BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk
penyelenggaraan negara adalah persoalan pembagian sumber daya dan wewenang.
Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan
sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintahan di
bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah pelayanan negara
terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan
politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi
merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini
diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme
membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan
kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya
desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia
adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab
kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses
satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua “sasi” itu adalah masalah
perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu
merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain
proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah
argumen mana yang terbaik bagi masyarakat. Masalah sentralisasi dan desentralisasi bukan
lagi dipandang sebagai persoalan penyelenggara negara saja. Pada akhirnya
kekuatan suatu bangsa harus diletakkan pada masyarakatnya. Saat ini di banyak
wilayah, politik lokal dikuasai selain oleh orang-orang partai politik juga kelompok-kelompok
yang menjalankan prinsip bertentangan dengan pencapaian tujuan kesejahteraan
umum. Kekuatan kelompok pro pembaruan lemah di banyak daerah dan langsung harus
berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik lokal dengan kepentingan sempit.
Birokrasi sekali lagi adalah alat pemerintah pusat untuk melakukan perbaikan
daerah. Birokrasi, jika dirancang secara sungguh-sungguh, bisa berperan sebagai
alat merasionalisasikan masyarakat. Pemerintah pusat, misalnya, membantu
pemerintah daerah dalam mendesain pelayanan publik yang akuntabel. Pemerintah
daerah sering pada situasi terlalu terpengaruh dengan kepentingan perpolitikan
lokal.
1.2 Tujuan Penulisan
a. Untuk
mengetahui pengertian sentralisasi dan desentralisasi
b. Untuk
mengetahui dampak positif maupun negatif sentralisasi dan desentrslisasi
c. Untuk
mengetahui konsep sentralisasi dan desentralisasi
d. Dapat
dijadikan bahan perbandingan dan bahan acuan bagi penulis yang meneliti masalah
sejenis
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah dan Pengertian
Sentralisasi
Sentralisasi adalah memusatkan seluruh
wewenang atas segala urusan yang menyangkut pemerintahan kepada tingkat pusat..
Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum
adanya otonomi daerah. Bahkan pada zaman kerajaan, pemerintahan kolonial,
maupun di zaman kemerdekaan.Istilah sentralisasi sendiri sering digunakan dalam
kaitannya dengan kontrol terhadap kekuasaan dan lokasi yang berpusat pada satu
titik.
Dewasa ini, urusan- urusan yang bersifat sentral adalah :
Luar Negeri
Peradilan
Hankam
Moneter dalam arti mencetak
uang, menentukan nilai uang, dan sebagainya
Pemerintahan Umum
Istilah dan Pengertian
Desentralisasi
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian
yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam
kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini
seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya
desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di
Indonesia.
Desentralisasidi bidang pemerintahan adalah
pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada satuan organisasi pemerintahan
di wilayah untuk meyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok
penduduk yang mendiami wilayah tersebut.
Dengan demikian, prakarsa, wewenang,dan tanggung
jawab mengenai urusan yang diserahkan pusat menjadi tanggung jawab daerah ,
baik mengenai politik pelaksanaannya, perencanaan, dan pelaksanaannya maupun
mengenai segi pembiayaannya. Perangkat pelaksananya adalah perangkat daerah itu
sendiri.
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai
pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia
dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974,
desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah dari pusat kepada daerah.
Pelimpahan wewenang kepada Pemerintahan Daerah, semata- mata untuk mencapai
suatu pemerintahan yang efisien.
Tujuan dari desentralisasi adalah :
1. Mencegah pemusatan keuangan;
2. Sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah
untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pemerintahan.
3. Penyusunan program-program untuk perbaikan
sosial ekonomi pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis.
Desentralisasi dapat dilakukan melalui empat bentuk
kegiatan utama, yaitu:
Dekonsentrasi wewenang
administratif
Dekonsentrasi berupa pergeseran volume pekerjaan
dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah tanpa adanya
penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau
keleluasaan untuk membuat keputusan.
Delegasi kepada penguasa
otorita
Delegasi adalah pelimpahan pengambilan keputusan
dan kewewenangan manajerial untuk melakukan tugas –tugas khusus kepada suatu
organisasi yang secara langsung berada di bawah pengawasan pusat.
Devolusi kepada pemerintah
daerah
Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah pusat
membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan
sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara
mandiri. Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif untuk
merujuk pada situasi di mana pemerintah pusat mentransfer kewenangan kepada
pemerintah daerah dalam hal pengambilan keputusan , keuangan dan manajemen.
Pemindahan fungsi dari
pemerintah kepada swasta
Yang di sebut sebagai pemindahan fungsi dari
pemerintahan kepada swasta atau privatisasi adalah menyerahkan beberapa
otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab admistrasi tertentu kepada
organisasi swasta.
2.3 Hakekat Sentralisasi dan
Desentralisasi
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2005 tentang Perubahan atas PP No 6/2005 tentang pemilihan dan
pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah membawa Indonesia pada
titik di mana masalah peran pusat dan daerah masuk kembali pada wacana publik.
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah
persoalan pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum
tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada
pada pemerintah pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan "baik"
dari perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.
Seperti telah diketahui, pemahaman dan tujuan
"baik" semacam itu sudah dipandang ketinggalan zaman. Saat ini
desentralisasi dikaitkan pertanyaan apakah prosesnya cukup akuntabel untuk
menjamin kesejahteraan masyarakat lokal. Semata birokrasi untuk pelayanan tidak
cukup untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, bahkan sering merupakan medium
untuk melencengkan sumber daya publik. Kontrol internal lembaga negara sering
tak mampu mencegah berbagai macam pelanggaran yang dilakukan pejabat negara.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga
baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah
bahwa desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan
daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru
di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang,
situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat
bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa
desentralisasi di Indonesia adalah "melepaskan diri sebesarnya dari
pusat" bukan "membagi tanggung jawab kesejahteraan
daerah". Karena takut dianggap tidak politically correct, banyak
orang enggan membahas peran pusat dan daerah secara kritis. Kini sudah saatnya
proses pembahasan dibuka kembali dengan mempertimbangkan fakta-fakta secara
lebih jujur.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh
ditetapkan sebagai suatu proses satu arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama,
kedua "sasi" itu adalah masalah perimbangan. Artinya, peran
pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang
dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar
ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik
bagi masyarakat. Kedua, batas antara pusat dan daerah tidak selalu jelas.
