TEORI
FEMINISME (GENDER)
1.
Sejarah
Feminisme sebagai filsafat dan
gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary
Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan
Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang
beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya.[rujukan?] Ketika itu,
perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki
hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik
dan pekerjaan.[rujukan?] Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama
dengan laki-laki di hadapan hukum.[rujukan?] Pada 1785 fperkumpulan masyarakat
ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis
sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837.[rujukan?] Pergerakan yang
berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi
John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of
Women) pada tahun (1869).[rujukan?] Perjuangan mereka menandai kelahiran
feminisme Gelombang Pertama.[rujukan?]
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri
masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan
(feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum
laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik
khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat
tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di
depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah.[rujukan?]
Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa
dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika
Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi
terhadap kaum perempuan memperburuk situasi.[rujukan?] Di lingkungan agama
Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini
ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa
jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum
perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan
politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul
"Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman)
yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap
pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan
dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan
ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang
cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.[rujukan?]
Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut
sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi
awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik
kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara
parlemen.[rujukan?] Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis
seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap
di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di
Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh
of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh
nilai-nilai maskulin.Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak
semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga
seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih
keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique
yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak
luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama
National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat
ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman
berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum
perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama
dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana
kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang
Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada
1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki
struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental.
Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi
dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus,
sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini
terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a
Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor
kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul
kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation
Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s
Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum
laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih
seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara
terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City
yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan
komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini
kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia..
Pada 1975, "Gender, development, dan
equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di
Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka
wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan
jender atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam
institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat
modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai
dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains.
Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada
masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk
dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat
patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi
kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan
representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan
relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat
maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan
destruktif.
Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti
Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan
suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai
perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut
sebagai sains feminis (feminist science).
Namun, memahami posisi perempuan dalam makna
performatif mendapat kritikan dari perspektif postrukturalisme. Ketika memahami
peran perempuan sebagai konstruksi sosial, maka otomatis posisi perempuan
mejadi objek dan subjek dari power (Bartky 1988). Konsekuensinya peran
perempuan tergantung dari pihak yang menguasai power untuk memberi makna
terhadap perempuan (Bartky 1988). Pada posisi ini, perempuan tidak menjadi
subjek otonom (Butler 2005) namun berada dibawah kendali power diskursif
(Foucault 1979) dari penguasa. Konstelasi konseptual ini tidak sejalan dengan
pemikiran feminisme yang mengandaikan perempuan sebagai subjek otonom (Butler
1990) yang tidak berada dalam tekanan, marjinalisasi dan kuasa apapun dan
siapapun. Merespon hal ini, kemudian muncul gerakan feminisme radikal yang
menolak adanya represi terhadap identitas perempuan dalam bentuk apapun.
Feminisme radikal secara umum menolak penindasan terhadap identitas perempuan
melalui komodifikasi tubuh perempuan melalui pelarangan terhadap memamerkan
tubuh perempuan (Arkhipenko 2012). Pandangan ini kemudian termanifestasi dalam
beberapa gerakan perlawanan yang menggunakan tubuh sebagai media resistensinya.
2. Feminisme sebagai Filsafat Politik
Dalam konteks tertentu, masalah feminisme selalu hadir,
khususnya selama perempuan tetap tersubordinasi. Feminisme sendiri menentang
proses subordinasi tersebut. Terkadang perlawanannya bersifat kolektif dan
dengan penuh kesadaran. Namun, kerap pula perlawanannya bersifat
sendiri-sendiri dan dengan setengah kesadaran. Perempuan hanya dilihat perannya
secara sosial melalui kemalangan, kecanduan obat dan alkohol bahkan kasus
kegilaan. Bagaimanapun dalam kurun waktu dua sampai tiga ratus tahun terakhir
ini, hal itu telah menumbuhkan gerakan feminis yang nyata dan tersebar luas dan
mencoba melakukan perlawanan dengan cara yang terorganisir menentang penindasan
terhadap perempuan.
Pertama kali suara feminisme terdengar di daratan
Inggris pada abad ke-17. Dua ratus tahun kemudian, lebih banyak suara mulai
bicara secara berkelompok. Selanjutnya, terdengar pula di Perancis dan Amerika
Serikat. Feminisme yang terorganisir muncul saat transformasi ekonomi-politik
kapitalisme terjadi, yaitu ketika industri mulai berkembang di Inggris,
Perancis, dan Amerika Serikat yang mengadopsi sistem politik demokrasi
perwakilan. Perubahan ekonomi dan politik secara drastis ini merubah situasi
perempuan dan cara merasakan situasi tersebut. Kebanyakan perubahan ini
merupakan hasil transformasi signifikan ekonomi dan politik keluarga.
Awal periode modern, proses produksi diorganisir
melalui rumah tangga. Dan, kalangan keluarga bangsawan masih memiliki pengaruh
politik yang penting meskipun sistem feodal telah digantikan oleh negara yang
tersentralisir. Dalam keanggotaan keluarga, perempuan terjamin statusnya baik
dalam proses produksi maupun pemerintahan. Meskipun demikian, status itu lebih
rendah daripada laki-laki. Perempuan kalangan bangsawan sangat menikmati
kekuasaan politiknya melalui pengaruhnya terhadap keluarga mereka. Dan, perempuan
yang telah menikah yang bukan dari kalangan bangsawan memiliki kekuasaan dalam
bidang ekonomi di keluarganya karena proses produksi dikelola melalui rumah
tangga.
