John Borden Rawls dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 21
Februari 1921 dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Di usia
remajanya, Rawls sempat bersekolah di Baltimore untuk beberapa saat dan
kemudian pindah pada sekolah keagamaan di Connecticut. Walaupun keluarganya
hidup dalam keadaan yang mumpuni, John Rawls mengalami dua peristiwa yang cukup
menyedihkan di masa mudanya. Dalam dua tahun berturut-turut, dua adik
laki-lakinya meninggal akibat penyakit yang ditularkan darinya, yaitu
diphtheria dan pneumonia. Rawls amat merasa bersalah atas terjadinya peristiwa
tersebut. Namun demikian, kakak laki-lakinya yang dikenal sebagai seorang atlet
ternama di Princeton University selalu memberikan semangat dan dorongan moral
kepada Rawls.[1]
Akhirnya, setelah berhasil menyelesaikan sekolahnya,
John Rawls menyusul jejak kakaknya untuk berkuliah di Princeton University pada
1939. Karena ketertarikan dan pemahamannya yang amat mendalam pada ilmu
filsafat, dirinya kemudian terpilih untuk bergabung dalam The Ivy Club yaitu sebuah kelompok elit akademis
terbatas, dimana Woodrow Wilson, John Marshal II, Saud bin Faisal bin Abdul
Aziz, serta Bill Ford pernah menjadi bagian dari keanggotannya.
Pada 1943, setelah berhasil lulus dengan gelar Bachelor of Arts (B.A.), John Rawls langsung
bergabung menjadi tentara. Liku perjalanan kehidupannya dimulai pada saat
terjadinya Perang Dunia II ketika dirinya diangkat sebagai prajurit infantri
dengan tugas penempatan di kawasan negara-negara Pasifik, seperti Papua Nugini,
Filipina, dan Jepang. Akibat pengalaman pahitnya sebagai saksi hidup atas
terjadinya tragedi penjatuhan bom atom di kota Hiroshima, Rawls mengundurkan
diri dari karir kemiliterannya pada 1946. Tidak lama setelah itu, dirinya
kembali ke Princeton University dan menulis disertasi doktoralnya di bidang
filsafat moral. Pada masa-masa inilah Rawls pertama kali dipengaruhi oleh rekan
dan pembimbingnya dari Wittgensteinean, Norman Malcolm, yang mengajarkan
dirinya untuk menghindari jeratan kontroversi metafisis. Tiga tahun kemudian,
Rawls menikah dengan Margaret Warfield Fox Rawls, seorang wanita yang kemudian
membantunya melakukan penulisan indeks terhadap buku “Nietzsche”.
Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya
yang berjudul “A Study in the Grounds of Ethical Knowledge:
Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth of Character”,
John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy(Ph.D.)
dari Princeton University pada 1950. John Rawls kemudian dipercaya untuk mengajar
pada almamaternya hingga 1952, sebelum akhirnya melanjutkan studi di Oxford
University, Inggris, melalui program Fulbright Fellowship. Di Universitas
inilah dirinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tentang teori
kebebasan di bidang hukum dan filsafat politik, seperti yang dikemukakan oleh
Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart dan Isaiah Berlin. Apabila John Rawls
mencoba untuk mengkaji konsepsi mengenai praktik-praktik sosial (social practices) yang dikenalkan oleh Hart guna
mengeksplorasi kelemahan utilitarianisme, maka konsepsi mengenai persandingan
antara kebebasan negatif (negative liberty)
dan kebebasan positif (positive liberty) diperolehnya dari
pemikiran Berlin.
Sekembalinya ke Amerika Serikat, John Rawls
melanjutkan karir akademiknya di Cornell University dan secara bertahap dirinya
diangkat sebagai Guru Besar Penuh pada 1962. Tidak lama kemudian, Rawls juga
memperoleh kesempatan untuk mengajar dan menjadi Guru Besar di Massachusetts
Institute of Technology (MIT). Dua tahun setelahnya, John Rawls memilih pindah
untuk mengajar secara penuh di Harvard University, tempat dimana dirinya
mengabdi hingga akhir hayat.
Selama masa hidupnya, John Rawls sempat dipercaya
untuk memegang beberapa jabatan penting. Di antaranya, yaitu Presiden American
Association of Political and Legal Philisopher (1970-1972), Presiden the
Eastern Division of the American Philosophical Association (1974), dan
Professor Emeritus di James Bryant Conant University, Harvard (1979). Selain
itu, dirinya juga terlibat aktif dalam the American Philosophical Society, the
British Academy, dan the Norwergian Academy of Science.