Kepentingan di daerah bisa terbelah antara para elite penyelenggara negara dan
masyarakat lokal. Adalah mungkin pemerintah pusat memainkan peran menguatkan
masyarakat lokal dalam menghadapi kesewenangan kekuasaan. Ketiga, dalam suatu masyarakat
yang berubah, tanggung jawab pusat maupun daerah akan terus berubah pula.
Dalam penyelenggaraan negara selalu ada aspek
dan definisi baru tentang peran pusat dan daerah. Misalnya, globalisasi akan
meningkatkan kembali campur tangan pusat di daerah di sisi-sisi tertentu.
Karena itu, desentralisasi dan sentralisasi dapat terjadi bersamaan pada
aspek-aspek berbeda. Pusat mempunyai kecenderungan untuk mendorong sentralisasi
karena berbagai alasan. Untuk alasan "negatif" dapat disebut alasan
seperti kontrol sumber daya dan menjadikan daerah sebagai sapi perah. Namun,
ada alasan-alasan yang dapat bersifat "positif", seperti kestabilan
politik dan ekonomi, menjaga batas kesenjangan agar tidak terlalu buruk, dan
mendorong program secara cepat. Harus diingat, dalam banyak negara, termasuk
Indonesia, pusat mempunyai sumber daya manajerial, kecakapan lebih banyak dalam
berinteraksi secara global, dan ada pada domain di mana pengaruh etik
pembangunan yang diterima secara internasional. Pemerintah pusat juga berada
pada hot spot proses politik. Adalah lebih mungkin terjadi situasi di mana
pemerintah di bawah tekanan jika kekuatan masyarakat sipil bersatu.
Bagaimana hal-hal itu dapat menghasilkan sesuatu
yang positif atau negatif tergantung pada situasinya. Pertama yang penting
adalah legitimasi politik pemerintah pusat. Secara sederhana, harus dibedakan
antara legitimasi terhadap para pemimpin di tingkat nasional dan legitimasi
terhadap birokrasi. Pemerintah pusat sering harus mengandalkan birokrasi untuk
programnya terhadap daerah. Kepopuleran individu selalu tidak bertahan lama dan
dapat segera dirusak oleh ketidakmampuan memperbaiki mutu birokrasi. Di
Indonesia, birokrasi yang sebenarnya memiliki kompetensi dan orientasi lumayan
pada awal reformasi kini mulai dibelokkan kekuatan politik partai dan kelompok.
Penyelenggara negara di tingkat pusat terdiri dari beberapa partai politik.
Kombinasi antara partai politik yang hampir seluruhnya punya masalah
akuntabilitas dan sistem politik representasi (oleh partai politik yang dapat
dikatakan sama di DPRD) yang tidak akuntabel di tingkat lokal membuat
masyarakat lokal tidak mudah memercayai "pusat". Jika ingin
memperbaikinya, pemerintah pusat harus mampu membuat standar akuntabilitas
sendiri agar mendapat dukungan masyarakat lokal. Indonesia kini mulai mengalami
apatisme terhadap desentralisasi. Situasi ini bisa dimanfaatkan pemerintah
pusat untuk melakukan perubahan di tingkat daerah. Kasus Argentina dan Brasil
yang bersifat federalis menunjukkan jatuhnya legitimasi para elite politik
lokal memberikan kesempatan kepada elite nasional untuk melakukan
resentralisasi di bidang ekonomi untuk bidang- bidang tertentu. Kedua
pemerintahan banyak menggunakan struktur internal (birokrasi) untuk mengubah
arah, tanpa terlalu banyak berurusan dengan struktur politik yang ada.
Kembali kepada persoalan awal, masalah sentralisasi
dan desentralisasi bukan lagi dipandang sebagai persoalan penyelenggara negara
saja. Pada akhirnya kekuatan suatu bangsa harus diletakkan pada masyarakatnya.
Saat ini di banyak wilayah, politik lokal dikuasai selain oleh orang-orang
partai politik juga kelompok-kelompok yang menjalankan prinsip bertentangan
dengan pencapaian tujuan kesejahteraan umum. Kekuatan kelompok pro pembaruan
lemah di banyak daerah dan langsung harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan
politik lokal dengan kepentingan sempit. Pemerintah pusat seharusnya memperkuat
elemen masyarakat untuk berhadapan dengan kekuatan tadi. Sebagai contoh, KPU
daerah diberi wewenang untuk merekomendasikan penghentian pilkada, bukan
melalui gubernur dan DPRD. Namun, sebagai institusi KPU daerah harus diperkuat
secara institusional dan organisatoris. Meskipun pemerintah pusat mungkin tidak
diharapkan untuk ikut mendorong perubahan sistem politik yang ada sekarang,
perbaikan penegakan hukum di daerah-daerah sangat membantu kekuatan masyarakat
pro perubahan.
Birokrasi sekali lagi adalah alat pemerintah pusat
untuk melakukan perbaikan daerah. Birokrasi, jika dirancang secara
sungguh-sungguh, bisa berperan sebagai alat merasionalisasikan masyarakat.
Pemerintah pusat, misalnya, membantu pemerintah daerah dalam mendesain
pelayanan publik yang akuntabel. Pemerintah daerah sering pada situasi terlalu
terpengaruh dengan kepentingan perpolitikan lokal. Terakhir yang tidak kalah
pentingnya adalah representasi persoalan daerah di tingkat pusat. Sekarang ini
sistem perwakilan daerah yang ada baik di DPR maupun asosiasi bersifat elitis.
Tetap yang berlaku antara hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Persoalan daerah harus ditangani oleh sesuatu badan yang lebih independen dari
kepentingan yang ada di pusat dan daerah. Badan ini seharusnya mampu membahas
apa peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang paling diperlukan untuk
kesejahteraan daerah. Perlu dipikirkan suatu badan yang otoritatif untuk
membuat advokasi, rekomendasi kebijakan, dan pemonitoran yang mewakili
orang-orang kompeten baik unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun
masyarakat.