Era praindustri, sebagian besar perempuan terintegrasi
secara solid dalam sistem kerja produktif yang diperlakukan untuk kelangsungan
hidup keluarganya. Masa ini, perawatan anak dan segala sesuatu yang kita kenal
dengan pekejaan domestik hanya sebagian dari waktu kerja perempuan. Sebagai
tambahan tugas domestik ini, sebagian besar perempuan memberi kontribusi
penting untuk proses produksi pangan melalui beternak unggas dan lebah; membuat
susu, menanam sayuran; mereka bertanggung jawab atas proses dan pengawetan
pangan; memintal kapas dan wol lalu menjahit atau merajutnya menjadi pakaian; membuat
sabun dan lilin, mengakumulasikan pengetahuan obat-obatan dan memproduksi
ramuan tumbuh-tumbuhan yang manjur. Kontribusi penting perempuan bagi
kelangsungan hidup masyarakat sangat jelas sehingga tidak ada alasan untuk
mempertanyakan kembali tempat perempuan dalam masyarakat sebagai kenyataan
alamiah.
Dampak industrialisasi, bersamaan dengan tumbuhnya
negara demokrasi, meruntuhkan dan merombak total hubungan tradisional yang
telah terumuskan oleh masyarakat praindustri. Industrialisasi mentransformasi
keluarga dan mengacaukan posisi tradisional perempuan. Perempuan dari kelas
yang lebih tinggi kehilangan kekuatan politiknya dengan kemunduran posisi
keluarga aristokratis dan tumbuhnya negara demokrasi. Demikian pula perempuan
dari kelas yang lebih rendah. Industrialisasi telah memindahkan kerja
tradsional perempuan di rumah tangga ke pabrik. Sekalipun, banyak perempuan
bekerja di pabrik khususnya awal periode industrialisasi. Kerja tradisional
yang dimaksudkan ialah kontrol perempuan dikurangi pada industri vital seperti
pengolahan makanan, tekstil, dan garmen. Penurunan kontribusi perempuan dalam
rumah tangga kemudian meningkatkan ketergantungan mereka pada suami dan
melemahkan kekuatannya berhadapan dengan suaminya.
Pada saat yang sama, perubahan ekonomi dan politik
mengarah pada pembatasan status ekonomi dan politik perempuan. Hal itu
memberikan janji tentang status baru perempuan. Salah satunya, tidak
menyebutkan soal keanggotaan keluarga. Misalnya, pabrik dengan sistem upah dan
kesempatan kerja dibuka untuk perempuan. Hal ini awal kemerdekaan ekonomi di
luar rumah tangga yang terpisah dari suami. Demikian juga, idealisme demokrasi
baru yaitu kesetaraan dan otonomi individu yang menyediakan dasar bagi
perubahan anggapan tradisional tentang subordinasi perempuan oleh laki-laki.
Hal yang bertentangan dari pembangunan ekonomi dan politik ialah bahwa posisi
perempuan dalam masyarakat tak lagi sebagai kenyataan alamiah. Malah,
perempuan, sebagaimana dimaksudkan kalangan Marxis dengan istilah
"persoalan perempuan". Persoalan tersebut menunjukkan tempat
perempuan dalam masyarakat industri yang baru dan banyak jawaban diajukan oleh
kalangan feminisme yang terorganisir tentang itu.
Dalam dua atau tiga abad keberadaannya, feminisme yang
terorganisir tak lagi bicara dengan suara tunggal. Sebagaimana feminisme awal
muncul sebagai respon terhadap perubahan kondisi masyarakat Inggris abad ke-17,
maka perubahan lingkungan sejak itu mendorong tampilnya tuntutan kalangan
feminis. Misalnya, soal hak pilih dan keluarga berencana merupakan sasaran
kampanye mereka. Sebagian besar kebangunan feminisme muncul akhir 1960-an
dengan gerakan pembebasan perempuan. Gerakan ini melampaui semua gelombang
feminisme sebelumnya, dalam memperluas konsentrasi dan kedalaman kritikannya.
Gerakan itu lebih umum daripada gerakan feminis sebelumnya, yakni dengan sajian
analisis yang multidimensi tentang penindasan terhadap perempuan dan
melimpahnya pandangan mengenai pembebasan perempuan.
"Feminisme" berasal dari bahasa Perancis. Di
Amerika Serikat, feminisme dikenal sebagai "gerakan perempuan" abad
ke-19. Dalam arti, berbagai jenis kelompok yang semua tujuannya sejalan ataupun
tidak, mengarah pada "kemajuan" posisi perempuan. Ketika istilah
"feminisme" diperkenalkan ke Amerika Serikat awal abad ke-20, hal itu
hanya merujuk pada kelompok khusus kegiatan yaitu advokasi hak asasi perempuan.
Kelompok yang menegaskan keunikan perempuan, pengalaman misterius dari keibuan
dan kemurnian khas perempuan. Ehrenreich dan Inggris menyebut trend dalam
gerakan perempuan ini sebagai "romantisme seksual". Lawannya ialah
kecenderungan dominan "rasionalisme seksual". Berseberangan dengan
feminis romantis, maka feminis rasionalis seksual berpendapat bahwa subordinasi
perempuan tak rasional bukan karena perempuan lebih lemah daripada laki-laki,
melainkan menyangkut persamaan dasar antara perempuan dan laki-laki. Dalam
konteks kini, makna "feminnisme" abad ke-19 telah menghilang.
Sekarang, feminisme umumnya mengacu pada semua usaha yang mencoba, tidak peduli
latar belakang nya, untuk mengakhiri subordinasi. Feminisme ini penggunaannya
ditentang oleh beberapa aktivis seperti Linda Gordon. Oleh karena, kaum feminis
menuntut agar usaha itu menyentuh tiap aspek kehidupan. Istilah feminisme
membawa perubahan emosional yang kuat. Dalam beberapa hal, ada makna yang
merendahkan namun ada yang menghargai. Pada gilirannya, beberapa orang
menyangkal istilah "feminis" terhadap mereka yang menuntut dan yang
memberikan kesetujuan pada pihak yang menerimanya. Teori mereka masih merupakan
konsep keadilan. Dapat dikatakan bahwa teori feminis belum cukup kuat jika
masih bersifat konseptual.