Sejak 1995 Rawls terpaksa harus meninggalkan
pekerjaannya secara perlahan akibat penyakit stroke yang telah melemahkan daya
jelajah berpikirnya. Tepat pada 24 November 2002 di rumahnya (Lexington), John
Rawls menghembuskan nafas terakhirnya akibat gagal jantung. Pada saat itu,
dirinya meninggalkan seorang istri, Margaret Fox, dan empat orang anak, yaitu
Anne Warfield, Robert Lee, Alexander Emory, dan Elizabeth Fox, serta empat
orang cucu yang masih belia[2].
KONSEP BANTAHAN
RAWLS ATAS UTILITI DAN INSTUISI
Dalam menilai konsep keadilan yang telah berkembang,
Rawls menggunakan reflective equilibrium. Relative equilibrium adalah
metoda ataupun pendekatan untuk melakukan pertimbangan dan penilain yang
mendalam atas berbagai konsep keadilan yang berbeda-beda.[3]
Konsep ini digunakan untuk menilai secara filosofis dan rasional atas suatu
konsep, dalam hal ini penilai dapat melakukan penilaian kembali serta
menyelaraskan keputusannya terhadap konsep yang telah ada. Dalam mengembangkan
teori Rule Of Justice Rawls melakukan penilaian atas dua teori, yaitu
teori utilitarianisme dan teori instuionisme.
a. Kritis terhadap Utilitarianisme.
Dalam studi utilitarianisme ada banyak aliran yang
telah berkembang, namun dalam hal ini Rawls memililih konsep yang dikembangkan
oleh Henry Sidgwick yang dianggap sebagai teori utilitarianisme klasik.
Utilitarianisme dalam rumusan yang paling sederhana mengklaim bahwa tindakan
atau atau kebijaksanaan yang secara moral adalah yang menghasilkan kebahagiaan
terbesar bagi warga masyarakat.[4] Utilitarianisme
sebagai sebuah moralitas politik berlaku apa yang dikatakan Rawls
‘struktur dasar’ (basic structure) masyarakat, bukan pada perilaku
individu-individu secara pribadi. Kaum utilitarian secara tradisional telah
mendefinisakan utiliti dalam pengertian kebahagiaan (happiness), maka
slogan umum yang digunakan adalah ‘the greatest happiness of the greatest
number’atau “kebahagiaan terbesar untuk jumlah yang terbesar”. Tentu slogan
yang demikian menyesatkan karena slogan yang menyerukan kehidupan
‘hedonis’.
Selain itu, tolak ukur tingkat kesejahteraan suatu
masyrakat adalah secara keseluruhan. Jika yang menjadi tolak ukur adalah
‘keseluruhan’ maka ada yang di korbankan, dalam hal ini adalah
individu-individu, lebih tragis yang menjadi korban adalah individu yang cacat.
Maka utilitarianisme telah mengorbankan indvidu sebagai tolak ukur yang di
gunakan dalam mengukur tingkat kesejahteraan. Maka utilitarianisme telah gagal
dalam menjamin keadilan itu sendiri.
Dalam pandangan Rawls tidak fair jika kita
mengorbankan kepentingan satu atau sekelompok orang hanya untuk kepentingan
ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
b. Kritik atas teori instuisionisme
Dalam pandangan
Rawls instuitif memang dapat mengatasi masalah keadilan. Namun instuisionime
tidak menerapkan suatu batasan- batasan dalam suatu masalah yang utama,
sehingga pada masalah yang akan diselesaikan cenderung lebih mementingkan diri
sendiri. Maka, konsep keadilan bersama yang di harapkan tidak lagi terwujud,
yang terjadi adalah kepentingan pribadi lebih di utamakan dari pada kepentingan
bersama.
Dalam hal ini Rawls mendeskripsikan instuisionisme
secara lebih padat kedalam dua ciri utama:
Pertama, teori
instuisionisme dibentuk oleh pluralitas prnsip-prinsip pertama yang mungkin
bertentangan, yang memberikan petunjuk-petunjuk yang tidak masuk akal dalam
kumpulan kasus-kasus khusus; kedua, teori-teori instuisionis tidak mengandung
metode yang eksplisit, tanpa prioritas aturan-aturan, uuntuk mempertimbangkan
prinsip-prinsip ini satu sama lain. Kita hanya menyetujui keseimbangan intuisi
dengan sesuatu yang bagi kita nampak seperti hampir benar. Atau jika terdapat
prioritas aturan-aturan ini dianggap lebih kurang sepele dan tidak banyak
membantu dalam mencapai sebuah keputusan[5].
Dengan demikian kelemahan instuisionisme sebagai teori
keadilan menjadi tergugat.