Dampak Positif dan Negatif
Sentralisasi
a) Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi, efek positif yang di berikan
oleh sistem sentralisasi ini adalah perekonomian lebih terarah dan teratur
karena pada sistem ini hanya pusat saja yang mengatur perekonomian. Sedangkan
dampak negatifnya adalah daerah seolah-olah hanya di jadikan sapi perahan saja
dan tidak dibiarkan mengatur kebijakan perekonomiannya masing- masing sehingga
terjadi pemusatan keuangan pada Pemerintah Pusat.
b) Segi Sosial Budaya
Dengan di laksanakannya sistem sentralisasi ini,
perbedaan-perbadaan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat di
persatukan.Sehingga, setiap daerah tidak saling menonjolkan kebudayaan
masing-masing dan lebih menguatkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang di miliki
bangsa Indonesia.
c) Segi Keamanan dan Politik
Dampak positif yang dirasakan dalam penerapan
sentralisasi ini adalah keamanan lebih terjamin karena pada masa di terapkannya
sistem ini, jarang terjadi konflik antar daerah yang dapat mengganggu
stabilitas keamanan nasional Indonesia. Tetapi, sentralisasi juga membawa dampak
negatif dibidang ini. Seperti menonjolnya organisasi-organisasi kemiliteran.
Sehingga, organisasi-organisasi militer tersebut mempunyai hak yang lebih
daripada organisasi lain. Dampak positif yang dirasakan di bidang politik
sebagai hasil penerapan sistem sentralisasi adalah pemerintah daerah tidak
harus pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan
keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh
pemerintah pusat. Sehingga keputusan yang dihasilkan dapat terlaksana secara
maksimal karena pemerintah daerah hanya menerima saja.
Sedangkan dampak negatifnya adalah terjadinya
kemandulan dalam diri daerah karena hanya terus bergantung pada keputusan yang
di berikan oleh pusat. Selain itu, waktu yang dihabiskan untuk menghasilkan
suatu keputusan atau kebijakan memakan waktu yang lama dan menyebabkan
realisasi dari keputusan tersebut terhambat, dan pemerintah pusat begitu
dominan dalam menggerakkan seluruh aktivitas negara. Dominasi pemerintah pusat
terhadap pemerintah daerah telah menghilangkan eksistensi daerah sebagai
tatanan pemerintahan lokal yang memiliki keunikan dinamika sosial budaya
tersendiri, keadaan ini dalam jangka waktu yang panjang mengakibatkan
ketergantungan kepada pemerintah pusat yang pada akhirnya mematikan kreasi dan
inisiatif lokal untuk membangun lokalitasnya.
2.5 Dampak Positif dan Negatif
Desentralisasi
Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi banyak sekali keuntungan dari
penerapan sistem desentralisasi ini dimana pemerintahan daerah akan mudah untuk
mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, dengan demikian apabila sumber
daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal maka pendapatan daerah
dan pendapatan masyarakat akan meningkat. Seperti yang diberitakan pada majalah
Tempo Januari 2003 “Desentralisasi: Menuju Pengelolaan Sumberdaya Kelautan
Berbasis Komunitas Lokal”. Tetapi, penerapan sistem ini membukan peluang yang
sebesar-besarnya bagi pejabat daerah (pejabat yang tidak benar) untuk melalukan
praktek KKN. Seperti yang dimuat pada majalah Tempo Kamis 4 November 2004
(www.tempointeraktif.com) “Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah”.
“Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi
menjadi tersangka korupsi pembelian genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran
Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar resmi sebagai tersangka kasus korupsi
anggaran dewan dalam APBD 2002 sebesar Rp 6,4 miliar, oleh Kejaksaan Tinggi
Sumatera Barat. Dua kasus korupsi menyangkut gubernur ini, masih ditambah hujan
kasus korupsi yang menyangkut puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di
berbagai wilayah di Indonesia, dengan modus mirip: menyelewengkan APBD”.
Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah :
1. Korupsi Pengadaan Barang dengan modus :
a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa
dari harga pasar.
b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara
(tanah) dengan modus :
a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan
pribadi.
b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji,
keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut
biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi
(sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo) dengan modus :
a. Pemotongan dana bantuan sosial.
b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap
meja).
5. Bantuan fiktif
Dengan modus membuat surat permohonan fiktif
seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.
6. Penyelewengan dana proyek dengan modus :
a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar
ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang
lain.
7. Proyek fiktif fisik
Dengan Modus dana dialokasikan dalam laporan resmi,
tetapi secara fisik proyek itu nihil.
8. Manipulasi hasil penerimaan penjualan,
penerimaan pajak, retribusi dan iuran dengan modus :
a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak
dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan.
Segi Sosial Budaya
Dengan
diadakannya desentralisasi, akan memperkuat ikatan sosial budaya pada suatu
daerah. Karena dengan diterapkannya sistem desentralisasi ini pemerintahan
daerah akan dengan mudah untuk mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh
daerah tersebut. Bahkan kebudayaan tersebut dapat dikembangkan dan di
perkenalkan kepada daerah lain. Yang nantinya merupakan salah satu potensi
daerah tersebut.
Sedangkan dampak negatif dari desentralisasi pada
segi sosial budaya adalah masing- masing daerah berlomba-lomba untuk
menonjolkan kebudayaannya masing-masing. Sehingga, secara tidak langsung ikut
melunturkan kesatuan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia itu sendiri.
Segi Keamanan dan Politik
Dengan diadakannya desentralisasi merupakan suatu
upaya untuk mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan
diterapkannya kebijaksanaan ini akan bisa meredam daerah-daerah yang ingin
memisahkan diri dengan NKRI, (daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan
sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI). Tetapi disatu sisi desentralisasi
berpotensi menyulut konflik antar daerah. Sebagaimana pada artiket Asian Report
18 juli 2003 ”Mengatur Desentralisasi Dan Konflik Disulawesi Selatan”
”……………..Indonesia memindahkan kekuasaannya yang
luas ke kabupaten-kabupaten dan kota-kota – tingkat kedua pemerintahan daerah
sesudah provinsi – diikuti dengan pemindahan fiskal cukup banyak dari pusat.