Gerakan pembebasan perempuan menjadi ragam pokok
feminisme masyarakat Barat kontemporer. Beraneka nama gerakan demikian
mencerminkan konteks politik asal kemunculannya dan kata-kunci yang
membedakannya dari bentuk feminisme awal. Feminisme awal menggunakan bahasa
"hak" dan "kesetaraan", namun feminisme akhir 1960-an
menggunakan istilah "penindasan" dan "kebebasan". Istilah
itu menjadi kata kunci untuk kalangan aktivis politik. Dalam perkembangan
gerakan pembebasan (pembebasan kulit hitam, gay, pembebasan dunia ketiga, dsb.)
tak terhitung nilainya bahwa feminisme itu menyatakan dirinya sebagai
"gerakan pembebasan perempuan". Perubahan dalam bahasa merefleksikan
suatu perkembangan pemikiran yang bermakna di dalam perspektif politik
feminisme kontemporer.
Asal-usul istilah "penindasan" yaitu dari
bahasa Latin yang artinya, "menekan atas" atau "menekan
melawan". Maksudnya, seseorang yang ditekan mengalami pembatasan atas
kemerdekaannya. Tidak semua pembatasan atas kemerdekaan individu bersifat
penindasan. Seseorang tidak ditindas oleh fenomena alam yang sederhana, seperti
kekuatan daya tarik bumi, salju, dan kekeringan. Malah, penindasan merupakan
hasil perantaraan manusia. Secara manusiawi, itu memungkinkan pembatasan
kemerdekaan terhadap seseorang.
Tidak semua sifat yang membatasi kebebasan seseorang
adalah penindasan. Penindasan harus bersifat tidak adil. Andaikata anda berada
di sebuah kapal bersama sembilan orang lainnya, hanya ada enam porsi makanan,
lalu makanan tersebut dibagi secara demokratis untuk kesepuluh orang yang ada
dengan bagian yang sama, dan anda tidak dapat makan makanan satu porsi penuh.
Maka, anda tidak dapat mengatakan bahwa hal ini sebagai bentuk pembatasan
kemerdekaan anda atau bentuk penindasan. Sepanjang anda menerima pembagian itu
secara adil. Oleh karenanya, penindasan adalah ketiakadilan yang membatasi
kemerdekaan individu atau kelompok.
Pembebasan ada hubungannya dengan penindasan.
Pembebasan mewujudkan pembatasan atas penindasan. Jelas dari rumusan itu bahwa
ada hubungan konseptual antara penindasan dan pembebasan. Di atas satu telapak
tangan dan idealisme politik tradisional dari kemerdekaan dan keadilan pada
sisi lainnya. Berbicara tentang penindasan dan pembebasan, tidaklah sederhana
untuk memperkenalkan istilah baru kepada gagasan lama. Ketika konsep penindasan
dan pembebasan dihubungkan secara konseptual pada dataran filosofis yang umum
seperti kemerdekaan, keadilan dan kesetaraan yang tidak bisa direduksi tanpa
kehilangan konsepnya. Pembicaraan tentang penindasan dan pembebasan tidak hanya
memperkenalkan terminologi politik baru, namun sebuah perspektif baru dalam
dunia politik. Sebuah perspektif menyaratkan kedinamisan daripada statis di
masyarakat dan dipengaruhi oleh ide Marxis dari perlawanan kelas. Penindasan
adalah beban pembatasan; yang menganjurkan bahwa masalah itu bukan hasil dari
ketidakberuntungan, ketidaktahuan atau prasangka tapi lebih karena sebuah
kelompok yang secara aktif mensubordinasi kelompok lain demi kepentingannya
sendiri. Oleh karena itu, berbicara masalah penindasan seperti komitmen para
feminis menyangkut pandangan dunia yang mencakup sedikitnya dua kelompok dengan
kepentingan yang berlawanan, antara penindas dan yang ditindas. Ada pandangan dunia yang
menjelaskan bahwa perlahan-lahan pandangan dominan terhadap pembebasan bukan
seperti yang dicapai oleh debat tradisional. Bahkan, kelompok menjadi hasil
dari perlawanan politik.
Proses pelawanan lebih dari akhir penindasan yang
mengadvokasi kebebasan dan karakterisasi yang lengkap dari tujuan akhir. Hal
itu melemahkan usaha untuk merencanakan utopia, dengan menyusun konsep apa yang
akan dibebaskan haruslah menjadi revisi yang terus-menerus. Pengetahuan alami
manusia termasuk sifat manusia makin berkembang. Kita memperoleh lebih banyak
pengetahuan menuju kemungkinan akan kebajikan manusia dan mempelajari bagaimana
manusia bisa meraih itu melalui peningkatan kendali terhadap diri kita dan
dunia. Kekeringan bukanlah kutukan Tuhan, melainkan hasil kegagalan untuk
memperhitungkan konservasi air secara tepat. Penyakit dan kekurangan gizi tak
lagi sesuatu yang tak bisa dihindari, melainkan hasil dari kebijakan sosial.
Konsekuensinya, pembatasan yang dipandang sebagai kenyataan alami
ditransformasi kedalam praktik penindasan. Secara bersamaan, wilayah
kemungkinan kebebasan manusia diperluas. Pada prinsipnya, kebebasan bukanlah
pencapaian akhir suatu keadaan melainkan proses eliminasi bentuk-bentuk
penindasan yang muncul secara terus-menerus.
3. Aliran
a.
Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah
pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan
individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia
-demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara
rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan
pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.
Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam
kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara
sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda
yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu
didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang
bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat
didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya,
negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali
atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung
berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat
kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik
atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist
Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri
terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan
kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.[1]Tokoh aliran
ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan
solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan
pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya
kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan
wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita
di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan
menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis,
mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung
keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan
bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan
rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan
laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki.
Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh
karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat
pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak
sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi
perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang
politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang
berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen
adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
b. Feminism Radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di
mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme
perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur
seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an,
utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman
penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem
masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang
"radikal".
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara
sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda
yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu
didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang
bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat
didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya,
negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali
atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung
berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat
kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik
atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist
Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri
terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan
kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.[2]
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan
terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan
objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme
radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi,
seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan
laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political"
menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah
privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan.
Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada
feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan
privat inilah Indonesia
saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT).
c.
Feminisme
post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang
anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara
berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan
pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna
identitas atau struktur sosial.
d.
Feminisme
anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat
sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap
negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang
sesegera mungkin harus dihancurkan.
e. Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka
kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari
eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan
menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep
kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran
(exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai
konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan
direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada
keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan
proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki
dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat
kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi
juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat
bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi
lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum
wanita sebagai pekerja. [3]
f.
Feminisme
sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme
tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa
Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem
pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan
pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu
masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap
feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum
kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik
kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme
sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan
perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan
sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga
setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan
itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung.
Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti
dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga
negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan
pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah
menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat
untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
g. Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas
pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga
(koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama.
Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain
mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar
bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama
feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik,
pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley
Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact
of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan
atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi
ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
h. Feminisme Nordic
Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara
sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih
menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng
bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan
negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui
negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara.[4]
4.
Perspektif Yang
Dikemukakan Kaum Feminis:
a.
Gender adalah
kategori utama dalam analisis.
b.
Gender sebagai
hubungan kekuasaan tertentu.
c.
Penggolongan
public/private sebagai isu utama dalam pemahaman kita tentang hubungan
internasional.
d.
Menelusuri
cara-cara dimana ide-ide tentang gender dapat menjadi sesuatu yang sangat
bernilai bagi usaha untuk memfungsikan lembaga-lembaga internasional utama.
e.
Menyarankan agar
gender ditanamkan dalam tatanan internasional.
f.
Menentang
asumsi-asumsi dominan yang membagi apa yang penting atau tidak penting, atau
apa yang marjinal atau sentral, dalam studi hubungan internasional.
5.
Asumsi Dasar Yang Dikemukakan Kaum Feminis:
a.
Kaum feminis tidak
menganggap sifat dasar manusia sebagai sesuatu yang tidak berubah.
b.
Dari perspektif
seorang feminis, kita tidak bisa membuat suatu perbedaan yang jelas antara
‘fakta’ dan suatu ‘nilai’.
c.
Ada suatu hubungan
erat antara pengetahuan dan kekuasaan dan antara ‘teori-teori’ kita tentang
dunia dengan kebiasaan kita, bagaimana cara kita melibatkan diri dengan
lingkungan fisik dan social di sekitar kita.
d.
Kaum feminis
postmodern itu tersendiri (para postmodernis menolak klaim universalitas), kaum
feminis memiliki suatu komitmen yang sama pad aide kemajuan social dan
kebebasan atau emansipasi kaum perempuan.
6.
Kesalahan Teori Feminisme
Kaum feminis hanya berkonsentrasi pada hubungan gender,
lebih tepatnya pada perempuan. Kaum perempuan menggunakan ide-ide tentang
gender untuk melegitimasi status tidak setara yang ditujukan untuk perempuan.
Kaum feminis juga sangat menguniversalkan perempuan. Maksudnya, kaum feminis
melupakan aspek-aspek lain seperti budaya, ras, kelas, dan sebagainya.
Padahal kesemua aspek ini sangat berhubungan dengan dinamika social dan
internasional. Sementara itu, masih banyak perempuan yang ternyata tidak
memiliki ketertarikan-ketertarikan atau ide yang sama dengan apa yang
dikoar-koarkan para aktivis feminis ini.
7.
Kritik
Feminisme Dalam Hubungan Internasional
Feminisme adalah worldview multidimensi,
dimana hal-hal yang multidimensi tersebut selaras dalam penerapannya. Berbagai
fenomena sosial di dunia dapatditeliti dengan menggunakan pendekatan feminisme,
dan mengambil pelajaran dari fenomena fenomena tersebut.
Feminisme adalah suatu pemahaman tentang
bagaimana power bekerja, bagaimana power dilegitimasi, dan bagaimana power dipertahankan.
Dalam pendekatan feminisme, power terbentuk dan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu ruang privat
(rumah, keluarga, kerabat) dan ruang publik (pemilu, sekolah, perusahaan, bank,
basis militer).
Hasil penelitian
terhadap berbagai fenomena sosial dengan menggunakan pendekatan feminisme,
menjadikan perempuan sebagai pokok pembahasan. (Enloe, 2007:99) Feminisme menjadi teori dalam Hubungan Internasional pada akhir
1980an hingga awal 1990an yang terinspirasi dari post-structuralisme dan
post-colonialisme. Feminis memelakukan kajian gender dalam politik
internasional. Fokus dari feminisme adalah ketidaksetaraan antara laki-laki dan
perempuan dan dampaknya dalam politik dunia. Hal-hal
yang menjadi keingintahuan kaum feminis adalah kepeduliannya terhadaphubungan
sebab-akibat antara power di ruang privat dan Power di
ruang publik. Pemikiran mengenai power di ruang publik dan ruang privat dapat
memengaruhi satu sama lain adalah salah satu alasan mengapa feminisme merupakan
studi interdisiplin.(Enloe, 2007:99) Risetdalam feminisme mengenai suatu hal
dilakukan dengan menggunakan konsep-konsep dariilmu politik, sejarah,
sosiologi, filsafat, antropologi, biologi, kritik film dan literatur,geografi,
ekonomi, serta psikologi. Sebagai contoh, dengan menggunakan konsep konsep berbagai ilmu tersebut, pendekatan feminisme dapat digunakan dalam penelitian tentang bagaimana pembuatan kebijakan pengembangan senjata nuklir.
