luasnya, mengandung makna (1) dilihat dari segi formal yaitu proses bagaimana daerah diberikan keleluasaan menurut caranya untuk mengatur dan mengurus rumah tangga tidak lagi ada turut campur Pemerintah pusat untuk menentukan bagaimana mengelola urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dengan tidak mengurangi prinsip-prinsip pemberian otonomi. (2) Dilihat dari segi materiil yaitu daerah diberikan kewenangan yang lebih besar (banyak) untuk mengelola urusan Pemerintahan kecuali ketentuan yang ditetapkan dalam UU merupakan kewenangan Pemerintah pusat, dengan demikian daerah diberikan kesempatan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan Pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintahan lokal.
- Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
- Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
- Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:
- Melaksanakan sendiri;
- Menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/ kota;
- Melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah; dan menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas pembantuan.
Bila dibaca Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut, pada bagian Ketentuan Umum UU No 11/2006 ditegaskan, Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Sementara Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Dalam hal pembagian kewenangan, UU No 11/2006 juga potensial terperangkap rebutan kewenangan dengan pemerintah pusat. Potensi itu muncul karena adanya frasa urusan pemerintahan yang bersifat nasional. Berkenaan dengan frasa itu, Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) UU No 11/2006 menyatakan:
Selain pembagian kewenangan dengan pusat, UU No 11/2006 juga menentukan masalah pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemeintahan Kabupaten/Kota. Kalau dibaca pembagian urusan wajib dan urusan wajib lainnya yang terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal UU No 11/2006 potensi terjadinya perhimpitan urusan cukup besar. Dengan kondisi tersebut, maka akan terjadi tumpang-tindih antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Bukan tidak mungkin, urusan-urusan yang bersifat pembiayaan juga akan terjadi kevakuman.
Kemudian dalam Penjelasan Pasal 11 Ayat (1) dinyatakan:
Ada tiga embrio konflik dalam UUPA yang bila tidak disikapi secara bijak akan dapat mengganggu jalannya proses demokratisasi dan upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat Aceh yang lebih baik di bawah UUPA ini.
Embrio konflik pertama adalah masalah kewenangan. Menyangkut kewenangan yang dimiliki Aceh pasca pengesahan UUPA, sepintas tidak terdapat perbedaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh daerah lain. Provinsi Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus seluruh sektor pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali yang bersifat nasional, seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal serta urusan tertentu dalam bidang agama. Rumusan ini tidak berbeda dengan aturan yang terdapat pada Pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Embrio konflik kedua adalah menyangkut masalah pilkada. UUPA mengatur pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil di Provinsi Aceh dan kabupaten/kota dilakukan secara langsung dengan nuansa kekhususan antara lain penyelenggara pemilihan dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan Aceh dan komisi independen pemilihan kabupaten/kota. Pasangan calon nantinya akan diusulkan oleh partai politik, partai lokal, dan kandidat perseorangan. Jadi akan ada tiga pintu masuk pada proses pencalonan pasangan calon.
Embrio konflik yang ketiga adalah masalah pengelolaan sumber daya alam. Pasal 160 ayat (1) UUPA merumuskan "Pemerintah dan pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh". Namun pada penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa " Sumber daya migas dikelola pemerintah Aceh". Pemberian kewenangan khusus kepada pemerintah Aceh untuk mengelola sumber daya migas seakan mengenyampingkan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang".
Rumusan Pasal 160 ayat (1) UUPA bila dilihat dari segi kepentingan daerah lain, merupakan embrio konflik yang mengkhawatirkan. Bagi daerah lain, sumber daya alam, khususnya migas yang berada di Aceh tentu bukan sepenuhnya menjadi hak mutlak masyarakat Aceh. Sepanjang masih berada di wilayah NKRI, migas di Aceh menjadi hak bagi setiap daerah.
- Pertama, berkaca pada pengalaman pelaksanaan hubungan pusat di daerah (yang bukan dengan pola otonomi khusus) lain, sebaiknya dibentuk badan ad-hoc yang dapat menjembatani penyelesaian pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pembentukan itu tidak saja menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah serius mengelola otonomi khusus, tetapi juga mempercepat keluar dari kecenderungan penyeragaman pola otonomi daerah di Departemen Dalam Negeri. Tanpa pengelolaan yang sungguh-sungguh, otonomi khusus akan berubah menjadi otonomi kasus.
- Kedua, pemerintah pusat mesti membuat bentuk produk hukum yang seragam dalam menyusun norma, standar, dan prosedursehingga benar-benar tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota sebagai daerah yang diberi status khusus atau istimewa. Akan lebih baik kalau produk hukum penyusunan norma, standar, dan prosedur dibuat dalam satu produk hukum saja.