Peraturan yang mendasari desentralisasi juga memperbolehkan penciptaan kawasan
baru dengan cara pemekaran atau penggabungan unit-unit administratif yang
eksis. Prakteknya, proses yang dikenal sebagai pemekaran tersebut berarti tidak
bergabung tetapi merupakan pemecahan secara administratif dan penciptaan
beberapa provinsi baru serta hampir 100 kabupaten baru.
Dengan beberapa dari kabupaten itu
menggambarkan garis etnis dan meningkatnya ekonomi yang cepat bagi politik
daerah, ada ketakutan akan terjadi konflik baru dalam soal tanah, sumber daya
atau perbatasan dan adanya politisi lokal yang memanipulasi ketegangan untuk
kepentingan personal. Namun begitu, proses desentralisasi juga telah
meningkatkan prospek pencegahan dan manajemen konflik yang lebih baik melalui
munculnya pemerintahan lokal yang lebih dipercaya……..”
Dibidang politik, dampak positif yang didapat
melalui desentralisasi adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang
berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari
pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah lebih aktif dalam
mengelola daerahnya.
Tetapi, dampak negatif yang terlihat dari sistem
ini adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat
kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan
pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh
pemerintah di tingkat pusat
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada
pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-Undang.
Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada
sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur
organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah.
Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan
pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat
sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama. Indonesia sebagai
negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga
mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara
berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba
seragam, serba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa
melihat tingkat relevansinya bagi kehidupan anak dan lingkungannya.
Konsekuensinya, posisi dan peran siswa cenderung dijadikan sebagai objek agar
yang memiliki peluang untuk mengembangkan kreatifitas dan minatnya sesuai
dengan talenta yang dimilikinya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah
melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan seperti :
Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
Keseragaman pola pembudayaan masyarakat
Melemahnya kebudayaan daerah
Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan
sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia
yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri,
bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memiliki
keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat
sulit untuk di wujudkan.
2.7 Konsep
Desentralisasi
Desentralisasi di Indonesia sudah ada cukup lama,
dimulai sejak tahun 1973, yaitu sejak diterbitkannya UU no. 5 tahun 1973
tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonomi dan pokok-pokok penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi tugas pusat dan daerah. Dan terdapat pula pada PP No.
45 tahun 1992 dan dikuatkan lagi melalui PP No. 8 tahun 1995. Menurut UU No.22
Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, desentralisasi dikonsepsikan sebagai
penyerahan wewenang yang disertai tanggung jawab pemerintah oleh pemerintah
pusat kepada daerah otonom.
Beberapa alasan yang mendasari perlunya
desentralisasi :
Mendorong terjadinya
partisipasi dari bawah secara lebih luas
Mengakomodasi terwujudnya
prinsip demokrasi
Mengurangi biaya akibat alur
birokrasi yang panjang sehingga dapat meningkatkan efisiensi
Memberi peluang untuk
memanfaatkan potensi daerah secara optimal
Mengakomodasi kepentingan
politik
Mendorong peningkatan kualitas
produk yang lebih kompetitif.
Desentralisasi Community Based Education
mengisyaratkan terjadinya perubahan kewenangan dalam pemerintah antara lain :
Perubahan berkaitan dengan
urusan yang tidak diatur oleh pemerintah pusat, secara otomatis menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah, termasuk dalam pengelolaan pendidikan
Perubahan berkenaan dengan
desentralisasi pengelolaan pendidikan. Dalam hal ini pelempahan wewenang dalam pengelolaan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan
kabupaten/kota sebagai sentra desentralisasi.
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam
membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah ( daerah ).
Pada sistem pendidikan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pendidikan
sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan
wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya
diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat.
Dari beberapa pengalaman di negara lain, kegagalan
desentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal :
1. Masa transisi dari sistem
sentralisasi ke desentralisasi memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual
dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
2. Kurang jelasnya pembatasan
rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
3. Kemampuan keuangan daerah yang
terbatas.
4. Sumber daya manusia yang belum
memadai.
5. Kapasitas manajemen daerah
yang belum memadai.
6. Restrukturisasi kelembagaan
daerah yang belum matang.
7. Pemerintah pusat secara
psikologis kurang siap untuk kehilangan otoritasnya.
Selain dampak negatif tentu saja desentralisasi
pendidikan juga telah membuktikan keberhasilannya antara lain,
1. Mampu memenuhi tujuan politis,
yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
2. Mampu membangun partisipasi
masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan
benar-benar dari oleh dan untuk masyarakat.3. Mampu menyelenggarakan pendidikan dengan memfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas belajar siswa.
2.8 Manajemen
Berbasis Sekolah
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan
terjemahan dari school-based
management. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika
Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan
tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru
dalam dunia pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah
(pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi
diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap dengan
kebutuhan setempat.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan
inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta
memberikan beberapa keuntungan sebagai berikut.
1) Kebijakan dan kewenangan
sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua dan guru.
2) Bertujuan bagaimana memanfaatkan
sumber daya lokal
3) Efektif dalam melakukan
pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan,
tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
4) Adanya perhatian bersama untuk
mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang
sekolah, dan perubahan perencanaan.
a. Tujuan
MBS
MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan
pelibatan masyarakat merupakan respon pemerintah terhadap gejala-gejala yang
muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan
pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain diperoleh melalui
keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan
birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh antara lain melalui
partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan
kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem
insentif dan disinsentif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui
peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih
berkonsentrasi pada kelompok tertentu.
b. Manfaat
MBS
MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar
pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang
memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategis
MBS sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih meningkatkan
kesejahteraan guru sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada tugas. Selain itu,
MBS mendorong profesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin
pendidikan di sekolah.
c. Prinsip
MBS
Menurut Usman (2009:624), prinsip-prinsip yang
perlu diperhatikan dalam melaksanakan MBS antara lain:
1. Komitmen, kepala sekolah dan
warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua
warga sekolah untuk ber-MBS
2. Kesiapan, semua warga sekolah
harus siap fisik dan mental untuk ber-MBS.3. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak.
4. Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
5. Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang mengerti tentang pendidikan
6. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum
7. Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana.
8. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stake holder sekolah.
Menurut Usman (2009:629), indikator bahwa MBS sudah berhasil di sekolah ditunjukkan oleh beberapa hal:
- Adanya kemandirian sekolah yang kuat.
- Adanya kemitraan sekolah yang efektif.
- Adanya partisipasi yang kuat dari masyarakat.
- Adanya keterbukaan yang bertanggung jawab dan meluas dari pihak sekolah dan masyarakat .Adanya akuntabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan oleh sekolah.
A. Umum
1. Dalam Bab III Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pada prinsipnya menegaskan bahwa esensi otonomi sebagai kewenangan untuk mengatur dalam arti membuat regulasi di daerah dan mengurus dalam arti mengelola urusan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah, sehingga perlu dibina dan diawasi oleh Pemerintah.
2. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan kepada Pemerintah Daerah
untuk melaksanakan azas-azas pemerintahan dengan prinsip demokrasi, keadilan,
pemerataan, keistimewaan, kekhususan, memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.Prinsip-prinsip tersebut telah membuka peluang dan
kesempatan yang sangat luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan
kewenangannya secara mandiri, luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta daya saing daerah. Pelaksanaan
Otonomi tersebut memerlukan pengawasan agar selalu berada dalam koridor
pencapaian tujuan otonomi daerah.
3. Pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilaksanakan dengan tetap memperhatikan asas sentralisasi
dan desentralisasi secara bersama-sama, dengan penekanan yang bergeser secara
dinamis dari waktu ke waktu dengan penjaminan eksistensi sistem pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.
4. Dalam rangka mengoptimalkan
fungsi pengawasan, Pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggaraan
pemerintahan daerah apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran.
B. Pokok-Pokok Kebijakan
1. Penajaman prioritas dan
penambahan obyek serta sasaran pemeriksaan sesuai dengan penguatan pengawasan
bidang Pemerintahan Dalam Negeri, terutama arah kebijakan politik (political
will) Pemerintah Pusat yaitu menitikberatkan pemberantasan korupsi, kolusi
dan nepotisme.
2. Pemantapan reformasi birokrasi
dan hukum, serta pemantapan demokrasi dan keamanan nasional adalah salah satu
prioritas pembangunan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Kementerian Dalam
Negeri Tahun 2011.
3. Menjamin agar pemerintahan
daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4. Pengawasan dilakukan terhadap
Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan pelaksanaan urusan pemerintahan
di daerah, yang meliputi :
a. Pelaksanaan urusan
pemerintahan di daerah Provinsi terdiri atas pelaksanaan urusan pemerintahan
daerah yang bersifat wajib dan pilihan serta urusan pemerintahan menurut azas
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
b. Pelaksanaan urusan
pemerintahan di daerah Kabupaten/Kota terdiri atas pelaksanaan urusan
Pemerintahan di daerah yang bersifat wajib dan pilihan serta urusan
pemerintahan menurut Tugas Pembantuan.
c. Pelaksanaan urusan
pemerintahan di desa yang terdiri atas pelaksanaanadministrasi pemerintahan
desa dan urusan pemerintahan desa.
5. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan olehAparat Pengawas Intern Pemerintah yang meliputi Inspektorat Jenderal
Kementerian, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Inspektorat
Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota sesuai fungsi dan kewenangannya.
6. Tugas Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah Pusat dalam melaksanakan koordinasi pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta
Kedudukan Keuangan Gubernur Selaku Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi adalah
:
melakukan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari Kementerian dan Lembaga
Pemerintah Non Kementerian yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah Provinsi;
melakukan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari Pemerintah kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya; dan
melakukan pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari Pemerintah Daerah Provinsi
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya.
7. Mengedepankan komunikasi yang
intensif dalam pelaksanaan proses pengawasan antar Aparat Pengawas Intern
Pemerintah dan obyek pemeriksaan.
8. Pengawasan terhadap sistem
pengendalian internal, diarahkan untuk mendapatkan keyakinan yang wajar
terhadap efektivitas dan efisiensi organisasi, keandalan pelaporan keuangan,
dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
9. Untuk mewujudkan integrasi
kebijakan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka :
Pembinaan Aparat Pengawas
Intern Pemerintah dilakukan secara terus menerus (series of actions and on
going basis).
Diperlukan perubahan pola
pikir (mind set) Aparat Pengawas Intern Pemerintah sebagai pemberi
peringatan dini (early warning) terhadap temuan pelanggaran atau
penyimpangan yang berindikasi korupsi, kolusi dan nepotisme.
10. Pemeriksaan terhadap Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaaan dilakukan oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagaimana tercantum dalam Loan Agreementantara
Pemerintah Republik Indonesia dengan Bank Dunia, untuk tahun 2011 dilakukan
langkah-langkah :
BPKP akan melibatkan
Inspektorat Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pemeriksaan program PNPM Mandiri
Perdesaan, dengan anggaran yang bersumber dari APBN Kementerian Dalam Negeri.
Inspektorat Provinsi dan
Kabupaten/kota berkewajiban membina Satuan Kerja pengelola PNPM Mandiri
Perdesaan untuk :
1) menyusun Laporan Keuangan
sesuai Sistem Akuntansi Instansi (SAI);
2) menyampaikan Laporan Keuangan
dan Aset kepada Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Kementerian Dalam Negeri selaku instansi pembina; dan
3) menerbitkan pencatatan dan
pemeliharaan aset hasil PNPM, antara lain melalui permintaan hibah aset kepada
instansi pembina.
11. Dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, maka
pengawasan dilakukan secara efektif, efisien, preventif dan berkelanjutan
antar Aparat Pengawas Intern Pemerintah dan tidak terbatas pada satu tahun
anggaran.
12. Inspektorat Khusus Kementerian
melaksanakan pemeriksaan, pengusutan dan pengujian terhadap kasus dan pengaduan
yang bersifat khusus dan strategis atas penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
kementerian dan/atau penyelenggaraan pemerintahan daerah.