Menurut Reinharz, penelitian
dalam pendekatan feminisme digambarkan sepertisebuah perjalanan atau penggalian
arkeologis. Hal ini disebabkan oleh metode atau alat yang berbeda sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, berbeda dengan metodologi penelitian HI yang telah disepakati (positivisme). Pengetahuan
dalam feminisme merupakan pembangunanyang berkelanjutan dan dinamis, karena
pengetahuan dianggap berkembang melalui interaksiantara peneliti dengan teks,
subjek penelitian, atau data-data. Oleh karena, dalam pendekatanfeminisme,
tidak ada suatu cara atau standar tertentu yang harus ditaati dalam
melakukan penelitian. (Tickner, 2006:19) Feminisme membawa isu
ketidaksetaraan gender secara lebih terbuka. Mereka secara empiric menunjukkan
kondisi dan posisi perempuan yang masih menjadi sub-ordinasi darilaki-laki.
Pada pembahasan yang lebih luas, feminisme menjelaskan bagaimana pola kerja sistem politik dan ekonomi
internasional yang mereproduksi ketidaksetaraan antara laki-lakidan perempuan.
Gender mempelajari perilaku dan
dugaan yang membedakan antara maskulinitas dan feminitas. (Jackson &
Sorensen, 2010:241) Dalam konteks hubungan internasional maskulinitas
diterjemahkan sebagai rasional, ambisi, kekuatan, kebebasan suatu
negara.Feminitas merupakan kebalikannya. Feminitas diterjemahkan sebagai
kelemahan, emosional,dan kebutuhan untuk menjalin hubungan suatu
negara.Feminisme, setidaknya terbagi dalam lima kelompok yaitu feminism
liberal, kritis,konstruktivis, poststructuralist, dan postcolonial. Feminisme
liberal fokus pada posisi perempuan dalam politik global akan tetapi tetap melakukan investigasi penyebab dariterjadinya subordinasi dengan menggunakan kerangka
kerja positivis. Feminisme kritis
menjelaskan manifestasi
ide dan materi identitas
gender dankekuatan gender dalam politik global. Berbeda
dengan feminisme kritis, feminismekonstruktivis lebih menekankan ide daripada
elemen material dari politik global.
Feminisme poststructuralisme lebih memperhatikan dikotomi darikonstruksi bahasa seperti kuat/lemah,rasional/emosional,
dan umum/khusus yang seolah menggambarkan maskulinitas di atasfeminitas. Biasanya
kaum feminis HI menanyakan berbagai pertanyaan berbeda mengenai sikap negara.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih dalam konteks kenapa peran perempuanseakan
sangat kecil dalam hal kebijakan luar negeri dan militer, atau dengan kata
lain, kenapa peran perempuan sangat jarang di posisi berkuasa.
Dalam analisis gender,
feminisme mengkritisi soal kedaulatan, negara, dan keamanandunia internasional.
Analisis gender mengkritik sistem dalam perekonomian dan politik global. Sebagai contoh, Chyntia Enloe’s mengkritisi
sistem perekonomian dunia yang
mendiskriminasikan peran perempuan. (Jackson & Sorensen, 2010:242)
Mereka di pekerjakan untuk pekerjaan rendahan, digaji rendah dan dikontrol oleh
laki-laki. Dalam politik internasional, feminisme mengkritisi jumlah dan
peranan perempuan dalam percaturan politikdunia yang kurang dari sepuluh
persen.Dalam perdebatan ketiga (Great Debate), feminisme mengkritisi
realisme. Gagasanrealisme tentang keamanan merupakan suatu bentuk maskulinitas
dalam perpolitikan dunia. Maskulinitas tersebut didasarkan pada kekuatan
militer dalam kondisi yang anarki. Kondisianarki tersebut dipandang sebagai
sistem institusional yang diangkat oleh kontruksi sosial.Hal tersebut justru
melanggengkan hirarki gender dan berkontribusi dalam penciptaan sub-ordinasi
gender. Dalam
konteks negara, hal ini memarginalkan dan menciptakan sub ordinasi bagi negara berkembang.
8.
Tokoh Dalam Feminisme (Gender)
A.
Foucault
Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism,
namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh
feminism dari Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang
menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk
diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan.
Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.
B.
Naffine (1997:69)
Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa
atau power Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan
oleh orang yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan
melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa
individu merupakan efek dari kuasa.
C.
Derrida (Derridean)
Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika)
dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara
perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan
di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran
kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita
tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap
kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah
melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama
dengan cara yang sama.
FEMEN SEBAGAI GERAKAN
FEMINISME
Tubuh Sebagai Senjata Resistensi: FEMEN
Wujud penentangan radikal terhadap represi identitas
prempuan yang sejauh ini muncul adalah menggunakan tubuh sebagai alat perang,
propaganda dan senjata. Tubuh yang dianggap sebagai objek penindasan, represi
dan kapitalisasi oleh kaum yang menganut perspektif feminisme radikal
dijadikan objek untuk melawan (Arkhipenko 2012). Salah satu gerakan
feminisme radikal transnasional yang menggunakan tubuh sebagai perjuangannya.
Gerakan ini diinsiasi pada tahun 2008 di Ukraina untuk menentang prostitusi,
represi institusi keagaman dan represi negara (Holam 2013). FEMEN sebagai
gerakan sosial menggunakan tubuh sebagai media perjuangannya. Pelaku yang
terlibat di dalamnya bertelanjang dada untuk menyampaikan pesan protes terhadap
pihak opresan. FEMEN telah menjadi fenomena transnasional. Kegiatan protes
bertelanjang dada yang diorganisasi oleh FEMEN dilakukan di Ukraina,
Perancis, Tunisia, Iran dan Singapura (Smith 2012).