- Ketiga, membangun komunikasi yang intensif antara Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam menyusun pembagian urusan antara provinsi dengan kabupaten/kota. Komunikasi ini menjadi penting agar potensi konflik pembagian urusan antara Pemerintahan Aceh dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota tidak berubah menjadi ruang bagi pemerintah pusat untuk memperluas dan memperkuat intervensi.
Banyak kalangan berpendapat, secara umum, kehadiran UU No 11/2006 akan menjadi babak baru praktik otonomi daerah di Indonesia. Pendapat seperti itu tentu akan ada benarnya kalau kehadiran UU No 11/2006 mampu membangun kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik guna menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, di tengah harapan yang demikian juga muncul pendapat yang meragukan keberlangsungan UU No 11/2006. Keraguan itu muncul, di antaranya, karena pengalaman dan praktik otonomi khusus di bawah Undang-Undang No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (UU No 18/2001).
Namun, keraguan bahwa Aceh sebagai daerah yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan akan dapat terlaksana dengan baik karena ada penilaian bahwa kewenangan Aceh tidak ditentukan dengan tegas dalam UU No 11/2006. Apalagi, dalam ketidaktegasan itu, Pasal 11 Ayat (1) UU No 11/2006 menyatakan: pemerintah (pusat) menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, kabupaten, dan kota.
PENUTUP
- Setelah pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006 maka Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberi kewenangan seluas-luasnya untuk mengatur daerahnya sendiri sebagaimana yang terdapat pada pasal 7 UU tersebut.
- Ada 3 embrio konflik akibat pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006, yaitu: masalah kewenangan, masalah pilkada karena adanya hak bagi partai lokal mengusung calonnya, masalah pengelolaam sumber daya alam.
- Langkah-langkah yang ditempuh untuk menghindari konflik tersebut adalah dibentuknya badan ad hoc yang menjembatani pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah Aceh, membangun komunikasi yang efektif dan membuat aturan hukum yang seragam dengan tidak mengurangi keistimewaan kewenangan pemerintah Aceh.
Saran
- Agar pemerintah cepat tanggap dalam dugaan-dugaan konflik yang akan terjadi akibat pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2006.
- Agar terus dilakukan penyempurnaan terhadap aturan hukum yang terkait dengan otonomi khusus Aceh sehingga semakin meminimalisir terjadinya peluang konflik.
Josef Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, Rineka Cipta
Saturday, 10 January 2015
Sentralisai, Desentralisasi dan Dekonsentralisasi
Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
Keseragaman pola pembudayaan masyarakat
Melemahnya kebudayaan daerah
Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
3. Mampu menyelenggarakan pendidikan dengan memfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.
3. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak.
4. Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
5. Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang mengerti tentang pendidikan
6. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum
7. Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana.
8. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stake holder sekolah.
Menurut Usman (2009:629), indikator bahwa MBS sudah berhasil di sekolah ditunjukkan oleh beberapa hal:
- Adanya kemandirian sekolah yang kuat.
- Adanya kemitraan sekolah yang efektif.
- Adanya partisipasi yang kuat dari masyarakat.
- Adanya keterbukaan yang bertanggung jawab dan meluas dari pihak sekolah dan masyarakat .Adanya akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan oleh sekolah.
A. Umum
1. Dalam Bab III Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pada prinsipnya menegaskan bahwa esensi otonomi sebagai kewenangan untuk mengatur dalam arti membuat regulasi di daerah dan mengurus dalam arti mengelola urusan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah, sehingga perlu dibina dan diawasi oleh Pemerintah.
- Dimock, E. Marshall. Administrasi Negara. Erlangga : Jakarta
- Http://www.kompas.com
- Kansil, C.S.T . Sistem Pemerintahan Indonesia. PT Bumi Aksara : Jakarta. 2005
- Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil.. Pemerintahan Daerah Indonesia. Sinar Grafika : Jakarta. 2002
- MaCandrews, Colin dan Ichlasul Amal.. Hubungan Pusat Daerah dalam pembangunan. PT Rajagrafindo Persada : Jakarta 1993
- Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002
- Ndraha, Talizidu. Metodologi Pemerintahan Indonesia. Bina Aksara : Jakarta 1988
- Rodee, Clyner Carlton. Pengantar Ilmu Politik. PT Rajagrafindo Persada : Jakarta 2000
- Tjokroamidjojo, Bintoro. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES : Jakarta 1990
- Usman, Husaini. Manajemen: Teori Praktik, dan Riset Pendidikan Edisi 3. Jakarta: Bumi Aksara. 2009