13. Pemeriksaan Khusus dalam
rangka berakhirnya Masa Jabatan Kepala Daerah dan Penjabat Kepala Daerah
dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri pada Pemerintah
Provinsi dan oleh Inspektorat Provinsi pada Pemerintah Kabupaten/Kota.
14. Aparat Pengawas Fungsional
Pemerintah, sesuai dengan sumber anggarannya, dapat melakukan pengawasan
terhadap :
Pengelolaan Dana Otonomi
Khusus, yaitu untuk mengetahui sejauhmana pengelolaan dan pemanfaatan dana
tersebut, pencapaian tujuan program/sasaran serta mengindentifikasikan indikasi
yang mengarah pada praktek korupsi, kolusi dan nepotisme; dan
Optimalisasi Penerimaan Negara
baik Penerimaan Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
15. Pemeriksaan serentak (pemtak)
dilakukan dalam rangka tujuan tertentu atas perintah dan/atau permintaan
pejabat berwenang, antara lain pemeriksaan terhadap laporan pertanggungjawaban
penggunaan dana Pemilukada dan Evaluasi Laporan Kinerja Instansi Pemerintah
serta Reviu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah.
16. Pelaksanaan pemeriksaan
keuangan (financial audit) pada pemerintahan daerah dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan dan Aparat Pengawas Fungsional Pemerintah Daerah.
17. Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP) Aparat Pengawas Fungsional merupakan dokumen rahasia negara, tidak dapat
dipublikasikan/diinformasikan kepada pihak manapun, sebelum mendapatkan
persetujuan dari pihak yang berwenang.
18. Inspektur Provinsi dan
Kabupaten/Kota dapat bertindak untuk dan atas nama Kepala Daerah di dalam
melakukan pemanggilan pemeriksaan terhadap aparat Satuan Kerja Perangkat Daerah
dalam pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya indikasi terjadinya
penyimpangan korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan pemerintahan daerah.
19. Dalam rangka menciptakan
akuntabilitas keuangan dan mendukung program pemberantasan korupsi, Pemerintah
Daerah diharuskan mengalokasikan anggaran yang memadai dan meningkat setiap
tahunnya guna mendukung peran dan fungsi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Hal tersebut dilaksanakan dengan prasyarat kredit
anggarannya tidak lebih kecil dari tahun anggaran berjalan, alokasi anggaran
tersebut diantaranya dapat dimanfaatkan untuk :
a. Tunjangan Kelangkaan Profesi;
b. Satuan Biaya Khusus bagi
pengawasan;
c. Peningkatan Sumber Daya
Manusia bidang Pengawasan;
d. Penanganan pengaduan; dan
e. Pemeriksaan dengan tujuan
tertentu atau atas permintaan.
20. Bagi Inspektorat Jenderal
Kementerian dan Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Kementerian dalam
melakukan pengawasan, memperhatikan aspek-aspek :
Pemeriksaan dana Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan yang bersumber dari APBN baik berupa rupiah murni maupun
bersumber dari PHLN, yang dilakukan oleh aparat pengawas sesuai dengan Loan
Agreement, atau adanya kesepakatan lebih lanjut.
Koordinasi dan Sinkronisasi,
dalam rangka sinkronisasi jadwal pemeriksaan/PKPT pada Pemerintah Daerah,
sebelum melakukan pemeriksaan kegiatan Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan,
Pinjaman dan Hibah Luar Negeri serta pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah, terlebih dahulu berkoordinasi dengan Inspektorat Provinsi
dan Kabupaten/Kota agar tidak terjadi tumpang tindih pengawasan.
Program Kerja Pengawasan
Tahunan untuk program/kegiatan Dekonsentrasi dan/atau Tugas Pembantuan dibahas
dalam Rapat Koordinasi Pengawasan di Daerah
(Rakorwasda) untuk disepakati jadwal waktu, personil pengawas, sumber biaya dan
lingkup pengawasan.
Pelaporan hasil pemeriksaan
selain ditujukan kepada obyek pemeriksaan yang bersangkutan juga disampaikan
tembusan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota serta Inspektorat Provinsi dan
Kabupaten/Kota terkait, untuk kepentingan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan
kegiatan Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Pinjaman dan Hibah Luar Negeri dan
pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta tindak
lanjut hasil pemeriksaan.
C. Ruang Lingkup Pengawasan
Ruang lingkup pengawasan, terdiri atas :
1. Pengawasan administrasi umum
pemerintahan meliputi :
a. Kebijakan daerah
b. Kelembagaan
c. Pegawai daerah
d. Keuangan daerah (kebijakan
anggaran); dan
e. Barang daerah.
2. Pengawasan urusan pemerintahan
meliputi :
a. Urusan Wajib; dan
b. Urusan Pilihan.
3. Pengawasan lainnya, meliputi :
a. Dana Dekonsentrasi
b. Tugas Pembantuan
c. Reviu atas Laporan Keuangan;
dan
d. Kebijakan Pinjaman Hibah Luar
Negeri.
D. Obyek Pengawasan
1. Sasaran Pemeriksaan Rencana
Pengawasan Tahunan (RPT) yang dituangkan dalam Program Kerja Pengawasan Tahunan
(PKPT) Tahun 2011, dengan obyek pemeriksaan sebagai berikut :
a. Obyek Pemeriksaan Inspektorat
Jenderal Kementerian Dalam Negeri terdiri atas :
1) Seluruh komponen di lingkungan
Kementerian Dalam Negeri.
2) Di lingkungan Provinsi,
meliputi :
a. Bidang Pemerintahan, terdiri
dari SKPD Provinsi yang menangani/membidangi :
Pemerintahan, Organisasi,
Kesekretariatan DPRD
Politik, Kesatuan Bangsa dan
Perlindungan Masyarakat
Kepegawaian, Pendidikan dan
Pelatihan
Hukum
Keuangan, Kas Daerah dan
Pendapatan Daerah
Batas daerah provinsi; dan
Kantor Satuan Polisi Pamong
Praja.
b. Bidang Pembangunan, terdiri
dari SKPD Provinsi yang menangani/membidangi :
Administrasi Pembangunan
Perencanaan
Pembangunan/Rencana Tata Ruang Wilayah
Aset, Perlengkapan dan Barang
Daerah; dan
Kantor Pemadam Kebakaran.
c. Bidang Kemasyarakatan, terdiri
dari SKPD Provinsi yang menangani/membidangi :
Pemberdayaan Masyarakat Desa;
dan
Kependudukan dan Catatan
Sipil.