Menggolongkan FEMEN sebagai gerakan feminisme radikal
dapat dilihat dari dua hal, yaitu media perjuangan dan agenda perjuangan
(Arkhipenko 2012). Dari dimensi media perjuangan, FEMEN menggunakan tubuh
sebagai media perjuangan. Tubuh yang oleh pandangan tradisional dan beberapa
cabang feminsime yang lebih moderat dari radikal (liberal, posmodern dan marxis)
menjadi barang privat (Arkhipenko 2012) oleh gerakan FEMEN diposisikan sebagai
barang yang bisa diakses publik sebagai media propaganda. Pergeseran pemaknaan
tubuh ini kemudian membuat FEMEN memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai
gerakan feminisme radikal. Berlanjut kepada syarat kedua, bawa konsekuensi
menggunakan tubuh merefleksikan opresi yang dilawan. Dalam kaitan ini tubuh
merupakan oposisi dari struktur patriarki yang eksploitatif terhadap tubuh
perempuan. Munculnya FEMEN setidaknya mengindikasikan dua hal. Yang pertama
adalah bahwa kesadaran terhadap opresi patriarki telah sampai pada level
radikal dan yang kedua adalah bahwa gerakan-gerakan untuk mengembalikan peran
perempuan sebagai subjek otonom (Butler 1990) lepas dari pengaruh kuasa power penindasan
menemukan titik pentingnya.
Melawan Prostitusi
Alexandra Shevchenko, 24 tahun, bersama dua orang temannya,
mendirikan Femen saat revolusi oranye menyapu Ukraina. Partisipasi perempuan di
Ukraina sangatlah rendah. Di parlemen, jumlah perempuan sangat sedikit.
Sedangkan di pemerintahan hampir tidak ada sosok perempuan. Juga, hampir tidak
ada kelompok yang berbicara soal hak perempuan di Ukraina.
Hampir 70% pendapatan perempuan Ukraina diperoleh dari
laki-laki. Sekitar 80% pengangguran di Ukraina adalah kaum perempuan.
Keprihatinan terbesar yang memicu kelahiran Femen adalah maraknya prostitusi
dan perdagangan perempuan di negara bekas Soviet itu. Suatu hari, aktivis Femen
menggelar protes terhadap sebuah stasiun radio Selandia Baru. Pasalnya, stasiun
radio itu mempromosikan wisata seks di sejumlah tempat di Ukraina.
“Ukraina
bukan rumah bordil,” teriak 9 aktivis Femen dengan tampilan setengah telanjang.
Menurut Alexandra Shevchenko, sebagian besar perempuan
Ukraina yang tinggal di kota besar punya hubungan dengan tempat prostitusi atau
bisnis prostitusi. Penyebabnya, kata Alexandra, adalah biaya pendidikan dan
biaya hidup yang terlalu tinggi. Akibatnya, supaya bisa hidup normal, banyak
perempuan Ukraina menopang hidup dari prostitusi dan bisnis seks lainnya.
Terutama setelah krisis ini, pendapatan dari bisnis seks meningkat dua kali.
Lebih parah lagi, kata Alexandra, Presiden juga kerap
mempromosikan prostitusi saat kunjungan keluar negeri. Di pertemuan Forum
Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Presiden menganjurkan orang-orang untuk
mengunjungi Ukraina saat musim semi, dimana perempuan mengurangi pakaiannya.
Aktivis Femen pernah menggelar protes di kampus. Mereka
mengecam maraknya pelecehan seksual oleh para pengajar. Para dosen sering
mengiming-imingkan nilai bagus dengan dua jalan: seks dan uang. Karena sebagian
besar mahasiswi itu miskin, maka mereka memberikan seks. Selain memprotes
prostitusi, Femen juga berjuang melawan kediktatoran dan totalitarianism di
Ukraina. Dengan ketiadaan demokrasi di Ukraina, kehidupan politik di negeri itu
sangat anti-perempuan.
Di parlemen Ukraina, jumlah perempuan tidak melebihi 7%.
Angka itu sangat rendah dibanding ketika Ukraina masih di bawah Soviet: 30-35%.
Kejadian serupa juga terjadi di jabatan politik, kepemilikan perusahaan, dan
lain-lain.
Metode Perjuangan
Metode perjuangan Femen sering dianggap kontroversial. Para
aktivis Femen menggunakan tubuhnya sebagai senjata yang ampuh.
“Kami
melakukan protes telanjang karena payudara adalah senjata kami,” kata Evgenia,
23 tahun, seorang artis yang menjadi aktivis Femen.
Aktivis Femen sering menulis tuntutan mereka di payudara.
Metode itu cukup menarik perhatian dan tuntutan mereka terdengar. Menurut
Alexandra, yang membedakan Femen dengan kebanyakan feminis Eropa adalah metode
perjuanganya.
“Mereka
tidak menggunakan tubuh dan seksualitasnya sebagai senjata untuk mencapai
tujuan dan tuntutan kaum perempuan,” katanya.
Femen punya anggota inti sebanyak 300 orang. Tetapi, tidak
semua anggotanya dipaksa melakukan aksi semi-telanjang itu. Anggota-anggota
tersebut dilibatkan pada aktivitas yang lain. Femen pernah menggelar aksi saat
Ukraina menjadi tuan rumah “Piala Eropa”. Di situ, aktivis Femen bukannya
menolak perhelatan sepak bola tersebut, melainkan kecenderungan industri seks
yang menyertainya.
Perjuangan Femen sudah memasuki konteks politik yang lebih
luas. Organisasi feminis ini bertekad mengakhiri dominasi laki-laki dalam
kehidupan politik. Parlemen Ukraina, yang didominasi laki-laki, seringkali
menyerupai arena tinju. Banyak perdebatan politik di parlemen berakhir dengan
adu jotos.
“Kami ingin merebut
kekuasaan dari laki-laki, membangun barikade, memulai perang dan menciptakan
masyarakat matriarkhi untuk dunia yang lebih baik,” kata Alexandra menjelaskan
tujuan politiknya.
Saat ini, Femen sedang memperjuangkan UU yang melarang
bisnis seksual. Mereka juga memperjuangkan hukuman bagi mereka yang
menghidupkan bisnis seksual dan perdagangan perempuan. Tetapi, Femen tidak
hanya berjuang di negerinya. Mereka juga berpartisipasi dalam berbagai protes
di tingkat dunia: Occupy Wall Street, menentang pertemuan Forum Ekonomi Dunia
di Davos, memprotes nuklir, dan lain-lain. Selain itu, Femen juga punya
kampanye menarik: rajin membaca buku. Mereka punya slogan: If you don’t
read books, we’re not going to sleep with you!
Tujuan
dan sikap
Pada
situs resminya FEMEN menyatakan: "FEMEN – adalah sekstremisme yang
melayani untuk melindungi hak-hak perempuan, pengawas demokrasi menyerang
patriarki, dalam segala bentuknya: kediktatoran, gereja, industri seks".
FEMEN telah menyatakan baik dukungan dan oposisi
terhadap berbagai tokoh masyarakat dan organisasi, misalnya, kelompok
Pussy Riot
dan berkolaborasi dengan
Aliaa Elmahdy. Pada
tahun 2011 kelompok telah menyatakan bahwa ia telah menikmati keberhasilan yang
terbatas dalam mendorong agenda. Hal itu juga dikritik karena kegagalan
"untuk memberikan banyak wawasan tentang apa tujuan konkrit [organisasi]
adalah".
Cabang
internasional
Sejak
akhir 2011 FEMEN telah mengadakan aksi unjuk rasa di luar Ukraina. Pada akhir
April 2011, organisasi menyatakan telah mendirikan cabang internasional di
Warsawa,
Zürich,
Roma,
Tel Aviv, dan
Rio
de Janeiro.
Sebuah
demonstrasi yang dilakukan oleh sebuah kelompok yang disebut RU FEMEN di
ibukota
Rusia,
Moskwa, pada akhir
April 2011
segera dikecam sebagai
keturunan palsu FEMEN. FEMEN menuduh partai politik Rusia
Rusia
Bersatukarena telah mengatur RU FEMEN. Awal 2013 FEMEN mengaku telah
memiliki anggota di
Brasil,
Jerman, di
Amerika
Serikat,
Kanada,
Swiss,
Italia,
Bulgaria, dan
Tunisia.
FEMEN
France adalah cabang
Perancis dari FEMEN. Setelah menebang sebuah
salib dekat
Maidan Nezalezhnosti di Kiev pada Agustus 2012,
Inna Shevchenko meninggalkan negara itu dan pergi ke
Paris untuk mendirikan
FEMEN France, sebuah pusat
pelatihan bagi aktivis. The international training center opened on 18
September 2012.
FEMEN
di
Quebec juga aktif, yang didirikan oleh
kelahiran Ukraina,
Sept-Îles dipimpin oleh
Xenia Chernyshova. Pada
tanggal 10 September 2013 cabang
Belgia dari FEMEN secara sukarela membubarkan
diri sendiri.
Kritik Terhadap FEMEN
Kritik
telah menyatakan bahwa anggota FEMEN lebih tertarik pada promosi diri dari
reformasi nyata, dan bahwa kejenakaan mereka sering norak dan merusak penyebab
protes mereka.
Menurut (studi
ahli gender Ukraina)
Tetyana Bureychak,
kebanyakan wanita Ukraina tidak terkesan oleh FEMEN,
(Sosiolog Ukraina)
Oleh Demkiv telah berbicara menentang sifat
kontroversial dari protes FEMEN dan pada bulan Juli 2011 ia menyatakan mereka
"sayangnya, tidak menikmati dukungan rakyat, atau menyebabkan perubahan
dalam kesadaran Ukraina".
Pada
Februari 2013
Joanna Rohozinska (dari
National
Endowment for Democracy) menyatakan "ada sedikit bukti dari setiap
protes Femen memiliki dampak yang signifikan "dan dia menyebut keputusan
FEMEN untuk mendirikan cabang di luar Ukraina "sebagai jujur, terbaik,
terus terang, dan agak pengecut".
Komentar positif di Ukraina tentang
FEMEN berasal dari
Maria Mayerchyk(dari
Universitas Lviv), yang
telah berbicara tentang FEMEN, mengatakan bahwa mereka adalah "positif,
radikal dan penting fenomena yang mampu mengangkat isu-isu sosial",
dan
Larysa Kobelianska (Pemimpin Program hak-hak perempuan
PBB) mengatakan kelompok ini telah berhasil menarik perhatian publik terhadap
masalah perempuan, bahkan jika dengan cara yang dipertanyakan.
Kelompok
ini terlihat lebih positif di luar negeri.
Naomi Westland menulis bahwa "negara-negara
Barat lebih terbiasa dibandingkan di belahan bumi Timur untuk melihat tubuh
telanjang atau semi telanjang di media dan di jalanan. Tapi di negara-negara di
mana ketelanjangan adalah hal yang tabu, protes memiliki dampak yang lebih
mendalam."
Jeffrey Tayler mencatat: "Femen berasal dari
Ukraina, yang lahir dari perempuan muda yang tumbuh tanpa paparan
budaya
Barat, kebenaran politik dan memiliki rasa hormat yang sedikit untuk itu,
dari negara mereka
Soviet pada masa lalu, mereka tahu bagaimana
merusak kebebasan berbicara dapat menyesakkan. Sekarang mereka telah pindah ke
Barat, Femen telah berani melanggar peraturan dan dimeriahkan perdebatan peran
agama di dunia kita." FEMEN mendapat sambutan positif setelah membuka
lokasi mereka di Paris.
FEMEN
telah dikritik oleh
Chitra Nagarajan untuk "obsesi dengan
ketelanjangan yang merupakan sebuah feminisme kolonial rasis."