.
d. Obyek Pemeriksaan Inspektorat
Provinsi meliputi :
Semua SKPD di lingkungan
Pemerintah Provinsi
Perusahaan Daerah, apabila Kepemilikan/Pengelolaan
masih dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi
SKPD di lingkungan Pemerintah
Kabupaten/Kota terkait dengan kedudukan Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat
di Daerah, yaitu :
e. Bidang Pemerintahan, meliputi
SKPD Kabupaten/Kota yang menangani/membidangi :
Pemerintahan, Organisasi dan
Kesekretariatan DPRD
Kesatuan Bangsa, Politik dan
Perlindungan Masyarakat;
Kepegawaian, Pendidikan dan
Pelatihan
Hukum
Keuangan, Kas Daerah dan
Pendapatan Daerah
Batas daerah kabupaten/kota;
dan
Kantor Satuan Polisi Pamong
Praja. (atau nomenklatur yang sejenis)
f. Bidang Pembangunan, meliputi
SKPD Kabupaten/Kota yang menangani/membidangi :
Administrasi Pembangunan
Aset, Perlengkapan dan Barang
Daerah
Perencanaan
Pembangunan/Rencana Tata Ruang Wilayah; dan
Kantor Pemadam Kebakaran.
(atau nomenklatur yang sejenis)
g. Bidang Kemasyarakatan,
meliputi SKPD Kabupaten/Kota yang menangani/membidangi :
Pemberdayaan Masyarakat Desa;
Kependudukan dan Catatan
Sipil; dan
Pemberdayaan Perempuan.
2.10 Tujuan
Desentralisasi
a. Tujuan dari desentralisasi adalah :
Mencegah pemusatan keuangan
Sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah
untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pemerintahan
Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial
ekonomi pada tingkat local sehingga lebih realistis
b. Desentralisasi dapat dilakukan melalui empat bentuk
kegiatan utama, yaitu:
Dekonsentrasi
wewenang administratif.
Dekonsentrasi berupa
pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada
di daerah tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil
keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan.
Delegasi
kepada penguasa otorita
Delegasi adalah pelimpahan
pengambilan keputusan dan kewewenangan manajerial untuk melakukan tugas –tugas
khusus kepada suatu organisasi yang secara langsung berada di bawah pengawasan
pusat.
Devolusi
kepada pemerintah daerah
Devolusi adalah kondisi
dimana pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah
pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu
untuk dilaksanakan secara mandiri.
Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang lebih
ekstensif untuk merujuk pada situasi di mana pemerintah pusat mentransfer
kewenangan kepada pemerintah daerah dalam hal pengambilan keputusan , keuangan
dan manajemen.
Pemindahan
fungsi dari pemerintah kepada swasta
Yang di sebut sebagai
pemindahan fungsi dari pemerintahan kepada swasta atau privatisasi adalah
menyerahkan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab admistrasi
tertentu kepada organisasi swasta.
2.11 Perbandingan Desentralisasi
Dan Sentralisasi
a. Kelebihan :
Sentralisasi
1. Keseragaman peraturan
2. Kesederhanaan hukum
Desentralisasi
1. Daerah berkembang sesuai ciri khas daerah
2. Perda di daerah sesuai dengan kebutuhan / sikon
4. Partisipasi / tanggung jawab masyarakat daerah
meningkat
5. Hemat biaya karena sebagian ditanggung daerah
b. Kerugian :
Sentralisasi
1. Tugas pemerintah pusat menumpuk, Kebijakan pusat sering
tidak sesuai keadaan daerah
2. Daerah
bersifat pasif dan menunggu perintah pusat
3. Aspirasi masyarakat daerah tertutup
4. Keputusan pemerintah pusat sering terlambat
Desentralisasi
1. Ketidakseragaman peraturan /
kebijakan dan pembangunan.
2.12 Pentingnya
Sentralisasi dan Desentralisasi
Dalam praktek
kehidupan bernegara, sentralisasi dan desentralisasi adalah sebuah kontinuum.
Tidak ada sebuah negara yang secara penuh hanya menggunakan azas sentralisasi
saja dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sebaliknya juga tidak mungkin
penyelenggaraan pemerintahan hanya didasarkan pada azas desentralisasi saja.
Beberapa kewenangan klasik memang lazimnya hanya dilakukan secara sentralisasi
seperti kewenangan luar negeri, kewenangan pertahanan dan kewenangan peradilan.
Meskipun dalam prakteknya juga terdapat azas dekonsentrasi yang merupakan
penghalusan dari azas sentralisasi.
Titik temu keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dapat dikaji dalam berbagai aspek, misalnya saja
dalam aspek pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap daerah, aspek
keterlibatan daerah di tingkat pusat, dan aspek pembagian (perimbangan)
sumberdaya keuangan. Sesuai dengan semangat reformasi yang terjadi pada tahun
1998, format penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia juga mengalami
perubahan dari pendulum sentralisasi ke pendulum desentralisasi. Hal ini dapat
dianalisis misalnya dari format pembagian kewenangan yang berpola residu dan
peletakkan lokus otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota. Hal ini dianut
secara tajam di dalam UU 22 tahun 1999, dan mengalami pergeseran kembali di
dalam UU 32 tahun 2004.
Berbagai kewenangan yang semula dimiliki oleh
pemerintah pusat dan propinsi diserahkan kepada daerah kabupaten/kota.
Sesuai dengan tujuannnya, maka penguatan otonomi daerah di tingkat
kabupaten/kota dimaksudkan untuk meningkatkan demokrasi partisipatif
(participatory democracy) dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan kewenangan yang dimiliki, kabupaten/kota dapat menentukan sendiri
prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berbagai
Peraturan Daerah yang semula harus disetujui oleh pemerintah pusat terlebih
dahulu, dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah secara mandiri. Hal yang sama juga
terjadi di berbagai perizinan investasi, hal mana daerah dapat menetapkan dan
memberikan izin tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Dengan otonomi daerah
diharapkan prosedur investasi akan semakin mudah sehingga potensi daerah dapat
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Pengertian Sentralisasi dan
Desentralisasi
Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang
atas segala urusan yang menyangkut pemerintahan kepada tingkat pusat.. Sentralisasi
banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi
daerah. Bahkan pada zaman kerajaan, pemerintahan kolonial, maupun di zaman
kemerdekaan.Istilah sentralisasi sendiri sering digunakan dalam kaitannya
dengan kontrol terhadap kekuasaan dan lokasi yang berpusat pada satu titik.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam
keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan
kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan
karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma
pemerintahan di Indonesia.
b. Dampak Positif Sentralisasi
dan Desentralisasi
Segi Ekonomi
Dari segi ekonomi, efek positif yang di berikan
oleh sistem sentralisasiini adalah perekonomian lebih terarah dan
teratur karena pada sistem ini hanya pusat saja yang mengatur perekonomian.
Sedangkan dampak negatifnya adalah daerah seolah-olah hanya di jadikan sapi
perahan saja dan tidak dibiarkan mengatur kebijakan perekonomiannya masing-
masing sehingga terjadi pemusatan keuangan pada Pemerintah Pusat
Dari segi ekonomi banyak sekali keuntungan dari
penerapan sistemdesentralisasi ini dimana pemerintahan daerah akan
mudah untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya, dengan demikian
apabila sumber daya alam yang dimiliki telah dikelola secara maksimal maka
pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat akan meningkat
Segi Sosial Budaya
Dengan di laksanakannya sistem sentralisasi ini,
perbedaan-perbadaan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia dapat di
persatukan.Sehingga, setiap daerah tidak saling menonjolkan kebudayaan
masing-masing dan lebih menguatkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang di miliki
bangsa Indonesia.
Dengan diadakannya desentralisasi, akan
memperkuat ikatan sosial budaya pada suatu daerah. Karena dengan diterapkannya
sistem desentralisasi ini pemerintahan daerah akan dengan mudah untuk
mengembangkan kebudayaan yang dimiliki oleh daerah tersebut. Bahkan kebudayaan
tersebut dapat dikembangkan dan di perkenalkan kepada daerah lain. Yang
nantinya merupakan salah satu potensi daerah tersebut
Segi Keamanan dan Politik
Dampak positif yang dirasakan dalam penerapan sentralisasi ini
adalah keamanan lebih terjamin karena pada masa di terapkannya sistem ini,
jarang terjadi konflik antar daerah yang dapat mengganggu stabilitas keamanan
nasional Indonesia. Tetapi, sentralisasi juga membawa dampak negatif dibidang
ini. Seperti menonjolnya organisasi-organisasi kemiliteran. Sehingga,
organisasi-organisasi militer tersebut mempunyai hak yang lebih daripada
organisasi lain. Dampak positif yang dirasakan di bidang politik sebagai hasil
penerapan sistem sentralisasi adalah pemerintah daerah tidak harus
pusing-pusing pada permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan
keputusan, karena seluluh keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh
pemerintah pusat. Sehingga keputusan yang dihasilkan dapat terlaksana secara
maksimal karena pemerintah daerah hanya menerima saja.
Dengan diadakannya desentralisasi merupakan
suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan
diterapkannya kebijaksanaan ini akan bisa meredam daerah-daerah yang ingin
memisahkan diri dengan NKRI, (daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan
sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI). Tetapi disatu sisi desentralisasi
berpotensi menyulut konflik antar daerah
c. Pentingnya Sentralisasi dan
Desentralisasi
Dalam
praktek kehidupan bernegara, sentralisasi dan desentralisasi adalah sebuah
kontinuum. Tidak ada sebuah negara yang secara penuh hanya menggunakan azas
sentralisasi saja dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sebaliknya juga tidak
mungkin penyelenggaraan pemerintahan hanya didasarkan pada azas desentralisasi
saja. Beberapa kewenangan klasik memang lazimnya hanya dilakukan secara
sentralisasi seperti kewenangan luar negeri, kewenangan pertahanan dan
kewenangan peradilan. Meskipun dalam prakteknya juga terdapat azas
dekonsentrasi yang merupakan penghalusan dari azas sentralisasi.
Titik temu keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dapat dikaji dalam berbagai aspek, misalnya saja
dalam aspek pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap daerah, aspek
keterlibatan daerah di tingkat pusat, dan aspek pembagian (perimbangan)
sumberdaya keuangan. Sesuai dengan semangat reformasi yang terjadi pada tahun
1998, format penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia juga mengalami
perubahan dari pendulum sentralisasi ke pendulum desentralisasi. Hal ini dapat
dianalisis misalnya dari format pembagian kewenangan yang berpola residu dan
peletakkan lokus otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota.
3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini penulis memiliki
banyak kekurangan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar
menjadi lebih baik. Akhirnya penulis serahakan semua ini kepada Allah semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
- Dimock, E. Marshall. Administrasi Negara. Erlangga : Jakarta
- Http://www.kompas.com
- Kansil, C.S.T . Sistem Pemerintahan Indonesia. PT Bumi Aksara : Jakarta. 2005
- Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil.. Pemerintahan Daerah Indonesia. Sinar Grafika : Jakarta. 2002
- MaCandrews, Colin dan Ichlasul Amal.. Hubungan Pusat Daerah dalam pembangunan. PT Rajagrafindo Persada : Jakarta 1993
- Mulyasa, E. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2002
- Ndraha, Talizidu. Metodologi Pemerintahan Indonesia. Bina Aksara : Jakarta 1988
- Rodee, Clyner Carlton. Pengantar Ilmu Politik. PT Rajagrafindo Persada : Jakarta 2000
- Tjokroamidjojo, Bintoro. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES : Jakarta 1990
- Usman, Husaini. Manajemen: Teori Praktik, dan Riset Pendidikan Edisi 3. Jakarta: Bumi Aksara. 2009
0 komentar:
Post a Comment