Aksi-aksi Protes FEMEN
Contoh dari
protes FEMEN terhadap lembaga keagamaan adalah:
v
Pada 26 Juli 2012, seorang aktivis FEMEN tanpa
penutup dada,
Yana Zhdanova, menyerang
Patriark Moskow
dan semua Rus',
Kirill I dari Moskow,
sementara ia mengunjungi Ukraina. Zhdanova memiliki kata-kata "Bunuh
Kirill" yang dilukis di punggungnya dan berteriak "Keluar!"
kepada pemimpin Kristen Ortodoks.
Dia
ditangkap selama lima belas hari untuk tindakannya.
v
Organisasi melakukan protes topless di
Olimpiade Musim Panas 2012 di London menentang "rezim Islam
berdarah", yang mereka menuduh
IOC telah mendukung hal tersebut. Protes
tersebut juga melibatkan perempuan dalam pakaian pria Muslim serta tanda-tanda
yang menyatakan "Tidak Ada Syariah".
v
Pada 17 Agustus 2012,
Inna Shevchenko dan dua aktivis FEMEN lainnya meng
gergaji bawah kayu
salib besar di dekat
Maidan Nezalezhnosti di
Kiev dalam dukungan untuk kelompok Rusia
Pussy Riot.
(Tiga anggota Pussy Riot itu harus dihukum oleh pengadilan Rusia hari itu).
Aksi ini menarik tanggapan campuran.
Sebuah
kasus pidana dibuka terhadap FEMEN di bawah
"Bagian 2 dari Pasal 296 (hooliganisme) KUHP Ukraina". FEMEN
mengklaim bahwa setelah kejadian tersebut,
pasukan dari
Departemen
Dalam Negeri menyelenggarakan
blokade di sekitar kantor pusat FEMEN di Kiev.
Pada tanggal 18 Agustus 2012 sebuah salib Kristen yang baru didirikan di tempat
yang sama.
Isu-isu internasional
Pendiri
Anna Hutsol yang gigih menentang legalisasi
prostitusi di Ukraina
[18] dan menjadi advokat untuk
kriminalisasi prostitusi di luar negeri. Pada akhir Mei 2009, FEMEN mengusulkan
pengenalan tanggung jawab pidana atas penggunaan jasa industri seks.
FEMEN memprotes apa yang mereka
berpendapat adalah langkah yang dibuat oleh pemerintah Ukraina untuk melegalkan
prostitusi selama kejuaraan
EURO
2012.
Kelompok diminta
UEFA dan pemerintah Ukraina untuk
menciptakan sebuah program sosial yang ditujukan untuk masalah
wisata seks dan
prostitusi di Ukraina,
untuk menginformasikan penggemar sepak bola bahwa prostitusi adalah ilegal di
Ukraina, dan mengambil langkah-langkah tambahan untuk memerangi prostitusi dan
pariwisata seks.
Di masa lalu (yaitu 2012) FEMEN telah menyatakan bahwa
tujuannya adalah "untuk mengembangkan kepemimpinan, kualitas intelektual
dan moral perempuan muda di Ukraina" dan "untuk membangun citra
Ukraina, [sebuah] negara dengan peluang besar bagi perempuan".
[88][42] Tapi hari ini situs resminya tidak
menyebutkan tujuan yang ditujukan
wanita Ukraina khususnya (atau dari negara lain).
Pada tahun 2010 telah menyatakan
tujuan dari organisasi mana "mengguncang perempuan di Ukraina, membuat
mereka aktif secara sosial,. Untuk mengatur revolusi perempuan pada tahun 2017.
Pendanaan
Demonstrasi FEMEN bersama
DJ Helldi Kiev pada 22 Mei
2009 Program ini dibiayai oleh aktivis FEMEN melalui penjualan produk bantalan
patung FEMEN melalui beberapa 30 bab.
FEMEN also receives donations from individuals
seperti Helmut Geier (juga dikenal sebagai DJ di bawah alias
DJ Hell),
Pengusaha
wanita
Jerman Beate Schober (yang
saat ini berada di
Ukraina),
Pengusaha
Amerika Jed Sunden (pendiri
perusahaan Ukraina
KP Media dan mantan
pemilik surat kabar
Kyiv Post) dan
Ukraina Kanada. Sejak
Desember 2011 Jed Sunden berhenti menjadi sponsor dan memberi dukungan terhadap
Femen karena tindakan mereka yang dapat menyinggung keyakinan agama orang.
Pada bulan Maret 2012 (majalah Ukraina)
Focus menyatakan
bahwa aktivis FEMEN menerima royalti untuk wawancara asing dan di
tabloid. Dalam majalah tersebut
Anna Hutsol menegaskan
bahwa rally di
Istanbul disponsori oleh perusahaan yang memproduksi
pakaian dalam di Turki. Seorang jurnalis Ukraina
1+1, yang mengaku (pada September 2012)
telah menyusup organisasi, mengatakan bahwa kantornya di ibukota Ukraina,
Kiev, membiayai gerakan
tersebut sebanyak lebih dari
$2,500 per bulan, di atas
gaji masing-masing anggota yang adalah sekitar $1.000 per bulan.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku dan
Artikel
Ø Bartky,
Sandra Lee, 1988. Foucault,
Femininity, and the Modernization of Power”, in: Diamond, Boston:
Northeastern University Press.
Ø Butler,
Judith. 1990. Gender Trouble. Feminism and the Subversion of Identity.
London: Routledge.
Ø Beauvoir,
Simone de. 1949. The Second
Sex. Penguin.
Ø Foucault,
Michel. 1977. The History of Sexuality 1: An Introduction. New York:
Vintage/Random House.
Ø Irigaray,
Luce. 1985. Speculum Of The
Other Woman. Ithaca: Cornell University Press.
Ø Sartre,
Jean-Paul. 1956. Being and
Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology. New York: Routledge
Sumber Online: